Cerpen

Keadilan Tuhan

Keadilan Tuhan
Keadilan Tuhan

Keadilan Tuhan

Oleh: Hafis Azhari

 

“Bagaimana mungkin kamu sanggup melakukannya, Tohir?”

“Saya terpaksa melakukan itu.”

“Dengan tangan kamu sendiri?”

“Ya, dengan tangan ini,” sambil menunjukkan tangan kanannya seakan masih berlumuran darah.

Beberapa napi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba itu tidak percaya bahwa peristiwa pembunuhan kakek tua di bawah pohon beringin, yang menyebar lewat media massa dalam beberapa minggu itu, murni atas tindakan Tohir sendiri. Mesti ada pihak lain yang menungganginya, atau ia terpaksa melakukannya karena dipaksa oleh adanya pihak ketiga.

“Bahaya juga rupanya kau ini, Bung!” kata seorang napi asal Medan dengan lengan penuh tato, “Kelihatannya kau begitu alim dan saleh, tapi diam-diam menghanyutkan juga kau,” sambil menepuk-nepuk bahu Tohir.

“Tadinya saya menduga dialah pelakunya…”

“Bagaimana mungkin kau begitu percaya?”

“Karena saya tidak melihat adanya orang lain selain kakek tua itu…”

“Tapi untuk apa kakek-kakek menggondol uang 500 juta di dalam tas koper… sementara kau sendiri tak bisa menunjukkan bukti kepada polisi bahwa tas koper itu berada di tangan kakek tua itu. Selain itu, tidaklah sepadan pencurian uang dibalas dengan pembunuhan…”

“Saya tidak sengaja melakukannya. Sewaktu saya menuduhnya, ia melawan balik, lalu tak ada senjata apapun di sekitar itu kecuali batu besar di bawah pohon itu…”

“Lalu, apa yang kau lakukan dengan batu itu?”

“Saya menghantam punggungnya tapi ia menunduk hingga mengenai bagian kiri kepalanya.”

“Lalu, dia tewas saat itu juga?”

“Ya.”

***

Seusai salat Jumat berjamaah di Lapas tersebut, Ustaz Abdullah seperti biasa menggelar tausiyah dan tanya jawab perihal keagamaan. Para penghuni Lapas merasa antusias jika Ustaz Abdullah mendapat giliran berkhotbah dan menyampaikan tausiyah. Mereka tidak sungkan-sungkan bertanya mengenai apa saja, hingga pengetahuan mereka semakin bertambah dan wawasan semakin terbuka.

Perihal apa yang dialami Tohir, seseorang mengacungkan tangannya angkat bicara:

“Pak Ustaz, beberapa minggu lalu, kami mendengar khotbah bahwa Tuhan Maha Adil, tapi bagaimana jika ada seorang pemuda membunuh seorang kakek tua renta, tanpa adanya sebab dan alasan yang jelas?”

Untuk menjaga etika dalam berbicara, sang penanya tidak menyebut nama pelakunya, termasuk nama kakek tua sebagai korban. Ia hanya menyebut secara kias saja. Tohir pun merasa tenang menghadiri acara tersebut, meski beberapa saat ia sempat merasa gusar.

“Mesti ada sebab dan alasannya,” kata Ustaz menjelaskan, “karena tak ada peristiwa sekecil apapun yang tidak memiliki arti. Semuanya tak luput dari pemantauan dan pengamatan Tuhan. Mungkin bagi kita tak ada artinya meskipun bagi Tuhan adalah perkara serius. Atau sabaliknya, mungkin bagi Tuhan perkara kecil meskipun bagi kita adalah perkara yang sangat besar.”

Ustaz Abdullah dikenal sebagai ahli agama yang zuhud dan rajin beribadah. Ia seperti biasa menjawab pertanyaan hadirin perihal agama atau persoalan apapun yang mereka hadapi dalam hidup. Sementara, jika persoalan yang ditanyakan itu belum sanggup dijawabnya secara langsung, sang Ustaz meminta penundaan waktu. Barulah setelah jeda waktu tersebut, ia akan menjawab berdasarkan sumber dari tafsir Alquran, atau dari kiai sepuh yang ia kunjungi, atau berdasarkan ilham berupa mimpi yang menghampirinya.

“Jadi, peristiwa apa yang terjadi di bawah pohon beringin itu? Silakan salah satu dari kalian menceritakannya. Anggap saja pelakunya bernama Fulan.”

