Berita UtamaOpiniTerbaru

In loco Parentis, Orang Indonesia Memang Iyes

In loco Parentis, Orang Indonesia Memang Iyes
In loco Parentis, Orang Indonesia Memang Iyes

In loco Parentis, Orang Indonesia Memang Iyes

Hampir tiga minggu ini adalah masa tersulit dari masa-masa sulit 1.5 tahun ini. Terbukti bahwa kekuatan terbesar Indonesia itu ada di rakyatnya. Kalau sebuah kebijakan tidak didukung oleh rakyat, maka sebagus apapun akan sia-sia. Bahkan, seringkali rakyat sudah melakukan inisiatif, atau memberikan lebih, dari apa yang diminta pemerintah.

 

Oleh: Sidrotun Naim Ph.d

 

Saya bagi analisis terbaru yang kami (Mas Bowo dan saya) diskusikan setiap minggu. Mengapa setiap minggu? Karena berhadapan dengan SARS-CoV-2, apalagi varian Delta, seminggu itu sudah terlama. Kami rakyat biasa, tidak punya akses ke data dan SDM untuk membuat analisis dengan skala harian. Karena pekerjaan manual (ada otomatisasi terbatas) itu perlu kesabaran tingkat tinggi, beda dengan kalau punya akses ke data dan dapat dilakukan otomatisasi asal datanya nge-link. Tapi inilah salah satu modal orang Indonesia. Secara umum sabar-sabar, ga grusa grusu (kecuali yang tidak, eaaaa).

Indikator baru yang kami tambahkan untuk minggu ini diwakili panah hijau dan merah, artinya membaik/ memburuk dibandingkan dengan seminggu sebelumnya. Kami juga tambahkan indikator kepatuhan prokes, yang datanya kami ambil dari website satgas covid.

Sekitar dua bulan yang lalu, saya tanya ke Mas Bowo, bisa tidak itu indikator yang macam-macam dan seringkali diubah ke angka tunggal, ditampilkan di satu halaman untuk seluruh Indonesia? Untuk memudahkan pengambil keputusan, melihat dalam satu pandangan mata dan semua indikator penting tetap terbaca satu-satu? Indonesia itu Satu Kesatuan, harus selalu dilihat sebagai satu. Soal minggu ini perlu fokus ke lokasi A, besok ke B, itu soal lain. Untuk membuat tampilan seperti ini, setelah semua data tersedia dan dengan sabar didownload satu-satu, perlu sekitar 24 jam. Mas Bowo luar biasa sabar.

Soal visualisasi data dan what does the data tell us, yang harus padat, informatif dan meaningful, saya pelajari saat dididik sebagai policy analyst di Kennedy School.  Saya beruntung masuk sekolah ini, setelah training saya sebagai scientist selesai lebih dahulu di level tertinggi yang dapat ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Karena sains dan kebijakan saling melengkapi. Sains itu baru ‘bunyi’ kalau diletakkan dalam kerangka kebijakan. Untuk membantu pengambil keputusan apalagi di masa berat, yang taruhannya hidup-mati dalam arti sebenarnya, atau hidup mati dalam arti orang kehilangan penghidupan, akses kepada layanan publik, dll.

Baca Juga:  Anggaran Pembangunan Tugu Keris Capai 2,1 Miliar, Juhari Anggota DPRD Sumenep Minta Masyarakat Ikut Mengawasi

Jadi, bagaimana Indonesia per 20 Juli?

Jawa secara umum indikatornya membaik. Terlihat di kurva kasus ujungnya mulai menekuk ke bawah, tanda kasus sudah mulai menurun. Jabar bahkan angka kematian menurun signifikan, walau BOR masih tinggi. Kalau di kurva, Jawa masih warna merah, ya karena awalnya juga merah. Bali sebetulnya belum ada pelandaian, BOR masih tinggi. Padahal vaksinasi, mobilitas, prokes bagus. Delta too powerful? Perlu dipertahankan level 4 di sana. Apa yang terjadi di Bali dan Yogya, dua destinasi wisata Indonesia, harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Jangan terlalu PeDe untuk membuka wilayah dan menarik orang untuk berkunjung. Apalagi saat tahu ada risiko dari Delta.

