NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mengacu pada Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2013 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi pada tahun 2014 silam dinilai menyalahi undang-undang.
Pasalnya, menurut peneliti AEPI Salamuddin Daeng, UU APBN telah menetapkan subsidi dalam Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp 403 triliun. Sementara saat ini harga minyak mentah dunia jatuh, bahkan telah berada di bawah US$80/barel. Dengan demikian kata Daeng tidak ada alasan bagi Pemerintah Jokowi untuk menaikkan harga BBM.
Selain itu, lanjut dia, kebijakan Presiden Jokowi dengan menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi dinilai melanggar UU APBN karena tidak melalui persetujuan DPR. Kebijakan ini bisa dianggap konstitusional karena sesuai peraturan pemerintah harus meminta persetujuan DPR jika menaikkan harga BBM, karena diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015.
Dalam Pasal 13 ayat (4) terkait perubahan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa perubahan volume Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, semestinya pemerintah membahas perubahan tersebut dengan komisi terkait di DPR RI. Ini dilakukan guna mendapatkan persetujuan.
Pun demikian dengan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kekurangan untuk tahun anggaran sebelumnya yang dibayarkan sesuai dengan hasil audit BPK. Juga terkait Rincian Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2015 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yang ditetapkan paling lambat tanggal 30 November 2014.
Mengacu pada kasus di atas, dengan jalas, menurut Salamauddin Daeng, saat ini negara tidak lagi berjalan di atas UUD dan UU. Sebaliknya, lanjut dia, negara justru dijalankan hanya menurut kehendak penguasa. (Gendon)
Editor: Romandhon