OpiniRubrika

Islam Nusantara dan Tuduhan Anti-Arab

islam nusantara, anti arab, islam nusantara nu, polemik islam nusnatara, arti islam nusantara, islam nusantara adalah, nusantaranews, gagasan islam nusantara
(Foto: Ist)

NUSANTARANEWS.CO – Salah satu kegagalan banyak pihak memahami diskursus Islam Nusantara adalah dengan nyinyir seolah-olah warga NU itu anti segala hal berbau Arab. Maka mereka nyinyir kalau melihat tulisan saya mengutip sejumlah kitab tafsir berbahasa Arab. “Anti-Arab kok mengutip kitab berbahasa Arab!” kata mereka.

Di pesantren dan madrasah, warga NU biasa belajar bahasa Arab sejak kecil. Tidak mungkin kemudian kami anti dengan bahasa Arab. Banyak santri yang sangat ngelotok memahami grammatika bahasa Arab, bagaimana mungkin kemudian kami dituduh anti-Arab?

Mereka yang menuduh juga menyindir kalau warga NU selesai sholat tidak baca assalamu ‘alaikum ke kanan-kiri karena diganti dengan selamat sore- selamat malam. Atau mereka menyindir kalau warga NU wafat akan dikafankan dengan kain batik, bukan kain kafan putih. Ini tentu tuduhan ngawur yang merefleksikan ketidakpahaman mereka mengenai gagasan Islam Nusantara.

Baca juga: Catatan Perjalanan Islam Nusantara ke Eropa Bersama Ki Ageng Ganjur

Warga NU tahu ilmunya sehingga dalam soal budaya Nusantara mereka mengakomodasinya secara proporsional. Islam Nusantara bukan menabrak Syari’at tapi mengisi aplikasi penerapan Syari’at dengan mengkomodasi budaya. Dalam bahasa Ushul al-Fiqh ini disebut dengan: al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum).

Baca Juga:  Kantor PWI Pusat Dijaga Gerombolan Bertampang Debt Collector, Siapa Mereka?

Begitu juga dengan kaidah: al-Ma’ruf ‘urfan ka al-Masyrut Syartan (hal baik yang sudah dikenal secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat) atau al-Tsabit bi al-dalalah al-‘urf ka al-tsabit bi al-dalalah al-nash (yang ditetapkan dengan indikasi dari adat sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash). Dan juga kaidah lainnya: Ma raahu al-muslimun hasanan fa huwa ‘indallah hasan (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi Allah pun dianggap baik).

Baca juga:

Islam Jawa (Islam Nusantara) Bagian I
Islam Jawa (Islam Nusantara) Bagian II
Islam Jawa (Islam Nusantara) Bagian III
Islam Jawa (Islam Nusantara) Bagian IV

Semua kaidah ini sudah dipelajari bagaimana penerapannya di masyarakat Indonesia oleh para kiai Nahdlatul Ulama (NU). Itu sebabnya NU itu lentur, fleksibel tapi juga lurus. Dalam bahasa lain, NU itu tawazun, tasamuh, tawasuth dan i’tidal. Kalau cuma lurus saja, belum komplit NU-nya. Kalau cuma lentur saja, juga belum komplit ke-NU-annya.

Baca Juga:  Hadiri Anniversary ke-18 Pemuda Bhayangkara Desa Carat, Kang Bupati Sugiri Bersama Wabup Bunda Lisdyarita Terharu

Mau pakai baju batik atau blankon, sorban dan gamis, atau peci hitam-peci putih, shalat anda sama-sama sah. Islam Nusantara tidak akan menganggap hanya yang pakai batik dan peci hitam serta sarung yang sah shalatnya. Kami juga tidak akan menganggap hanya mereka yang pakai sorban dan gamis saja yang sah shalatnya. Selama shalatnya menutup aurat dan suci dari najis, maka pakaian apapun yang dianggap baik menurut adat setempat bisa dipakai untuk shalat.

Baca juga: Tradisi Mudik dan Lebaran Sebagai Ekspresi Islam Nusantara

Begitu juga ungkapan akhi-ukhti, bagi kami itu sederajat dengan panggilan mas atau mbak. Mau panggil istri anda dengan ummi atau mamah atau ibu atau panggilan mesranya lainnya, silakan saja. Tidak perlu anti-Arab, tapi juga tidak perlu memaksakan orang lain untuk seperti orang Arab. Jangan sampai semua istilah lokal dan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia mau diganti dengan bahasa Arab biar terkesan lebih islami dan kemudian memaksa orang lain untuk mengikuti anda. Ini yang tidak bijak dan kurang proporsional.

Baca Juga:  Sejumlah Tokoh dan Pakar IT Deklarasi Berdirinya FORMASI

Mau makan nasi kabuli silakan. Mau makan jengkol dan pete ya silakan. Islam Nusantara mengakomodasi semuanya. Kami warga NU belajar ilmu keislaman klasik dalam kitab berbahasa Arab tidak berarti kami harus lebih Arab dari orang Arab. Kami tetap warga Indonesia; bukan orang Arab. Islam di Jawa sama sah dan validnya dengan Islam di Madinah. Jangan kemudian ini dipelintir bahwa tidak perlu kita naik haji ke Arab. Bukan begitu. Zaman sekarang sayangnya banyak pelintiran model Jo**u.

Baca juga: Baca juga: Cirebon, Kota Persinggahan Peradaban Islam Nusantara

Entahlah, kenapa masalah yang terang benderang seperti ini saja masih banyak pihak yang gagal paham (atau memang sengaja tidak mau paham) dan terus membenturkan Islam Nusantara dengan model penafsiran dan aplikasi Islam lainnya. Atau memang ada pihak yang akan bertepuk tangan melihat kita terus gontok-gontokkan? Na’udzubillah min dzalik.

Penulis: Nadirsyah Hosen, Khadim warga NU di Australia-New Zealand.

Related Posts

1 of 3,054