EkonomiOpini

Gagasan Sistem Ekonomi Konstitusi untuk Dukung Janji Trisakti dan Nawacita

Indonesia di antara komunisme dan kapitalisme. (Foto: Ilustrasi/Suara Nasional)
Foto: Ilustrasi/Suara Nasional

Gagasan Sistem Ekonomi Konstitusi untuk Dukung Janji Trisakti dan Nawacita

Kami ingin memulai uraian dalam tulisan ini dengan menghaturkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan juga ujian yang telah diberikan pada rakyat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara berulang-ulang kali (sudah tak terhitung frekuensinya). Sebelum tulisan ini ditulis, pada hari Jumat, tanggal 2 Agustus 2019 sekitar pukul 19.05 wib negeri ini kembali diberikan teguran oleh Tuhan melalui gempa yang berkekuatan 6,9 Skala Richter (SR) yang berpusat pada lokasi 147 Km Barat Daya Sumur Banten dengan kedalaman 10 Km. Sebelumnya telah pula terjadi musibah kebocaran gas di lapangan YY-A1 Offshore North West Java (ONWJ) milik Pertamina (sebelumnya dikelola oleh British Petroleum/BP) yang berada di Pantai Utara Pulau Jawa, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, juga pada Hari Jumat, tanggal 12 Juli 2019.

Sebagaimana semua manusia di bumi ini telah mengetahui, bahwa musibah dan bencana alam tak ada satupun ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa mengetahui kapan dan dimana akan terjadi serta tak mampu memperkirakan seberapa besar kekuatan serta keluasan dampaknya bagi kemanusiaan.

Sebab, anugerah dan bencana adalah kehendakNYA dan merupakan ujian sekaligus peringatan bagi kita semua, terutama Pemerintah yang mengemban amanah rakyat agar dapat mengambil hikmah dan berbenah. Untuk itu, penting bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi atas kebijakan dan program sektoral yang telah dilaksanakan selama hampir lima tahun terakhir dengan lebih mengedepankan perencanaan yang matang dan komprehensif, tak hanya mengandalkan slogan kerja, kerja, kerja tanpa konsep arah dan tujuan yang jelas bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana perintah pasal 33 UUD 1945.

Pengelolaan Ekonomi Kita

Selama 5 tahun terakhir pengelolaan ekonomi disemua sektor yang dikendalikan oleh tim ekonomi kabinet kerja, tak satupun sasaran (target) pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki Presiden Joko Widodo dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mampu berada dikisaran angka 4,75-5,1 persen per tahun, alih-alih masih bisa mencapai angka 6 persen pada masa Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, walaupun paradigma tim ekonomi kabinetnya masih arus utama (mainstream) kapitalistik dan liberalistik.

Kontribusi sektor konsumsi pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) atas pertumbuhan ekonomi tahunan masih sejumlah 70 persen. Sedangkan yang berhasil dicapai oleh tim ekonomi Kabinet Kerja I hanya berkisar pada angka 60 persen lebih, atau semakin menurun, termasuk sumbangan sektor manufaktur dan migas.

Baca Juga:  Antisipasi Masuk Beras Impor, Pemprov Harus Operasi Pasar Beras Lokal di Jawa Timur

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengkonfimasi buruknya kinerja tim ekonomi dengan menyampaikan laporannya, bahwa neraca perdagangan Indonesia pada bulan Januari 2019 mengalami defisit sebesar USD 1,16 miliar. Defisit ini menjadi yang terparah sejak Tahun 2014, untuk periode yang sama.

Pada Januari 2014, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit USD 443,9 juta, Januari 2015 surplus USD 632,3 juta, Januari 2016 surplus USD 114 juta, Januari 2017 surplus USD 1,4 miliar dan pada Januari 2018 defisit sebesar USD 680 juta.

BPS menjelaskan, bahwa banyak faktor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan pada bulan Januari 2019 yang begitu besar, salah satunya adalah terkait harga komoditas di pasar internasional yang turun seperti produk CPO. Akibatnya, meski secara volume ekspor Indonesia naik, namun secara nilai mengalami penurunan karena harga komoditas yang juga turun.

Termasuk dalam hal ini adalah volume ekspor batubara yang masih naik, tapi karena harganya juga turun, maka kenaikan volume tak berpengaruh signifikan dalam memperbaiki neraca perdagangan dan ini adalah tantangan besar yang harus segera dibenahi.

Selain itu, juga terjadi penurunan harga karet dunia yang membuat nilai ekspor komoditas tersebut juga mengalami kondisi yang sama.

Pada bulan Mei 2019 berdasar laporan BPS, defisit migas Indonesia mencapai US$ 980 juta, meskipun sektor non migas mengalami surplus sebesar US$ 1,19 miliar. Indonesia juga masih mengandalkan ekspor Liquid Petroleum Gas (LPG), padahal permintaan global untuk komoditas ini tidak terlalu signifikan, dan otoritas cenderung reaktif menanggapi gejolak perekonomian global.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatasi permasalahan defisit migas ini melalui pembenahan kebijakan secara sistemik dan struktural, termasuk peningkatan kapasitas pengolahan migas di dalam negeri, mengurangi impor migas dan memberikan insentif pada BUMN energi kita.

