Politik

Jokowi Didukung Sejumlah Kepala Daerah, Praktisi Politik: Pilpres Bukan Pilkada!

(Ilustrasi/Istimewa)
(Ilustrasi/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Ponorogo – Pilpres 2019 diwarnai dinamika politik yang dinamis. Sejumlah kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota ramai-ramai menyatakan dukungannya kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Menurut politisi asal Ponorogo, Supriyanto, situasi pilpres sangat jauh berbeda dengan pilkada. Perbedaannya pada luas wilayah, jumlah pemilih, ekspektasi publik, strategi, logistik, budaya, dan lain-lain.

Menurutnya, pilkada sangat high cost, khususnya pemilihan bupati, walikota, hampir semua boleh dikatakan full of money. “Artinya seluruh strategi, kegiatan tim, gerakan, serangan, pertahanan, dan lainya secara keseluruhan dibiayai dengan uang yang cukup besar, bahkan untuk voters (pemilih) yang akan berangkat ke TPS disediakan uang saku (money politic) oleh pasangan calon kepala daerah,” kata Kang Pri sapaan akrab Supriyanto saat ditemui di rumahnya, Rabu (26/9/2018).

Dia memaparkan bagi calon kepala daerah yang logistiknya kuat, sebaran money politic-nya bekisar antara 60-70 prosen pemilih, yang diperkiraan hadir ke TPS.

“Semakin sempit wilayah pilkada, semakin tinggi intensitas, dan semakin masif unsur money politic-nya. Maka tidak mengherankan jika banyak kepala daerah yang ditangkap KPK, dan tersandung masalah korupsi. Mungkin salah satu penyebabnya adalah biaya pilkada yang mahal,” tandas Mantan Ketua DPC PDIP Ponorogo ini.

Baca Juga:  Debat Pilgub di Pilkada 2024, Polda Jatim Siagakan 1.284 Personel

Masih menurut Supriyanto, kebiasaan kepala daerah menggunakan biaya besar dalam pilkada, secara psikologis bisa menjadi penghambat upaya mereka untuk mensukseskan calon yang mereka dukung.

“Karena pembiayaan pilpres yang disiapkan calon relatif kecil dibanding luas wilayahnya,” terang mantan Ketua DPRD Ponorogo ini.

Pria kelahiran Desa Bediwetan, Kecamatan Bungkal, Ponorogo mengatakan ada hambatan lainnya, yaitu tidak semua pegawai di jajaran birokrasi pemerintahan, mengikuti kemauan kepala daerah.

“Hal ini bisa dimaklumi karena kebijakan kepegawaian, pengangkatan pejabat, mutasi, rotasi, kenaikan pangkat, golongan, dan lain-lain, sering menimbulkan conflict of interest di intern pemerintahan,” tuturnya.

Selain itu, kata dia, ada problem lainnya adalah menyangkut persepsi masyarakat terkait dengan kinerja, dan kebijakan publik kepala daerah.

“Masalah ini sering kali menimbulkan sentimen negatif , seperti penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, dan kebijakan lainnya, yang berpotensi menggerus elektabilitas capres yang didukung,” jelas Supriyanto.

Hal lain, Supriyanto menambahkan, diperparah pula dengan citra negatif sebagian kelapa daerah yang tersangkut masalah korupsi. “Keputusan kepala daerah dalam menentukan dukungan kepada capres-cawapres belum tentu selaras, seirama, dengan tarikan nafas, serta impian dan harapan publik terhadap pemimpinnya,” cetus Supriyanto.

Baca Juga:  Ratusan Kiyai Kampung Dukung Mardinoto di Pilkada Tulungagung

Pewarta: Muh Nurcholis
Editor: Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,193