EkonomiMancanegaraPolitik

Inisiatif Belt and Road Adalah Model Imperialisme Ala Cina

Inisiatif Belt and Road

NUSANTARANEWS.CO – Inisiatif Belt and Road adalah model Imperialisme ala Cina. Negara-negara berkembang yang memiliki aset strategis begitu tergoda untuk terlibat dalam proyek global Cina tersebut. Melalui proyek infrastruktur ini, Beijing akhirnya mampu meningkatkan pengaruh globalnya menyaingi Amerika Serikat (AS). Inisiatif Belt and Road kini telah menjadi proyek andalan Cina untuk menaklukan dunia.

Namun, belakangan banyak muncul kritik terhadap keberlangsungan proyek raksasa tersebut, di mana negara-negara mitra banyak yang mengeluh karena terjerat oleh lingkaran utang tidak berkesudahan. Mereka yang tercekik akhirnya dan aset pun berpindah dalam kasus Srilangka.

Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador terkait dengan keberadaan proyek Belt and Road di Amerika Latin mengatakan bahwa negaranya sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan proyek raksasa tersebut. Bila Meksiko jadi bergabung, maka Beijing akan memiliki pijakan kuat di negara yang berbatasan langsung dengan AS.

Di wilayah Karibia, Trinidad dan Tobago pada bulan Mei tahun lalu telah turut ambil bagian dalam Belt and Road dan sebuah perusahaan BUMN Cina telah mendapatkan kontrak untuk membangun dok kapal.

Baca Juga:  Gus Imin Maju Pilpres, PKB Jawa Timur Juara Pileg 2024

Proyek “Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 yang diluncurkan pada tahun 2013 di Gedung Parlemen Indonesia oleh Presiden Xi Jinping – sekarang telah meluas ke seluruh dunia terkait kepentingan ekonomi Cina di luar negeri.

Sebagian besar proyek di danai langsung oleh Beijing dalam bentuk investasi dan pinjaman dengan tingkat bunga komersial. Proyek dalam bentuk pinjaman ini belakangan mendapat banyak kritikan karena membuat negara-negara miskin memiliki utang terlalu besar. Dengan kata lain, Beijing telah membuat perangkap utang. Beijing juga dicurigai sedang membangun struktur perdagangan dan politik yang berpusat di Cina.

Tidak mengherankan bila Malaysia, mungkin juga Nepal dan Thailand, serta beberapa negara lain kemudian membatalkan atau merundingkan kembali proyek-proyek infrastruktur tersebut karena tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi lokal.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad setelah mejabat kembali pada tahun 2018 – lansung menangguhkan sejumlah proyek infrastruktur yang didanai oleh Cina dan berupaya melakukan renegosiasi untuk mengurangi tingkat utang yang begitu besar.

Baca Juga:  Jamin Suntik 85 Persen Suara, Buruh SPSI Jatim Dukung Khofifah Maju Pilgub

Ethiopia juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan beban utang sebesar US$ 4 miliar untuk royek-proyek buatan Cina: seperti jalur kereta api yang menghubungkan ibu kota Addis Ababa dengan negara tetangga, Djibouti. Ethiopia kemudian memperpanjang jangka waktu pembayaran hingga 20 tahun.

Di Zambia, para kritikus menuduh dan khawaatir bahwa Cina akan mengambil kendali pengelolaan aset negara karena kesulitan membayar utang.

Pakistan terpaksa meminjam dana talangan dari Cina karena krisis neraca pembayaran, mirip Indonesia hari ini. Di mana krisis tersebut sebagian dipicu oleh proyek-proyek infrastruktur di bawah Koridor Cina-Pakistan senilai US$ 62 milyar.

Cina tampaknya sedang menjalankan strategi diplomasi ekonomi dalam bentuk proyek infrastruktur dan utang kepada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk dieksploitasi asetnya bila tidak mampu membayar utangnya. Dengan kata lain, inilah imperialisme ala Cina yang dikombinasikan dengan kolonisasi sebagai urat nadi proyek Belt and Road-nya. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,052