Malam itu, pertengahan Agustus 2024, Ruslan (nama sengaja disamarkan), nampak gelisah. Pusing tujuh keliling. Pikirannya menerawang kemana-mana. Bingung. Dalam diamnya, Ruslan bertanya tanya, bagaimana mungkin dalam waktu singkat hanya beberapa bulan saja, ia bisa menjangkau, bertatap muka sekaligus kampanye ke sekian ribu desa dan ratusan kecamatan? Yang tambah bikin pusing kepalanya, ongkos kampanye seperti itu, pasti biayanya tidak kecil. Selain melelahkan juga butuh waktu panjang. “Kalau begini jadinya, mending saya mundur saja jadi bakal calon Gubernur,” batin Ruslan, sambil menepuk kepalanya.
Oleh: Aslamuddin Lasawedy
Saat menyeruput teh hijau kesukaannya. Pundaknya ditepuk seseorang. “Hei, apa yang dipikirin bos,” Sapa Is teman Ruslan yang juga seorang politisi. “Ada apa? Ayo kita diskusikan.”
Selang beberapa lama berdiskusi, Ruslan mulai move on dan tersenyum lebar. Apa pasal? Rupanya Is memberinya jalan keluar yang tak terduga. Is menyarankan ruslan kampanye lewat medsos aja seperti; Tik Tok, X, FB atau IG. Selain biayanya murah. Pun bisa menjangkau pemilih yang lebih luas. Sebutannya kampanye berbasis budaya pop, untuk membedakannya dengan kampanye konvensional.
Meski keduanya punya tujuan yang sama, yakni bagaimana menarik perhatian pemilih dan memenangkan suara di bilik suara. Kampanye konvensional dan kampanye berbasis budaya pop memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda.
Kampanye konvensional, biasanya menggunakan bahasa formal, fokusnya pada isu-isu kebijakan, program kerja, dan pengalaman kandidat. Dengan titik tekan seputar kredibilitas, kompetensi, dan ideologi yang diusung partai atau kandidat.
Pesannya disampaikan secara langsung, menggunakan jargon-jargon politik, menebar janji kampanye, dan program kerja. Melalui; pertemuan tatap muka, rapat umum, blusukan, pemasangan baliho, penyebaran pamflet, dan pemasangan iklan di media cetak atau media elektronik. Komunikator utamanya adalah tokoh politik atau kader partai.
Target audiens kampanye konvensional ini, menyasar pemilih yang lebih tua atau mereka yang berada di daerah-daerah berbasis komunitas, yang masih kental dengan budaya tatap muka. Mereka adalah pemilih yang boleh jadi kurang aktif di media sosial. Pemilih yang lebih percaya pada informasi yang disampaikan secara langsung melalui tokoh masyarakat atau pemimpin lokal.
Kampanye konvensional, memungkinkan interaksi langsung dan dialog dua arah dengan pemilih melalui forum-forum diskusi, pertemuan publik, atau blusukan, sehingga dapat membangun kepercayaan secara personal.
Berbeda dengan kampanye konvensional, kampanye berbasis budaya Pop, menggunakan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, FB, YouTube, dan Twitter, yang populer di kalangan generasi muda. Pendekatan komunikasinya lebih kasual dan interaktif. Memanfaatkan konten kreatif seperti video pendek, meme, musik, dance challenge, dan vlog. Penyampaian pesannya lebih santai, relevan, dan mudah dicerna. Pelibatan influencer atau selebriti kerap dilakukan untuk memperluas jangkauan target audiens.
Kampanye berbasis budaya Pop ini, cenderung responsif terhadap tren budaya pop. yang menyasar audiens generasi milenial dan Gen Z, melalui media atau platform digital. Fokus target audiensnya pada pemilih yang mencari informasi melalui platform digital dan lebih suka konten yang ringan, menarik, dan berbasis visual.
Pesan kampanye berbasis budaya Pop ini, sering kali disampaikan dengan cara yang menyenangkan, menarik, dan viral. Seperti melalui humor atau elemen dramatis yang mudah diingat. Penekanannya lebih banyak menampilkan sisi personal kandidat untuk membangun kedekatan emosional dengan pemilih. Seperti kegiatan sehari-hari, hobi, atau nilai-nilai pribadi.
Tak heran, kampanye ini menjangkau lebih banyak pemilih dalam waktu singkat dengan biaya yang lebih rendah melalui konten digital yang dapat dibagikan (shareable content). Kampanye ini efektif dalam menciptakan buzz dan pelibatan secara masif kalangan pemilih pemula dan kaum urban yang sangat aktif di media sosial.
Penggunaan gamifikasi, survei online, dan kampanye yang diviralkan juga dilakukan, agar keterlibatan pemilih meningkat. Pendekatan ini menciptakan pengalaman yang lebih interaktif dan menyenangkan. Semua itu meningkatkan daya tarik kandidat, plus pencitraan yang lebih modern, relevan, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari pemilih. Namun, kampanye seperti ini berisiko dianggap tidak serius atau dianggap terlalu dangkal.
Ringkasnya, kampanye konvensional dan kampanye berbasis budaya pop, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Di Pilkada Serentak 2024, kombinasi dari kedua pendekatan ini sering kali lebih efektif. Kampanye konvensional suasananya lebih formal dan serius, yang mungkin lebih cocok untuk isu-isu kebijakan yang kompleks dan membutuhkan penjelasan mendalam. Kampanye ini dapat memperkuat basis pemilih inti. Di lain pihak, kampanye budaya pop dapat memperluas jangkauan kampanye dan menarik perhatian pemilih muda dan kaum urban. Integrasi kedua strategi ini memungkinkan kandidat untuk menyampaikan pesan yang relevan kepada berbagai segmen pemilih dengan cara yang paling sesuai dengan preferensi mereka. (*)