Aceh memiliki penurunan mobilitasnya signifikan, dan kepatuhan prokes tergolong tinggi. Mungkin itu sebabnya BOR aman, kasus turun. Kalteng, Sulbar (terlepas sudah ada Delta) dan Maluku juga ada kans bertahan. Overall indikatornya lebih bagus semua dibanding Sulbar. Gorontalo menjadi propinsi terakhir yang kami warnai kuning, terlepas di situ pernah ada Delta beberapa bulan yang lalu. Somehow, generasi Delta Januari-Maret 2021 bisa ter-contained, sedangkan yang sejak April menimbulkan masalah sampai sekarang.

Propinsi mana yang perlu perhatian lebih? Saatnya pemerintah pusat memberikan perhatian lebih di luar Jawa. Sumut, Riau, Kaltim, Kalsel: BOR melewat 60% dan masih tren naik. Sumut masuk range kasus R7H 1000 per hari. Kaltim kasus sudah melandai, tapi BOR 80% lebih. Sulsel dan SulTengah juga masih banyak indikator belum membaik.

Secara umum, key takeaway-nya adalah, penurunan mobilitas dan kepatuhan prokes secara sukarela oleh masyarakat maupun di-enforced oleh pemerintah lewat PPKM Darurat atas mekanisme dan anjuran lain, efektif menahan laju penyebaran, di saat vaksinasi cakupannya masih rendah. 50:50, yg sukarela dari masyarakat juga besar kontribusinya. Kalau s/d tanggal 26 Juli tren turun terus, kita bisa bilang pembatasan pergerakan ini berhasil.

WFH dan PJJ tetap perlu dimaksimalkan di bulan-bulan mendatang, sambil menunggu cakupan vaksinasi naik signifikan.

Di kala testing masih terbatas (Positivity Rate tinggi), dan pembangunan/aktivasi fasilitas isolasi terpusat juga terbatas dan resiko kalah cepat oleh delta, maka pemantauan dan dukungan terhadap mereka yg isoman sangat penting utk memutus rantai penularan. Perlu kebijakan perlindungan hukum dari sisi ketenagakerjaan bagi karyawan yg isoman. Ketika isoman harus diliburkan. Jangan sampai gaji dipotong (ya,saya tahu ini klise dari perspektif yang bayar gaji). Dukung secara pengobatan dan pendapatan. Hilangkan syarat PCR negatif utk masuk kerja kembali. Jadi orang tidak ragu dan takut untuk mengaku positif dan fokus isoman utk pemulihan.

Baca Juga:  PPWI Adakan Kunjungan Kehormatan ke Duta Besar Maroko

Beberapa hari yang lalu, orang yang saya kenal dengan baik, seperti kebanyakan anak muda Indonesia, bekerja di toko. Ketika saya mendengar bahwa boss-nya yang membiayai PCR untuk konfirmasi apakah isolasi mandirinya setelah positif covid dapat diakhiri, saya komen: “Kok apik-an men (baik bener) boss-mu. Emang toko kaya ya?” Saya bertanya dengan segala prasangka baik, kemudian direspon: “Apik-an ada maunya. Begitu aku negatif, harus langsung kerja. Toko kan masih buka meski jam dikurangi”. well, inilah hidup nyata. Tidak bisa selalu sesuai mau kita. Tapi, tidak boleh lagi ada berita, petugas yang mewakili pemerintah daerah, menendang rakyat karena dianggap tidak patuh. Ini masa-masa berat yang perlu gotong-royong dan kemauan semua pihak untuk tidak saling emosi.

