Jokowi Gagal Paham Esensi Bernegara: Dikala Oposisi Mengisi Ruang Kosong, Negara Hadir Ibarat Monster Leviathan

Natalius Pigai (Kritikus dan Aktivis). (Ilustrasi: Istimewa/Pribadi)
Natalius Pigai (Kritikus dan Aktivis). (Ilustrasi: Istimewa/Pribadi)

Oleh: Natalius Pigai (Kritikus dan Aktivis)

NUSANTARANEWS.CO – Pasti banyak orang berprasangka begitu kejamnya judul tulisan ini. Tentu saja judul ini tidak begitu saja jatuh dari langit, ada akar historisnya dan tidak ironis bahwa landas pijak lahirnya sebuah negara bangsa termasuk Indonesia hadir untuk melindungi segenap warga negara dari ancaman nyata antar individu (homo homini lupus), lantas negeri dihadirkan sebagai monster leviathan untuk menerkam rakyat (Thomas Hobes). Negara ini kita lahir karena adanya sumpa pemuda menyatakan kehendak antar individu melahirkan pejanjian berdirinya sebuah negara bangsa (pactum unionis), maka kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat (John Locke). Harus di sadari oleh Presiden Jokowi bahwa negara ini tidak pernah dilahirkan karena adanya penjanjian antara rakyat dan negara (pactum subjectionis) maka negara tidak bisa serta merta mengatur sesuai kehendak pribadi, presiden memiliki ruang terbatas yang dibatasi okeh kekuasan yang bersumber dari konstitusi.

Saya bukan Descartesian atau pengikut Rene Descartes yang mengandalkan kehidupan berlogika dan nalar sebagai sentrum kehidupan. Namun bernalar dan berlogika seringkali menjadi penting tidak hanya di dunia akademia tetapi juga pentingnya logika dalam merancang bangun negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia yang bangunan tata praja dan pranata hukumnya belum sempurna.

Apakah bernalar jika seorang Presiden yang pemimpin tertinggi sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan perlu membentengi diri dari oposisi pemerintah?. Begitu jahatkah oposisi sehingga seorang Presiden yang juga adalah orang terpilih, terbersih, terbaik dari sisi pengetahuan (Knowledge), ketrampilan memimpin (skills) juga bermental baik (attitute) yang dipilih oleh partai-partai politik melalui tahapan seleksi secara ketat lantas memanfaatkan segala instrumen negara untuk kepentingan kekuasaan dirinya bukan untuk kepentingan umum atau kebaikan bersama (bonum commune).

Ironi. Bahwa saat ini partai-partai yang justru mengusung kader terbaik mereka menjadi Presiden Republik Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan kedigdayaan dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dari ancaman hanya sekedar tekanan verbal adalah sesat pikir dan sesat nalar. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan pengguna kekuasaan yang bersumber dari konstitusi, namun konstitusi negara mengamanatkan kekuasaan Presiden juga Tidak Tak Terbatas. Itu esensi negara yang perlu dipahami oleh Presiden Jokowi.

Di saat presiden yang berada di Bizantium Kekuasaan yang saban hari disembah sujud oleh semua elemen bangsa justru memanfaatkan semua instrument negara hanya untuk melindungi diri sendiri yang berkuasa luar biasa. Sementara rakyat kecil berjuang setengah mati mencari perlindungan dan keadilan di negeri ini.

Sangat naif, bilamana Presien menjadikan institusi negara sebagai alat kekuasaan maka tindakannya merupakan perwujudan nyata dari apa yang sering diungkapkan dan dikhawatirkan rakyat bahwa ternyata kekuasaan negara ibarat silet yang menyayat dan menancap tajam ke orang-orang kecil tetapi tumpul pada penguasa di singgasana kekuasaan.

Harus disadari bahwa dimana-mana di dunia ini, seorang Presiden hanya dilindungi dari ancaman keselamatan jiwa dan fisik yang terdiri ancaman luar (external treath) dan keamanan dan kenyamanan di dalam negeri. Dalam konteks ancaman ini, semua upaya perlindungan secara protokoler telah diberikan oleh negara sehingga tidak terlalu penting diberi perlindungan secara hukum apalagi terkait ujaran, demonstrasi dari rakyat terhadap Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Negara kita menganut sistem meritokrasi termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum. Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat berhak mencabut kedaulatan, apalagi hanya sekedar menyampaikan pikirkan, perasaan dan pendapat untuk menilai kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) atas kinerja Presiden. Presiden Pemangku jabatan publik sehingga mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak, mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Presiden juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan Presiden dan pribadi. Sekali lagi bahwa Presiden itu orang yang terseleksi secara ketat termasuk kadar moralitas dan persoalan pribadinya sehingga sejatinya secara otomatis nyaris terhindar atau bahkan jauh dari ujaran kebencian. Namun jika rakyat menyampaikan kata-kata yang mengandung ujaran kebencian maka tentu saja terdapat persoalan yang serius dan kronis dilakukan oleh seorang presiden yang disegani dan dihormati. Karena itu justru yang harus diperiksa adalah Pemerintahannya yang tidak mempu mendeliver haluan negara kepada rakyatnya, bukan rakyat yang disalahkan. Karena itu saya menduga para pemimpin kita ini bernalar laba-laba, komplicated atau bahasa saya di Papua disebut logika rumit (bunikigi)!.

