NUSANTARANEWS.CO – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyesalkan sikap intoleransi masih tumbuh subur di Indonesia. Seharusnya, kata dia, setelah 70 tahun negeri ini merdeka tidak lagi mempersoalkan SARA.
“Harusnya sudah tenang, sikap toleransi beragama, sudah berjalan kerukunan umat beragama, kenapa masih terus berlangsung?” kata Tito di Jakarta, Kamis (4/8).
Menurutnya, hal ini disebabkan karena makin suburnya radikalisme. Terutama di kalangan masyarakat bawah.
Di sisi lain, demokrasi Pancasila yang dianut negeri ini mulai bersinggungan dengan demokrasi liberal. Semua orang bebas berpendapat, dan beragama, termasuk menolak pendapat orang lain. Disinilah kemudian timbul persoalan, yaitu sikap memaksakan pendapat orang lain.
“Konflik yang terberat adalah yang mengandung unsur keagamaan. Ini sangat berbahaya, karena ini dianggap perintah tuhan, maka mereka berani siap mati untuk itu. Kita lihat beberapa kasus, separatisme. Teman-temen yang aksi di Papua takut mati, tapi kalau yang bom Bali itu cari mati,” katanya.
Kemudian di media sosial juga bisa gampang memprovokasi itu. Apalagi, kata Tito, kekerasan itu bagian dari doktrin itu, kemudian mengkafirkan orang lain atau menganggap agama lain tidak benar.
“Menurut saya itu perlu dicarikan solusi di negara ini. Media sosial sudah tidak terbatas lagi. Kasus Tanjung Balai kemarin bukan karena media konvensional tapi medsos,” kata mantan Kepala BNPT itu.
Konflik agama, sambung Tito, jauh lebih berbahaya ketimbang menyangkut soal ekonomi, mapun politik. Keadaan makin rumit, ketika ketiga bercampur dan dikemas seolah-olah isu agama.
Solusinya, kata dia, menegakkan bangunan NKRI dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Sebab, jika hal ini tidak dikuatkan, maka akan terjadi perpecahan.
Ada tiga cara untuk membendung konflik atas nama agama ini, yaitu pencegahan, penghentian kekerasan dan pemulihan. Untuk pemulihan sendiri terbagi menjadi tiga hal, yaitu rekonsiliasi pihak-pihak terkait, rehabilitasi terutama untuk korban luka, terpinggirkan dan meninggal, terakhir rekonstruksi. “Ini harus ditangani khusus, karena bisa mnimbulkan dendam,” katanya.
Tito mengakui, institusinya masih lemah dalam mengidentifikasi potensi-potensi konflik. “Pada zaman orde baru, leading sektor itu dari militer, tapi kemudian di era reformasi terjadi paradigma baru leading sektor di polri. Kemudian polri mampunya di penghentian,” tukasnya. (Achmad)