Dalam era pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang melibatkan petahana, pilpres kali ini adalah yang kedua. Pertama adalah tahun 2009. Sebagai petahana adalah SBY. Tetapi saat itu persaingan tidak seketat sekarang. Tingkat elektabilitas SBY sangat dominan di semua lembaga survei. Hal tersebit juga dirasakan dalam suasana kampanye waktu itu. Nuansa biru menenggelamkan nuansa lainnya pada setiap arena kampanye. Tidak ada terasa benturan yang tajam antara pendukung. Begitupun, suara-suara yang menyatakan adanya kecurangan tetap muncul, walaupun tidak dapat dibuktikan secara factual.
Suasana berbeda dirasakan saat sekarang ini. Gesekan antar pendukung sudah pada tahap menggunakan kata-kata yang tidak pantas di dengar publik. Seperti istilah kebohongan, curang, sontoloyo, genderuwio, kecebong, kampret, menjadi menu sehari-hari yang dilontarkan oleh para elie politik, bahkan penyelenggara negara.
Hal tersebut terjadi, karena tingkat elektabilitas para paslon bersaing ketat. Ada yang cenderung menurun walaupu perlahan, dan ada cenderung menaik walau perlahan juga. Yang menurun cenderung stres dan yang naik perlahan cenderung juga stres. Demikian juga, stres melanda partai politik pendukung utama salah satu paslon yang cenderung menurun, karena diikuti dengan menurunnya elektabilitas partai besar tersebut.
Akibatnya sudah dapat diduga. Berbagai strategi untuk upaya pemenangan dilakukan. Mulai dengan cara yang halus, sampai dengan yang kasar. Mulai dengan bujukan sampai dengan ancaman.
Contoh sederhana dapat kita lihat para pecundang politik, yang dulu memaki-maki Jokowi, sekarang mencium tangan Jokowi dan menjadi juru bicara yang seolah-olah seluruh darah daging dan nyawanya untuk Jokowi. Ada yang dulu menuduh Jokowi PKI, sekarang minta maaf ke Jokowi bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Dan Jokowi mamaafkan.
Ada seorang ketua partai yang hobi menyatakan Jokowi itu bodoh, tidak pantas jadi presiden. Sekarang dengan alasan pertamanya menjadi pengacara petahana, ujung-ujungnya gerbong partainya dibawa mendukung Jokowi. Banyak para pengurus partai tersebut dan calon legislatif di daerah menjadi stres, panik, jengkel, geram, kecewa karena perubahan haluan yang mendadak dan keluar dari platform partai itu sendiri.
Dalam situasi Bawaslu dan KPU sepertinya kurang berdaya dan lebih mengikuti irama keinginan para tim sukses atau tim kampanye , dibarengi dengan posisi presiden yang juga sebagai petahana, dengan lawan tanding yang sama dengan 5 tahun yang lalu dan menang tipis, serta keterlibatan para penyelenggara negara secara terselubung maupun terang-terangan tentu menambah semakin tegangnya suasana.
Kita tidak usah bicara peraturan dulu. Sebab peraturan itu buatan manusia gampang disesuaikan dengan keinginan yang punya kekuasaan membuat peraturan. Kenapa itu bisa terjadi, karena lembaga kontrol di luar pemerintahan sudah mandul. Sudah terkoptasi, dan sudah seperti maaf kerbau dicucuk hidungnya.
Dalam diskusi kami beberapa aktivis para alumni Universitas Sumatera Utara yang berada di Jakarta sampai pada kesimpulan bahwa kampanye terpanjang dalam sejarah Republik Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan luka yang dalam bagi mereka yang menjadi korban, baik karena kriminalisasi, diskriminasi, intimidasi, yang kalau tidak dilakukan upaya-upaya rekonsiliasi paska pilpres, dapat menimbulkan instabilitas dalam kehidupan sosial dan politik sebagai bangsa.
Akibat lanjutannya, pemerintah baru yang terbentuk akan mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan pemerintahan secara produktif, kondusif dan aman.
Indikasi-indikasi keadaan tersebut sudah menunjukan gejala klinis awal. Ungkapan berupa frasa strategi perang total. Pernyataan gubernur yang baru dilantik presiden dengan masih berpakaian atribut yang menunjukkan sebagai penyelenggaran negara, membuat pernyataan mendukung Petahana untuk dua periode. Para menteri yang mem-framing bahwa bantuan-bantuan yang diberikan kepada rakyat adalah karena kebijakan Jokowi Seperinya Indonesia itu negara kerajaan. Di mana raja mengeluarkan uangnya untuk rakyat.
