Oleh Hanif Kristianto*
NUSANTARANEWS.CO – Pesta pora demokrasi di Indonesia memasuki fase baru. Gegap gempitanya mengalahkan piala dunia. Dana yang dihabiskan triliunan rupiah. Kursi kepala daerah diperebutkan anak bangsa. Partai politik berlomba mengunggulkan jagoannya. Rakyat pun larut sebagai pendukungnya. Pun rakyat ada yang diam dan adem ayem. Ada juga yang marah dan beringas tatkala jagoannya kalah. Itulah potret pilkada dan pemilihan dalam politik demokrasi.
Bagi manusia yang berakal dan waras, helatan pilkada serentak 2018 bisa diambil pelajaran berharga. Sikap ini menunjukan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas muslim masih hidup dan peduli. Ada 10 pelajaran penting dari pilkada 2018.
- Sibuk Debat
Ketika hendak menuju hari pencoblosan, rakyat disibukan dengan debat memilih dan tidak memilih. Wajar, karena ini terkait hitung-hitungan ‘suara tuhan’. Pemahaman rakyat sebatas ganti pemimpin akan ada perubahan. Faktanya pun tidak demikian, karena bangunan pemilihan ini dalam sistem politik demokrasi. Tujuannya sekadar mengganti ‘kepala orang’, bukan sistem aturan.
Karenanya umat Islam harus memiliki pandangan yang utuh bagunan politik, serta mampu membedakan politik Islam dengan demokrasi. Jangan sampai dicampuradukan. Selain itu, umat Islam harus memperbarui politik Islam dan berjuang politik (kifahu siyasi) sesuai kaidah syariah.
- Terombang-ambing Badai Politik
Umat Islam mudah terombang-ambing dalam politik demokrasi. Pasalnya, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia merupakan sumber mengeruk dan menarik suara. Bukan dilibatkan dalam aspek penentuan kebijakan.
Sering ada kekhawatiran jika tidak memilih nanti yang jadi orang kafir, sekular, liberal, anti Islam, dan lainnya. Sehingga ada saling menyalahkan si A golput dan tidak mau membantu saudaranya yang berjuang. Akhirnya ada yang menggunakan kaidah pilih yang madharatnya lebih kecil bagi umat Islam. Sikap yang menimpa umat Islam ini diakibatkan karena jauh dari pemikiran dan hukum Islam, khususnya terkait politik, kenegaraan, dan kepemimpinan.
- Miskin Komitmen dan Visi Keislaman
Kepala daerah yang mencalonkan sedikit sekali yang berkomitmen untuk melindungi dan memperjuangkan Islam. Hal ini bisa dilihat dari visi-misi dan janji politiknya. Mereka faham tidak akan laku ‘jualan Islam’ dalam kampanye dan akar dari demokrasi yakni sekularisme. Akhirnya suka tidak suka, Islam dan syariahnya harus disimpan. Pernah juga isu jika si A terpilih akan menerapkan syariah, lalu si A membantah tidak akan menerapkan syariah.
Dalam konteks demokrasi, Islam harus disingkirkan dalam aturan kehidupan pemerintahan. Kalaulah ada perda yang berpihak pada Islam masih sebagian kecil. Misal perda hafal juz amma, bisa baca quran bagi ASN, gerakan menghafal quran, dan lainnya. Sementara sistem hukum, politik, ekonomi, dan lainnya tidak bertumpu pada Islam. Demokrasi tidak akan memberikan peluang penerapan syariah kaffah.
- No Money No Nyoblos
Mustahil menihilkan politik uang. Konsekuensi logis dari pengambilan demokrasi harus siap money (uang). Ditambah lagi dengan masyarakat yang apatis dan pesimis, uang menjadi dorongan untuk datang memberikan suara. Berlepas dari siapa pun calonnya, secara sembunyi atau terang-terangan, pemilih tertentu pasti mendapat uang. Ibaratkan mahar, uang politik jor-joran.
Kalaulah ada fatwa ulama haram menerima ‘money politic’, rakyat tak lagi mengindahkan. Pun ada seruan terima uangnya jangan coblos orangnya, pernyataan itu pun menyesatkan. Meski tujuannya biar kapok si calon dan bangkrut karena habiskan uang. Kontestasi pilkada dan pemilu dalam demokrasi tidak mengenal uang haram. Semua cara yang ditempuh adalah halal menurut mereka. Politik uang akan menjadi cerita dan sengketa di setiap pemilihan.
- Kotak Kosong dan Korupsi
Kotak kosong akhirnya menang. Tampaknya rakyat bukanlah boneka dan robot. Mereka sesungguhnya berfikir dan merenungi setiap pemilihan. Kemenangan kotak kosong jadi bukti kekecewaan rakyat pada sistem pemilihan ini. Bagi calon yang gagal menjadi pelajaran bahwa kesombongan dan syahwat berkuasa mudahlah sirna.
Kasus korupsi pun mewarnai calon kepala daerah. Seseorang di mata hukum berbeda di mata politik. Suatu fakta kepala daerah tersangkut korupsi bisa menimpa siapa saja. Rasanya mustahil dalam sistem liberal ini kepala daerah tidak korupsi, kalau ada yang bersih bisa dihitung dengan jari. Kengototan pengangkatan kepala daerah tersangkut korupsi, makin membuyarkan kepercayaan rakyat dari hasil pilkada serentak. Rakyat pun akhirnya menilai, siapa pun bisa jadi pemimpin tak peduli berkasus atau bersih. Lalu, buat apa gembar-gembor pemerintahan bersih?
Bersambung….. Ganjil Genap Pilkada Serentak 2018 (Bagian-2)
*Penulis adalah Analis Politik dan Media