“Baiklah, Ustaz,” salah seorang maju dan dipersilakan duduk di sebelah Ustaz, lalu katanya, “ Begini Ustaz, ada seorang kakek tua yang sudah uzur telah dituduh mencuri tas koper berisi uang pecahan ratusan ribu rupiah, yang kemudian si pemilik koper, Fulan telah membunuhnya. Padahal, yang mengambil tas koper itu boleh jadi bocah kecil yang saban minggu memancing di sekitar itu, dan barangkali juga keluarga bocah itu sudah menjadi jutawan yang kaya raya.”

“Dengan peristiwa itu lalu kalian tidak percaya dengan keadilan Tuhan?” tanya Ustaz Abdullah.

Suasana hening, kemudian salah seorang memecah kesunyian, “Tentu saja Ustaz, di mana letak keadilan itu ketika yang bersalah enak-enakan bergembira dengan barang temuannya, sementara seorang kakek tua-renta yang tidak bersalah terbunuh sedemikian sadisnya?”

***

Hari-hari ketika Ustaz Abdullah meminta jeda waktu untuk menjawab pertanyaan itu, berbagai percakapan emosional terjadi di sekitar Lapas tersebut. Suatu hari, beberapa napi yang baru dipindahkan dari rumah tahanan (Rutan) provinsi Banten, duduk-duduk bersama para penghuni Lapas. Di antara mereka saling bertanya tentang asal muasalnya, serta dipenjara karena kesalahan apa. Di tengah waktu istirahat, Tohir duduk di dekat para pendatang baru itu, lalu ikut menguping pembicaraan mereka.

Salah satu dari mereka, seorang pria berumur limapuluh tahunan, berperawakan tinggi kekar dan berjenggot tipis, bercerita sambil menghamburkan sumpah serapah:

“Kebangetan mereka itu! Saya ini hanya tukang ojek,” ujarnya lantang, “sore itu, saya mengendarai motor teman saya yang diparkir di pertigaan kampung Pagebangan, kok tiba-tiba saya ditangkap dan ditahan dengan alasan pencurian motor. Padahal, itu motor teman saya sendiri. Saya sudah jelaskan pada polisi-polisi itu, waktu itu saya mengambilnya karena terburu-buru harus pulang ke rumah, karena ada keperluan penting, tapi tetap saja mereka menuduh saya mencuri motor.”

Ia terdiam sejenak, berdehem beberapa kali, kemudian dengan tatapan kosong ia melanjutkan, “Kalau dulu, saya memang pernah kerjasama dengan dua kawan untuk mencuri beberapa motor di pangkalan Pasar Kelapa. Jadi, seharusnya saya sudah berada di sini sejak tahun-tahun lalu, tapi kenapa waktu itu saya tak pernah ditangkap? Berarti kerja mereka nggak becus… dan sekarang mereka malah menangkap saya, lalu apa kesalahan saya…?”

Seseorang yang divonis bersalah karena kasus perampokan dengan kekerasan, memandang ke arah Tohir dengan tatapan garang.

“Lalu, kau sendiri kenapa diam saja, Sobat? Ayo, ceritakan pada kami, dari mana asalmu?”

“Dari Kota Cilegon.”

“Kau kelihatan alim dan saleh, tidak pantas kau berada di penjara. Coba ceritakan pada kami, benarkah apa yang mereka tuduhkan?”

Tohir mengangkat kepalanya, lalu mengangguk, “Memang benar, saya telah melakukannya. Saya tak sengaja membunuh seorang kakek tua. Dia meninggal karena saya memukul kepalanya. Walaupun tak sengaja, saya tetap telah membunuhnya. Atas dosa dan kesalahan saya itu, maka saya pantas menerima hukuman ini selama limabelas tahun.”

Tak berapa lama, pembicaraan mereka terhenti. Mereka menatap seorang pemuda yang sedang dikawal polisi menuju sel isolasi. Pemuda itu telah divonis hukuman mati karena terlibat melakukan pemboman di sebuah gereja di daerah Surabaya. Meskipun terlibat aktif dalam aksi tersebut, pemuda itu seakan-akan tak merasa bersalah. Sepanjang perjalanan dari pintu penjara menuju sel isolasi, terus-menerus ia berteriak “Allahu Akbar”, seakan-akan membenarkan tindakannya tersebut.