Bagi sebagian rakyat tentu tidak ambil pusing. Padahal, yang diberikan itu adalah berasal dari rakyat yang diambil dari berbagai cara. Yang terbesar saat ini adalah dari pajak yang ditarik dari rakyat. Para menteri (tentu tidak semua menteri) sudah kehilangan syaraf kejujurannya.
Ikutannya sudah pasti sesuai dengan pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa yang tetap berlaku dan tidak lapuk di makan zaman. Jangan heran, jika kita melihat banyaknya video yang beredar menunjukkan kelakukan bupati dan walikota menggunakan kekuasaannya secara tidak jujur dan tidak fair.
Mulai dari bantuan sosial, sembako, paket-paket pemberdayaan, bantuan dana desa yang dikondisikan hanya ada dan diberikan pemerintahan Jokowi. Apa yang sudah dilakukan presiden sebelumnya seolah tidak ada. Banyak gubernur, bupati dan walikota yang mengalami amnesia baik secara organik maupun fungsional. Diikuti pernyataan dukungan para camat pada salah satu paslon di beberapa daerah, suatu pemandangan yang memilukan dan memalukan sebagai penelenggaran negara yang harus netral dan mengayomi serta melindungi seluruh rakyatnya.
Bagi Jokowi, situasi seperti ini kalau tidak pandai mengelolanya akan ibarat seperti pisau bermata dua. Pengalaman sebagai penyelenggara negara mulai dari walikota Solo, gubernur DKI Jakarta,dan sudah 4 tahun lebih sebagai Presiden RI seharusnya sudah merupakan modal sosial yang cukup untuk berkompetensi dalam pilpres kali ini sebagai petahana.
Secara teoritis, dengan pengalaman yang panjang menyelenggarakan negara dan pemerintahan, tentunya Jokowi adalah seorang negarawan. Walapun dalam situas berkompetisi saat sekarang ini tidak boleh meninggalkan karakternya sebagai negarawan. Kenapa tidak boleh, karena syarat-syarat untuk menjadi seorang presiden itu merupakan syarat berkarakter negarawan.
Oleh karena itu, seharusnya seorang presden itu harus negarawan. Jika tidak negarawan, dia sudah kehilangan jati dirinya sebagai presiden. Tetapi seorang negarawan tidak harus jadi presiden. Sebab, presiden hanya satu, sedangkan negarawan tidak terbatas.
Dalam debat capres, bagi petahana dan juga presiden, berada pada dua sisi dari satu mata uang. Oleh karena itu, seorang petahana harusa hati-hati benar dalam menggunakan bahasa serta kalimat, dan bahasa tubuh yang ditampilkannya. Jika ada yang keliru atau ada fakta yang tidak benar yang disampaikan dalam debat, serta bahasa tubuh yang tidak simpatik atau tidak menunjukkan kearifan, itu sama artinya sebagai presiden, Jokowi melakukan sesuatu yang mereduksi harkat dan martabat lembaga kepresisdenan dan sekalihgus Jokowi sebagai presiden.
Di sinilah beratnya sebagai petahana. Bagi paslon lawan debatnya tidak perlu mengkonter kesalahan tersebut. Strateginya diserahkan kepada rakyat yang menonton memberikan penilaian. Sebab data informasi sudah terbuka. Efek tersebut terbukti. Esok harinya berbaga lembaga, media memberikan data dan informasi yang menggambarkan tentang berbagai kekeliruan yang disampaikan petahana.
Kami para aktivis kelompok diskusi alumn USU di Jakarta juga melihat situasi yang dihadapi petahana Jokowi, tidak terlepas dari situasi zaman orde baru dulu. Pameo asal bapak senang rupanya belum terkubur, bahkan semakin subur berkembang di sekitar Pak Presiden Jokowi. Fakta soal kebakaran hutan jelas laporannya asbun dari menteri terkait. Soal pembangunan jalan desa 191.000 km juga bagaigamana bentuk jalan dan kualitas jalannya.
Apakah hanya melebarkan jalan tikus, masih bentuk tanah? apakah sudah pakai sirtu (pasir dan batu), apakah beraspal, ada jalan bercor? Lebarnya seberapa, apakah hanya untuk lewat motor saja atau kendaraan roda empat? Tentu presiden harus diberikan informasi selengkap hal tersebut.
Informasi yang disampaikan kepada presiden tentang lubang besar bekas galian tambang, dibuat kolan ikan, bagaimana ceritanya! Bagaimana prosesnya menetralisir suasana asam atau suasana basa bekas galian, serta unsur-runsur logam yang berbahaya jika dimakan ikan, dan ikan dimakan manusia, sehingga tubuh manusia yang makan ikan terjadi keracunan logam.