Pemerintah daerah dan pusat juga layak diapresiasi. Terlepas belum sempurna, tentu juga sudah kerja keras. Bukankah negara ini mendapat otoritas dari warganya sebagai in loco parentis? Seperti orang tua yang harus melindungi anaknya? Saat saya dan Anda bisa tidur nyenyak, para in loco parentis inilah yang berjaga hingga dini hari, memikirkan kita semua. Kerja keras mereka tidak semua kita lihat langsung, tapi percayalah niatnya sudah baik dan mati2an kerjanya dan terus diperbaiki.

Narasi bahwa yang sedang memburuk itu bukan hanya Indonesia, tapi bahkan negara maju seperti UK, US, Israel, perlu dihentikan. Tahun pertama, mau negara maju mau negara maju mundur, sama-sama bingung. Sama-sama KO kalau kasusnya banyak akan otomatis kematian banyak.

Di tahun kedua, yang namanya disparitas itu nyata. A tale of two very different world. Jumlah kasus boleh sama-sama banyak, tapi yang meninggal beda jauh. Langit dan bumi. Sebutkan satu saja negara maju, yang di tahun 2021 angka kematian masih tinggi. Ga ada. Sementara di negara seperti Indonesia dan India, begitu dihantam Delta, yang paling menyakitkan adalah, kita tidak mampu menyelamatkan nyawa lebih banyak. Bahkan kita kehilangan nakes yang gugur di medan juang. Dalam jumlah yang sudah terlalu banyak. Ini harus diakui dulu bersama, baik oleh state maupun oleh citizen-nya.

Baca Juga:  Inggris Memasuki Perekonomian 'Mode Perang'

Tidak perlu lagi mengedepankan angka kesembuhan yang dua juta lebih itu. Gimana sih. Kalau yang sakit tiga juta orang, yang sembuh tiga juta kurang 50 ribu misalnya, ya wajar. Masak kita berharap yang sembuh hanya sejuta dari tiga juta? Sesuatu yang wajar, ya tidak perlu di highlight, supaya bisa fokus di apa yang perlu menjadi perhatian. Angka kesembuhan memang berita bagus, tapi sekali lagi, tidak perlu dihighlight.

Sebuah gestur yang sangat baik menurut saya, ketika Pak Luhut secara ksatria minta maaf beberapa hari yang lalu. Dalam memori saya, saya tidak ingat kapan terakhir ada pejabat berani menggunakan kata ‘maaf’ di depan publik. Permintaan maaf yang serius.

Kita harus terus bersatu. Karena mengomel, tidak mengubah banyak hal. Covid mengajarkan kepada kita untuk tidak percaya diri berlebihan. Prokes harus terus dijalankan. Di negara maju, soal prokes ini mulai longgar karena sebagai bagian dari normal baru. Masak selamanya harus maskeran terus-terusan. Ada pertaruhan, kalau misalnya bisa bobol lagi. Meski saat ini, mereka percaya diri karena vaksin yang digunakan sudah terbukti mampu menekan kasus berat dan kematian. Gpp orang sakit asal ga berat. Asal tidak mati.

Jangka panjang, penanganan pandemi di hulu menjadi kunci. Hulu itu di masyarakat,  ya saya dan Anda ini. Disiplin prokes akan menjadi bagian hidup. Sebelum covid, untuk periode 1980-2015, salah satu kesuksesan dalam memperbaiki behavior manusia adalah penurunan drastis perilaku buang sampah sembarangan dan merokok. Sayangnya, yang kedua ini ada tren naik lagi di beberapa kelompok.

Disiplin prokes perlu terus digalakkan. Pemerintah dan masyarakat perlu investasi banyak di sini. Sama seperti perilaku buang sampah sembarangan dan merokok yang dapat ditekan, ayuk kita optimis dan sadar bahwa disiplin prokes harus menjadi perilaku yang menubuh (menjadi satu dengan jiwa dan raga) dengan kita untuk ke depan. (Red)

Related Posts

1 of 3,049