Di bidang ekonomi inilah, pemerintahan perlu melakukan perubahan sistemik, paling tidak, ada tiga isu krusial yang harus dikerjakan dengan konsepsi yang komprehensif, menghindarkan tumpang tindih peraturan dan per-UU-an agar tujuan pembangunan lebih konsolidatif, serta memperkuat koordinasi antar kementerian/lembaga, sebuah keharusan didelegasikan kepada para Menteri bidang ekonomi terkait atas posisi strategis BUMN ke depan oleh pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo periode 2019-2024 di antaranya:

Baca Juga:  Bapenda Tulungagung Berikan Apresiasi Pada Wajib Pajak di TAX AWARD 2024

1. Revisi UU sektor ekonomi yang berdampak pada pengabaian penegakkan pasal 33 UUD 1945

2. Revisi UU kelembagaan ekonomi dan entitas bisnis yang dijamin konstitusi ekonomi, yaitu BUMN dan Koperasi

3. Pembelian kembali (buy back) saham-saham BUMN strategis untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia

Ketiga isu itu harus diterjemahkan dalam pengelolaan sektoral yang juga merupakan isu strategis dan menjadi perhatian serius (concern) negara-negara di dunia, yaitu soal Pangan (Food), Energi (Energy) dan Air (Water) atau istilahnya FEW dan harus menjadi prioritas bagi Kabinet Kerja II di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Permasalahan Sektor Energi

Energi adalah sumberdaya pembangunan yang menjadi variabel utama penggerak perekonomian bangsa, apabila tidak dikelola dengan baik, efektif dan efisien, maka keluhan Presiden atas defisit minyak dan gas (migas) yang menggerogoti defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) takkan bisa diatasi. Maka, kunci dari keberhasilan mengatasi defisit migas tersebut adalah dengan memberikan kewenangan secara penuh kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu Pertamina.

Berbagai kasus yang menimpa Pertamina akhir-akhir ini tak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi yang tak mengindahkan perintah konstitusi ekonomi. Banyak permasalahan energi yang salah kelola (mismanagement) di masa pemerintahan sebelumnya kemudian menjadi beban pada pemerintahan saat ini (tak bermaksud saling menyalahkan) dan itu menjadi beban berat bagi Pertamina. Beberapa permasalahan salah kelola itu kemudian berakhir dengan kasus-kasus tindak korupsi yang melibatkan Dewan Manajemen (Direksi dan Komisaris) Pertamina.

Mengacu pada permasalahan kebijakan pengelolaan energi nasional dan kasus hukum yang mendera mantan pejabat (termasuk yang masih menjabat) BUMN, khususnya Pertamina, maka pemerintah perlu melakukan langkah-langkah penyelesaian awal untuk meminimalisir ‘keributan’ pada masa pemerintahan periode berikutnya, yaitu:

1. Kebijakan investasi Blok Masela yang akan dilakukan melalui pengolahan di darat (onshore) dan tidak di laut (offshore), apakah sudah dikaji secara komprehensif skala ekonomi dan geopolitiknya, termasuk biaya dan manfaatnya (cost and benefit) bagi akselerasi pembangunan dan kemakmuran rakyat Indonesia, bagaimana halnya dengan posisi BUMN Pertamina dalam pengelolaan Blok ini? Termasuk juga perlakuan pada Blok-blok terminasi yang akan berakhir Kontrak Karyanya pada Tahun 2021.

Baca Juga:  Kapal Cepat Sirubondo-Madura di Rintis, Ekonomi Masyarakat Bisa Naik

2. Evaluasi terhadap kebijakan BBM Satu Harga yang ditetapkan melalui Perpres 191 Tahun 2014 perlu dilakukan agar tidak semakin memberatkan keuangan Pertamina dalam upaya melakukan investasi di sektor migas, termasuk evaluasi atas kebijakan bio energy B-20 yang banyak mendapatkan komplain dari para pengusaha kapal. Alangkah baiknya program BBM Satu Harga diganti dengan kebijakan pembangunan SPBU di beberapa daerah dan pelayanan BBM lebih dekat pada konsumen melalui kendaraan motor pengangkut BBM yang lebih cocok (tidak dengan mobil/truk tangki)

3. Penyelesaian kasus akuisi Blok Manta Gummy (BMG) melalui Participating Interest (PI) 10 persen pada perusahaan Cooper Energy, Australia senilai US$ 30 Juta lebih pada bulan Desember Tahun 2009 yang telah mengakibatkan jatuhnya vonis hukuman pada mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agussetiawan, Frederick Siahaan dan Bayu Kristianto. Namun, kasus ini belum menyentuh pelepasan PI tersebut pada bulan dan tahun yang sama kepada perusahaan yang sama, sementara pada laporan keuangan Pertamina Hulu Energi (PHE) nilainya telah dihapus (write off), mengapa pelepasan PI yang senilai US$ 0 atau Rp 0 ini terjadi pada saat produksi di BMG saat ini justru mengalami peningkatan? Aksi-aksi korporasi BUMN yang tidak hati-hati (prudent) dalam tuntutan hukumannya akan menjadi preseden buruk bagi Direksi dan Komisaris BUMN lainnya sehingga BUMN akan kesulitan bergerak karena ada ruang ancaman hukuman bagi mereka

Pekerjaan rumah ini adalah yang utama harus segera diatasi dan diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo apabila ingin lebih tenang, aman dan damai dalam memerintah 5 tahun ke depan. Pemihakan terhadap BUMN dan Koperasi serta UMKM adalah menjadi keharusan dalam mengatasi ketimpangan ekonomi secara struktural dan sektoral. Tanpa perumusan kebijakan pemihakan (affirmative policy) pada ekonomi konstitusi, maka kegagalan implementasi sistem ekonomi arus utama (mainstream) kapitalisme-neoliberalisme yang telah dijalankan selama ini mustahil bisa mengatasi ketimpangan ekonomi bangsa.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 3,053