Para penghuni Lapas terheran-heran melihat ulahnya, mengapa untuk suatu aksi kriminal dan kejahatan yang diakuinya, ia selalu menyebut-nyebut nama Tuhan? Bukankah sebagian korbannya adalah para wanita dan anak-anak? Dan bukankah yang telah ia hancurkan adalah tempat ibadah, yang merupakan rumah Tuhan juga?

***

Selama limabelas tahun Tohir hidup di penjara, dipotong masa tahanan selama beberapa tahun. Ia semakin akrab dengan Ustaz Abdullah yang ditugaskan kepala Lapas agar mengisi acara-acara khotbah Jumat maupun tausiyah. Sudah hampir duapuluh tahun Ustaz itu mengisi acara tausiyah di rumah-rumah tahanan hingga di lapas-lapas. Rambutnya kian memutih, kumis dan janggutnya berwarna abu-abu. Ia kelihatan begitu tawadlu, berjalan perlahan, sedikit bicara dan banyak berdoa.

Atas usulan Ustaz Abdullah, Tohir diperkerjakan membuat keterampilan berupa kerajinan tas dan sandal. Lambat laun, ia memiliki sedikit uang yang dipakainya untuk membeli buku-buku, di antaranya “Mimpi Orang-orang Saleh”, “Kisah Para Nabi dan Rasul”, serta beberapa buku mengenai sejarah hidup orang-orang yang dicintai Tuhan.

Kedekatannya dengan Ustaz Abdullah membuat para petugas Lapas menyukainya, hingga ia pun disegani para napi yang suka menghadiri acara-acara tausiyah. Tidak jarang para napi menjulukinya sebagai “Sufi” karena kerendahan hatinya. Ia pun dipercaya kepala Lapas agar menjadi perwakilan dari para napi bila mendapat kunjungan pejabat-pejabat penting. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, kepala Lapas menanyakan perihal kebenaran perkara tersebut kepada Tohir.

Suatu malam, ia bermimpi tentang keadilan Tuhan. Hal ini pun merupakan jawaban penting yang sering dipersoalkan para napi di penjara, terutama soal tanya-jawab yang diajukan kepada Ustaz Abdullah. Selama bertahun-tahun ia memberi tausiyah perihal keagamaan, tetapi ada persoalan penting yang mengganjal dalam pikiran sesama napi, yakni bagaimanakah pemihakan Tuhan jika yang benar dipenjara namun yang salah justru tertawa? Di manakah letak keadilan-Nya?

***

Mimpi Tohir kemudian dikisahkan kepada para napi, ketika Ustaz Abdullah mendapat giliran menyampaikan tausiyah di Lapas atau rumah-rumah tahanan. Kisah tersebut dikemas dengan bahasa yang padat dan sederhana, dipoles sedemikian rupa agar mengena di hati para hadirin. Namun demikian, esensi dari cerita tersebut tetap dipertahankan dengan baik. Dan, beginilah kisahnya:

Puluhan tahun silam, ada dua orang perampok (sebut saja Adin dan Adun). Keduanya berhasil memboyong uang sebanyak 500 juta di dalam tas koper, dari rumah seorang pedagang emas yang kaya-raya. Pada saat pembagian uang tersebut, Adun mengkhianati janji dengan membunuh Adin, karena ingin menguasai uang itu sepenuhnya.

Ustaz Abdullah kemudian menjelaskan duduk perkaranya, “Tahukah kalian, seorang bocah pemancing di sekitar pohon beringin yang menemukan tas koper berisi uang 500 juta itu adalah putera dari pedagang emas yang pernah dirampok oleh Adin dan Adun puluhan tahun silam. Sedangkan Fulan yang membunuh kakek tua, adalah putera dari Adin yang dulu terbunuh oleh Adun…”

Sebagian napi merasa gusar. Mereka belum puas mendengar penjelasan Ustaz Abdullah, terutama perihal nasib kakek tua yang terbunuh tragis oleh Fulan. Siapakah gerangan kakek tua itu?

Ustaz Abdullah memandang para napi dengan penuh kelembutan, “Sesungguhnya, kakek tua yang terbunuh itu tak lain adalah Adun sendiri, yang dulu mengingkari perjanjian dengan membunuh sahabatnya Adin…”

Para hadirin tertegun, merasa takjub sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, sang Ustaz menutup kisah tersebut, “Dalam rentang puluhan tahun, terbukalah semuanya bahwa nyawa telah dibayar dengan nyawa, dan harta pun telah kembali kepada yang berhak memilikinya.” ***

 

 

Penulis: Hafis Azhari (Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten)

Related Posts

1 of 3,049