Perlunya impor beras untuk cadangan bencana alam dan cadangan beras nasional. Tentu perlu diikuti informasi berapa besar beras yang dibutuhkan sebagai CBP (Cadangan Beras Pemerintah) pada kejadian bencana tahun 2017-2018. Berapa untuk stok nasional, berapa besarnya surplus beras sehingga keputusan pemerintah harus mengimport. Hal-hal seperti ini harus jelas, dan harus jelas juga lembaga resmi yang menurut UU punya otoritas mengeluarkan data pembangunan.
Secara teknis tidak ada kesulitahan sebagai petahana untuk mendapatkan data tersebut. Tetapi akan menjadi persoalan besar, jika yaitu tadi, jika para menteri terkait hanya asal bapak senang atau asal bunyi saja!
Sebenarnya Jokowi itu senang melakukan cek dan ricek atas berbagai laporan. Khususnya di pembangunan infrastrukturl dan jalan tol. Beliau rajin meresmikannya walaupun hanya untuk 10 atau 20 km jalan tol yang diresmikan. Rajin terjun ke pasar-pasar, kenelayan. Tetapi mungkin Jokowi belum menyadari, bahwa persoalan bangsa ini sebagai bangsa yang besar juga besar masalahnya.
Oleh karena itu, negara memberikan kelengkapan instrumen penyelenggaraan negara, mulai dari para menteri, gubernur, bupati/walikota, maupun penegak peraturan dan hukum, dan juga alat keamanan agar semua persoalan dapat dibagi habis sesuai dengan tupoksi masing-masing instrumen.
Jadi seorang presiden yang diinginkan oleh bangsa ini adalah wawasan. Kemampuan melihat masa depan, kemampuan melihat peluang, kemampuan melihat tantangan, kemampuan melihat bahaya-bahaya yang mungkin terjadi, minimal untuk 5 tahun ke depan. Mengasah cara berfikir strategis sebagai negarawan mutlak diperlukan.
Kalau seorang presiden bermain di tataran teknis, boleh-boleh saja. Tetapi harus benar-benar menguasai persoalan serta menjiwai persoalan tersebut. Seperti misalnya bagaimana Presiden Soeharto menguasai psersoalan pertanian, karena beliau anak petani dan memjiwai persoalan pertanian. Dan akibatnya, kita swasembada pangan tahjun 1980-an.
Jadi seorang presiden dan petahana, Jokowi sebaiknya bermain di wilayah wawasan, persepektif jangka menengah, dan jangka panjang. Jokowi harus mampu merekonstruksi pembangunan yang sudah dilakukan selama ini on the track sesuai dengan amanat konstitusi, sesuai dengan RPJP, RPJM, visi dan misi (platform) presiden, dan yakinkan rakyat, bangsa ini sedang menuju jalan yang lurus, jalan yang benar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Ungkapkan saja apa yang sudah dikerjakan secara riil. Tidak perlu ditambah atau dikurangi. Apa adanya. Jika ada kekurangan dan kelamahan juga ungkapkan, dan jika diberikan kepercayaan selanjutnya akan diperbaiki semua kekurangan dan kelemahan, bersamaan dengan melanjutkan pembangunan yang sudah direncanakan. Rakyat yang mendengarnya juga senang dan enak ditelinga.
Tidak perlu melakukan penyerangan, menohok, dan mengelak menjawab pertanyaan dengan membuka kelemahan lawan bicara. Sebab hal tersebut akan menggerus kewibaan sebagai presiden, yang intinya adalah mengayomi seluruh warga negara.
Kata kunci untuk seorang presiden, tercermin dalam sumpah sebagai presisden yaitu intinya berbakti untuk nusa dan bangsa dengan seadil-adilnya, sejujurnya, sebaik-baiknya sesuai dengan UU Dasar, UU dan peraturan lainnya.
Semoga Jokowi, Bapak Presiden RI, yang juga petahana, dalam debat putaran berikutnya mendatang ini, tidak lupa posisi beliau sebagai politisi yang sudah menjadi negarawan karena menjabat sebagai presiden berhadapan dengan Paslon 02, yang merupakan politisi yang akan mencoba menjadi negarawan melalui lembaga kepresidenan.
Kita tidak ingin melihat situasi yang terbalik. Seorang presiden sebagai petahana dalam berdebat lebih menonjolkan gaya politisi, sedangkan paslon 02 Prabowo–Sandi, politisi yang menampilkan diri dalam forum debat tersebut sebagai negarawan.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik, Dosen FISIP UNAS