NusantaraNews.co, Jakarta – Indonesian Club menilai tradisi kebijakan impor komoditas pangan dan komoditas non pangan bukan barang baru bagi pemerintahan. Keberadaannya seolah telah menjadi bom waktu bagi petani dan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sektor agraris.
“Praktis sejak kran liberalisasi dijalankan di era reformasi, Pemerintahan gemar melakukan impor berbagai komoditas pangan yang berasal dari produk pertanian dan kelautan,” tegas Direktur Eksekutif Indonesian Club Gigih guntoro dalam siaran persnya, yang ditulis NusantaraNews, Kamis (25/1/2018).
“Komoditas pangan yang seharusnya dapat diproduksi di dalam negeri antara lain adalah bawang merah, bawang putih, beras, garam, jagung, kentang, kedelai, gandum, daging, gula, tepung terigu, dan lain-lain, justru dipenuhi dengan melakukan impor,” imbuh Gigih.
Menurut dia, kebijakan impor komoditas pangan ini pun masih berlanjut di era Pemerintahan Jokowi. Ini memperlihatkan wajah aseli Pemerintahan Jokowi_liberal walaupun mengusung panji Trisakti.
“Kebijakan-kebijakan di sektor pertanian masih belum bisa membawa Indonesia pada kedaulatan pangan secara permanen. Padahal alokasi program untuk kedaulatan pangan pada Tahun 2015 mencapai Rp.67,3 Triliun kemudian berlanjut pada tahun 2017 mencapai Rp.103,1 Triliun,” ungkapnya.
Besarnya alokasi anggaran untuk mendukung kedaulatan pangan, hemat Gigih, belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. “Baru berjalan tiga tahun Pemerintahan Jokowi justru tidak memiliki konsistensi dan komitmen dalam mewujudkan kedaulatan pangan yang menjadi program prioritas Nawacita. Janji Pemerintahan Jokowi dalam tiga tahun menargetkan swasembada komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan gula adalah kebohongan,” katanya, menguraikan.
Meskipun, sambung Gigih, menurut Deptan Tahun 2018 mengalami surplus beras sebanyak 400 ribu ton. Tapi tak menyurutkan Pemerintahan Jokowi untuk melakukan impor beras sebanyak 500.000 juta dari Vietnam dan Thailand dan impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton dari Australia. Apapun alasannya, langkah pragmatis membuka kran impor komoditas pangan kontraproduktif bagi ketahanan ekonomi masyarakat, disisi lain Pemerintahan dari dulu hingga sekarang tak pernah serius membenahi sistem pertanian kita.
“Bahkan cara instan dengan melakukan impor komoditas pangan dengan sengaja terus dipelihara Pemerintahan dan elit politik dengan tujuan rente. Maka sama saja bahwa Pemerintahan secara sengaja telah mendesign sendiri dalam penghancuran nasib petani,” hemat Gigih.
Lebih lanjut ia mengatakan, kebijakan impor komoditas pangan kali ini terkesan dipaksakan Pemerintahan dan cenderung rentan ditunggangi elit politik yang akan berujung pada korupsi. Kita tidak dapat menyangkal jika Impor komoditas yang sudah dilakukan sejak dulu hingga sekarang telah menjelma menjadi kartel dan mafia pangan. Menurut KPPU bahwa hampir 80 persen komoditas pangan dan daging dikuasai Kartel Pangan. Kartel komoditas pangan ini tidak hanya sengaja mengkondisikan kelangkaan sehingga mereka leluasa mengatur pasokan dan harga komoditas pangan di pasar, tapi juga telah memperburuk kondisi sosial ekonomi rakyat indonesia.
“Meskipun Pemerintahan telah membentuk Satgas Pangan, namun keberadaan Kartel dan Mafia Pangan juga belum tersentuh secara hukum. Bahkan terlihat semakin kuat dalam mengendalikan kebijakan Impor pangan. Jika istrumen hukum saja sudah tidak mampu menyentuh kartel komoditas pangan, dapat disimpulkan bahwa saat ini Pemerintahan juga sedang dikendalikan atau bahkan merupakan bagian dari Kartel komoditas pangan itu sendiri yang ikut menghancurkan petani dan nelayan Indonesia,” tandasnya.
Pewarta/Editor: Achmad S.