Tagar 2019 Ganti Presiden bukan menghina Presiden. Salah besar Prof Jimly Assidiqie menyatakan menghina Presiden. Rakyat tidak menyatakan mengganti Presiden yang sedang berkuasa pada tahun 2018 karena bisa dianggap makar, tetapi 2019 ganti presiden adanya komitmen rakyat untuk melakukan perubahan pimpinan nasional secara konstitusional melalui momentum pemilihan umum 2019. Sangat wajar jika rakyat menggaungkan opini atau keinginan ganti Presiden dari saat ini dimana sudah memasuki momentum politik Pilpres 2019. Apa yang disampaikan oleh Prof Jimly tentang pasal penghinaan bahwa perlu diketahui bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden itu warisan pemerintah orde baru yang otoriter dan kejam. Jika pemerintah berpandangan kembali sistem kadaluwarsa ini maka reformasi secara substansial belum berjalan secara maksimal. Dan inilah problem serius bangsa ini, dimana kita tersandera dengan pola pikir dan nalar orde baru bahwa presiden adalah simbol negara sehingga harus diselamatkan dan dilindungi. Padahal tidak ada satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan Presiden simbol negara.

Jabatan Presiden itu bukan simbol negara bangsa (nation state simbols) seperti Pancasila, UUD 1945, Burung Garuda, adagium unitarian Bhinneka Tunggal Ika. Secara hukum kekuasaan presiden juga tidak tak terbatas artinya kekuasan presiden dibatasi oleh konstitusi, selain sebagai mandataris MPR juga sebagai warga negara biasa dihadapan hukum. Oleh karena itu Presiden memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan juga kewajiban untuk mematuhi hukum.

Ada pandangan bahwa tindakan Neno Warisman dan rakyat yang menginginkan ganti presiden 2019 adalah Penghinaan terhadap Presiden merupakan sesat logika dan sesat hukum. Bahkan secara politis akan berbahaya karena selain mengkultuskan individu Presiden, juga apapun yang dikatakan Presiden bisa dianggap sebagai sebuah Titah Raja yang tidak terbantahkan, semacam devine right of the King seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Jhon di Inggris aband ke-15 yang pada diakhirnya juga perlawanan rakyat yang melahirkan magna charta.

Pada saat ini, kita mesti mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat untuk menjalankan keseimbangan (check and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu yang cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (Powers tens to corrupt and Will corrupt absolutely).

Sepertinya para politisi dan birokrat gila jabatan dan penjilat terhadap kekuasan. Untuk kepentingan apa dan siapa dari para punggawa ilmu, para profesional, politisi, bahkan preman jalanan sampai mengatur urusan privat seorang warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Jika ada tindakan rakyat dan oposisi yang mengarah pada tindakan yang mengandung unsur pidana maka tanggung jawab pribadi untuk menggunakan haknya sebagai warga negara untuk ajukan gugatan hukum. Dan presiden bisa saja menunjuk pengacaranya sendiri tanpa harus menggunakan instrumen negara untuk menekan rakyat atau Jaksa sebagai pengacara negara. pemerintah jangan hadir seperti monster leviathan yang menerkam rakyat karena menyalahi kodratiyah lahirnya sebuah negara yaitu demi melindungi dan membawa perlindungan dari bahaya saling menerkam (homo homini lupus).

Bagaimanapun harus diakui bahwa kelemahan kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 ini adalah ketidakmampuan membangun bangsa dan memantapkan karakter kebangsaan. Kegagalan terbesar adalah membiarkan disharmoni sosial/horisontal juga secara vertikal antara negara dan rakyat dampaknya terjadi kerusakan fundamental soal kebangsaan. Hal ini patut diduga karena kontribusi tumpukan pemilik nalar orde baru di lingkaran istana negara jadi wajar jika nalar progresif dan reformasi stagnan alias tidak berjalan.

Lereng Marapi, 28 Agustus 2018

Exit mobile version