NUSANTARANEWS.CO – Israel mulai khawatir dengan kemajuan teknologi militer Iran. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa Iran telah “berbohong” tentang kegiatan nuklirnya, dan menyerukan “sanksi global yang melumpuhkan” terhadap pelanggaran Kesepakatan Nuklir Iran 2015. Tel Aviv mengklaim bahwa Iran telah berupaya untuk memperoleh senjata nuklir dan mengancam keamanan nasional Israel, termasuk melalui kekuatan proxy yang beroperasi di sepanjang perbatasannya.
Menyusul pernyataan Netanyahu, Kepala Staf Umum Pasukan Pertahanan Israel, Let Jen Aviv Kochavi menambahkan bahwa Iran telah “menjadi negara paling berbahaya di Timur Tengah, lansir Jerusalem Post, Minggu (21/6).
“Secara geografis, Iran terletak di lingkaran ketiga dalam kaitannya dengan Israel,” kata Kochavi, “tetapi sangat efektif dalam mempengaruhi lingkaran pertama dan kedua,” tambahnya dengan merujuk kerja sama Iran dengan berbagai milisi yang membentang dari Libanon, hingga Suriah ke Yaman.
Kochavi juga menekankan bahwa, “Meskipun Iran telah membuat kemajuan yang signifikan dalam program senjata nuklirnya, ancaman nuklir bukan lagi satu-satunya ancaman. Iran juga memiliki senjata konvensional yang mematikan.”
Kochavi juga menuduh Iran mendanai organisasi Hizbullah di Libanon, Hamas dan Jihad Islam di wilayah Palestina, dan berusaha melakukan serangan terhadap Israel.
Teheran membantah klaim Israel tersebut, dan meminta masyarakat internasional untuk tidak mendengarkan laporan berdasarkan klaim Mossad. Teheran, mengatakan bahwa tindakan militer ilegal Israel di Suriah, Libanon, wilayah Palestina dan Irak, serta kepemilikannya atas persenjataan nuklir justru merupakan ancaman yang sebenarnya terhadap stabilitas dan keamanan kawasan regional bahkan keamanan dunia internasional.
Iran, meskipun telah bertahun-tahun dikenai sanksi ternyata mampu mengembangkan teknologi militernya, termasuk rudal, radar dan drone. Sejak 2016, drone-drone Iran telah terlibat aktif perang melawan ISIS, bahkan drone bersenjata Iran mampu menerobos wilayah udara Israel.
Pada Juni 2019, Iran berhasil menembak jatuh pesawat tanpa awak RQ-4A Global Hawk milik AS yang berharga US$ 220 juta karena melanggar wilayah udara Iran di atas Selat Hormuz. Bukan itu saja, Iran bahkan telah menggunakan rudal Fateh dan Qiam untuk menghancurkan pangkalan militer AS di Irak secara presisi sebagai pembalasan atas pembunuhan Jenderal Sulaimani, Komandan pasukan Quds Iran.
Israel cukup khawatir dengan perkembangan teknologi militer Iran karena berdasarkan laporan Global Fire Power 2020, kekuatan militer Iran kini berada di peringkat 14 dari 138 dunia, dan berada pada peringkat 3 dari 15 negara di kawasan regional Timur Tengah.
Selain persenjataan, Iran memiliki sekitar 500.000 personel aktif, termasuk 350.000 di pasukan regular dan 150.000 Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC). IRGC juga memiliki sekitar 20.000 personel pasukan angkatan laut tambahan yang mengoperasikan sejumlah kapal patroli bersenjata rudal di Selat Hormuz. IRGC yang didirikan 40 tahun yang lalu kini telah menjadi kekuatan militer, politik, dan ekonomi utama yang otonom di Iran.
Sebuah laporan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) secara spesifik menggambarkan bahwa pasukan rudal Iran sebagai kekutan yang terbesar di Timur Tengah. Meski tidak memiliki angka yang pasti, sebuah Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di AS mendukung laporan Pentagon yang mengatakan bahwa Iran memiliki ribuan rudal canggih beragam jenis. BBC melaporkan bahwa, “Iran memiliki kekuatan rudal yang sangat maju dengan beragam senjata lainnya.
Iran bahkan berani mengklaim bahwa rudal balistiknya memiliki jangkauan dan kemampuan untuk menghancurkan target-target di kawasan Teluk hingga Israel.
Selain pengembangan teknologi rudal balistik, Iran juga kini mulai menguji teknologi ruang angkasa – yang memungkinkannya untuk mengembangkan rudal antar benua.
Pada 2015, Presiden Barack Obama memperkirakan Iran hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan untuk menghasilkan bahan nuklir yang cukup untuk membuat senjata. Sehingga terjadi Perjanjian Nuklir antara Iran dengan enam kekuatan dunia yang dikenal sebagai JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) untuk mencegah Iran membuat senjata nuklir.
Namun pada 2018, Presiden Trump menarik diri dari perjanjian dan mendorong batasan yang lebih luas dan permanen terhadap kegiatan nuklir Iran.
Setelah pembunuhan Jenderal Soleimani oleh AS, Iran mengatakan tidak akan terikat oleh pembatasan ini. Namun Iran mengatakan tetap akan terus bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB, IAEA. (Banyu)