NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Rencana pemerintah yang hendak mengimpor liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair dari Singapura mendapat tanggapan serius dari pengamat ekonomi Salamuddin Daeng. Dirinya mengaku heran dengan kebijakan itu.
“Kok bisa? Indonesia kan ekaportir gas terbesar di dunia. Salah satu tujuan ekspor adalah Singapura. Pipa gas terbesar di dunia dialirkan dari Nantuna ke singapura. Siapa yang menghitung berapa besarnya?” ujar dia saat dihubungi Nusantaranews, Selasa (29/8/2017) kemarin.
Mengenai saluran pipa gas yang dialirkan ke Singapura bukan rahasia lagi. Dirinya mengatakan, memang yang harus dipertanyakkan kata dia adalah seberapa besar Singapura menggarong gas dari Indonesia?
“Kalau lihat sejarah sejak UU 22 tahun 2001, Indonesia menjadi sasaran penjarahan mafia migas,” ungkap Salamuddin Daeng.
Sejak saat itu, lanjut dia, produksi minyak nasional turun dari 1,6 juta barel sehari. Menjadi rata rata hanya 800 sampai 900 ribu barel sehari. Padahal usaha migas di Indonesia, dari sisi investasi terus bertambah.
“Ada indikasi bahwa produksi minyak dan gas terus bertambah, namun dirampok oleh mafia dalam negeri dan asing,” tarang dia.
Bisa dibayangkan saat ini cost recovery migas bertambah, tapi ironisnya produksi migas justru menurun. Hal ini tentu sangat sulit dirasionalkan. Mengingat biaya bertambah 3-4 kali lipat, tetapi produksi berkurang separuh.
“Itulah seolah-olah ada impor migas, namun yang kita impor adalah migas kita sendiri. Ini memang susah dibuktikan. Namun praktek ekploitasi migas sekarang tidak rasional untuk dilogikakan,” tegas Daeng.
Yang tak habis pikir olehnya, Indonesia impor gas dari Singapura. Baginya yang paham mengenai bagaimana regulasi migas, mengaku itu sebagai sesuatu yang abnormal. “Kita impor dari Singapura itu semakin aneh. Karena Singapura tidak punya cadangan migas,” tutupnya.
Pewarta/Editor: Romandhon