NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini terbilang rajin menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menindaklanjuti kasus-kasus besar yang sempat terpendam bukan berarti upaya pihak luar untuk menggembosi KPK sudah tidak ada. Berdasarkan catatan Nusantaranews.co hampir genap satu bulan ada tiga modus yang dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab untuk melemahkan lembaga antikorupsi itu.
1. Undang-Undang Revisi KPK Kembali Hidup
Pada awal Maret 2017, tanah air dihebohkan dengan digaungkannya kembali Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan revisi UU ini sudah disosialisasikan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Sosialisasi revisi UU KPK ini ditugaskan langsung oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov). Permintaan sosialisasi dimintakan pada Februari lalu.
Ada yang menarik, perintah Setnov ini berbarengan dengan sikap KPK yang tengah gencarnya membongkar mega skandal korupsi e-KTP, yang didalamnya terlibat sejumlah kalangan elit politik seperti Setya Novanto, Chairuman Harahap, Yasonna Laoly dan lain-lain.
Setidaknya ada empat poin yang akan direvisi UU KPK, seperti, soal KPK yang bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri, kewenangan penyadapan KPK, dibentuknya dewan pengawas bagi KPK, dan kewenangan KPK untuk bisa menghentikan kasus (SP3).
Jika dikihat poin-poin dalam revisi UU itu malah cenderung melemahkan lembaga antirasuah itu, bukan justru memperkuat.
Adapun sejauh ini, banyak pihak yang menyuarakan menolak revisi tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Forum Rektor Indonesia dan Guru Besar Antikorupsi dari berbagai Perguruan Tinggi.
Dimana pada Jumat, 17 Maret 2017, mereka memberikan sebuah lentera kepada KPK. Lentera itu sendiri hanya merupakan sebagai simbol agar lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo CS saat ini lebih banyak menuntaskan kasus korupsi di Indonesia.
2. SP2 Novel Baswedan
Ketika Revisi UU KPK mulai meredup, kini jagad raya kembali dikagetkan dengan Surat Peringatan (SP) 2 yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Novel mendapat SP2 dari Agus pada 21 Maret 2017.
SP2 diterbitkan untuk Novel dalam kapasitas sebagai Ketua Wadah Pegawai (WP) setelah dia keberatan dengan keinginan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman terkait rekrutmen penyidik.
Mulanya Aris mengirimkan nota dinas kepada pimpinan KPK yang meminta perwira tinggi dari Polri untuk dijadikan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) penyidikan. Namun Novel keberatan, ada tiga alasan yang membuat Novel keberatan.
1. meminta perwira tinggi Polri sebagai Kasatgas Penyidikan di KPK tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
2. Wadah Pegawai mengkhawatirkan integritas perwira yang direkrut tanpa prosedur reguler.
3. masih banyak penyidik di internal KPK yang dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi Kasatgas Penyidikan, sehingga diharapkan rekrutmen dilakukan dari internal terlebih dahulu.
Atas tindakan itu, pimpinan KPK memutuskan bahwa Novel melakukan pelanggaran sedang yaitu menghambat pelaksanaan tugas dan melakukan perbuatan yang bersifat keberpihakan. Ketentuan mengenai pelanggaran itu diatur dalam Pasal 7 huruf f dan g Peraturan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Menariknya lagi, SP2 ini dikeluarkan tepat saat sidang kasus e-KTP sedang memanas gara-gara Politisi Hanura, Miryam S Haryani. Dimana dalam persidangan sebelumnya, Miryam memohon pada Majelis Hakim untuk mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK.
Dalih Miryam, lantaran saat memberikan keterangan Ia merasa diancam dan ditekan oleh penyidik KPK, Novel Baswedan. Namun saat hendak dikonfrontir dengan Novel, Miryam malah mangkir dengan alasan sakit.
3. Penggembosan Dari Dalam Melalui MoU
Tak cukup sampai disitu, kini oknum mulai membisiki atau bahkan mungkin mengancam para pimpinan untuk melakukan penggembosan melalui jalur dalam dengan cara yang legal.
Dimana, KPK bersama Kejagung dan Polri hari ini, melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU). Isinya cukup mengagetkan, pasalnya ada beberapa poin yang dianggap semakin melemahkan KPK.
Pertama jika salah satu pihak melakukan penggeledahan atau penyitaan di kantor salah satu lembaga tersebut, maka lembaga yang melakukan penggeledahan harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pimpinan lembaga yang digeledah.
Poin tersebut justru bertentangan dengan aturan dimana KPK tidak perlu mengantongi izin dari pengadilan, sedangkan aparat penegak hukum (apgakum) perlu izin dari pengadilan dalam melakukan penggeledahan.
Adapun poin-poin lain yang semakin melemahkan KPK dalam MoU tersebut yakni jika salah satu pihak melakukan pemanggilan terhadap anggota tiga lembaga itu, maka pihak yang melakukan pemanggilan harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pimpinan lembaga yang anggotanya dipanggil.
Masih berdasarkan MoU, tiga lembaga tersebut juga dapat menyelenggarakan pertemuan dan dengar pendapat dalam rangka mengoptimalkan penanganan korupsi.
Reporter: Restu Fadilah