NUSANTARANEWS.CO – Sudung Situmorang serta Tomo Sitepu hingga kini belum juga ditetapkan menjadi tersangka penerima dalam kasus percobaan suap yang dilakukan oleh petinggi PT Brantas Abipraya (Persero), Sudi Wantoko. Padahal sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjanji akan segera menyeret kedua orang tersebut.
Baru-baru ini beredar kabar bahwa keduanya tengah dipromosikan naik jabatan oleh Jaksa Agung, HM Prasetyo. Hal tersebut seiring dengan rotasi jabatan yang dilakukan di tubuh Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal tersebut pun lantas membuat awak media bertanya-tanya, apakah ada kesepakatan bawah meja yang dilakukan KPK bersama pihak di Kejagung untuk meloloskan kedua orang tersebut?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Juru Bicara (Jubir) KPK, Febri Diansyah dengan rasa ragu membantahnya.
“Terkait adanya indikasi (kesepakatan bawah meja), saya rasa tidak benar,” tegas Febri, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, (24/1/2017).
Mantan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) itu menjelaskan sebagaimana Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, penetapan tersangka bergantung pada dua bukti permulaan yang cukup.
Adapun saat ini, fakta-fakta yang ada di persidangan dan putusan hakim dalam kasus suap kepada pihak yang memberi masih sedang dipelajari oleh KPK. Menurutnya tak mudah untuk mempelajari berkas-berkas tersebut. Apalagi dalam putusan persidangan atas pihak pemberi suap terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat) diantara hakim.
“Saya kira putusannya tentu akan kita pelajari lebih lanjut soal fakta-fakta persidangan tersebut,” pungkasnya.
Untuk diketahui, awalnya pada Pada 15 Maret 2016, Sudung mengeluarkan surat perintah penyeldikan (sprinlidik) atas dugaan korupsi di PT dengan nilai kerugian negara mencapai lebih dari Rp 7 miliar. Melalui surat perintah tersebut Tomo memanggil beberapa staf PT BA (Brantas Abipraya) untuk diperiksa. Salah satunya Manager Keuangan kantor pusat Joko Widiyantoro.
Dari laporan kesaksian beberapa staf termasuk Joko, Sudi mengetahui penanganan perkara penyimpangan dalam penggunaan keuangan PT BA telah masuk dalam penyidikan dan Sudi sebagai tersangka.
Setelah mengetahui itu, Sudi meminta Dandung untuk ikut membantu dalam menghentikan penyidikan kasus yang tengah dilakukan Kejati DKI itu. Menindaklanjuti permintaan itu, Dandung menawarkan agar persoalan tersebut diselesaikan melalui temannya, Marudut, yang dekat dengan Kepala Kejati DKI, Sudung Situmorang.
Selanjutnya, Marudut, Tomo, dan Sudung pun menggelar pertemuan di Kantor Kejati DKI. Dalam pertemuan tersebut akhirnya disepakati penyelesaian kasus akan dibicarakan oleh Marudut dan Tomo.
Mendapat laporan permintaan tersebut, Sudi pun menyetujuinya, dan meminta Dandung untuk segera mengambil uang dari kas PT BA sebesar Rp 2,5 miliar. Pada 31 Maret 2016, Dandung menyisihkan uang Rp 500 juta dari Rp 2,5 miliar, dan menyimpannya di dalam laci meja kerjanya. Ia beralasan, uang tersebut untuk membiayai makan dan golf dengan Sudung.
Sementara, uang Rp 2 miliar segera diserahkan kepada Marudut, untuk diteruskan kepada Sudung dan Tomo. Sesaat setelah menerima uang, Marudut menghubungi Sudung dan Tomo untuk menyerahkan uang di Kantor Kejati DKI. Tomo dan Sudung kemudian mempersilakan Marudut untuk datang. Namun, dalam perjalanan, Marudut ditangkap oleh petugas KPK.
Adapun saat ini, majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Direktur Keuangan dan Human Capital PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko.
Sementara, Senior Manager Pemasaran PT Brantas Abipraya Dandung divonis hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan. Sedangkan Marudut Pakpahan sebagai perantara divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan. (Restu)