NUSANTARANEWS.CO – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada tanggal 6 Desember 2016 lalu. PP tersebut menggantikan PP Nomor 50 Tahun 2010 dan mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan atau tanggal 6 Januari 2017.
Dengan berlakunya PP 60 Tahun 2016 ini, terdapat penambahan jenis PNBP yang mulai berlaku seperti tarif Pengesahan STNK, Penerbitan Nomor Registrasi Kendaraan Bermotor Pilihan, STRP & TNRP (lintas batas) dan Penerbitan SIM golongan C1 dan C2.
Apalagi, kenaikan itu dinilai cukup tinggi untuk penerbitan surat mutasi kendaraan bermotor ke luar daerah. Dalam PP sebelumnya, surat mutasi ke luar daerah hanya Rp75.000 untuk semua jenis kendaraan, namun di PP sekarang tarifnya Rp150.000 untuk kendaraan bermotor roda 2 atau roda 3, dan kendaraan bermotor roda 4 atau lebih mencapai Rp250.000. Tarif mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) berdasarkan PP 60 Tahun 2016 naik 3x lipat menjadi Rp30.000 per penerbitan.
Adapun alasan Pemerintah menaikkan tarif dalam PP tersebut yakni pertama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa kenaikan tersebut demi meningkatkan kualitas pelayanan. Kedua, penyesuaian tarif dilakukan karena belum ada penyesuaian sejak dari tahun 2010. Sedangkan alasan Badan Anggaran (Banggar) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni pertama, pembelian materiil untuk pembelian STNK dan BPKB harga meningkat. Kedua, di Indonesia pengurusan paling murah di dunia.
Melihat hal tersebut, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pun memiliki catatannya tersendiri di berbagai sektor. Di sektor Pelayanan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) FITRA Yenny Sucipto, mengungkapkan bahwa selama ini fakta di lapangan yang dirasakan oleh masyarakat, pengurusan SIM, STNK, BPKP rumit, boros waktu, tidak transparan dalam proses dan hasilnya.
“Di sektor PNBP, FITRA menemukan terdapat kekurangan penerimaan Negara Rp270.530.855.000 dari hasil audit BPK Tahun 2015,” ungkapnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (05/01/17).
Menurut Yenny, target dari kenaikan PNBP dari PP 60 Tahun 2016 itu hanya Rp1,7 Triliun. Ia mengatakan, Pemerintah juga harus memperhatikan sektor lain yang potensi penerimaannya lebih besar dari STNK dan BPKB. Misalnya saja di sektor kehutanan yang berpotensi hilang pertahunnya bisa mencapai puluhan Rp30,3 triliun, dan ini pun hanya 30 persen dari potensi seharusnya.
“Dari segi bahan Materi STNK dan BPKB. FITRA mencatat kenaikan harga kertas dan materai tidak meningkat tajam seperti kenaikan tarif di PP 60 Tahun 2016 tersebut,” katanya.
Dari tata kelola sendiri, lanjut Yenny, dari temuan BPK tahun 2015, pengelolaan dana Samsat di Jawa Tengah misalnya, tidak sesuai dengan ketentuan. Seperti penyetoran dana ke Bank, terdapat selisih.
“Dalam literasi luar negeri dan riset Bapak Rimawan UGM, bahwa yang lebih baik mengelola penerbitan STNK dan BPKB dan lainya berkaitan dengan PBNP adalah Kementerian Perhubungan,” ujarnya.
Di samping itu, Yenny menyebutkan, proses penyusunan PP 60 Tahun 2016 tidak transparan dalam penyusunannya, misalnya tidak ada uji publik sehingga masyarakat kaget tiba-tiba naik.
Dengan demikian, Yenny menuturkan, pihaknya akan merekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera mencabut PP tersebut.
“Menuntut Presiden Jokowi membatalkan PP 60 Tahun 2016. Presiden dan Menkeu harus mencari alternatif PNBP yang lebih efektif dan membatalkan Kado Pahit untuk Rakyat yakni Kenaikkan Pajak Kendaraan, Tarif Dasar Listrik, dan BBM,” ungkap Yenny tegas. (Deni)