NUSANTARANEWS.CO, Surabaya – Gara-gara cuek tak menindaklanjuti laporan adanya tindak pidana korupsi terkait korupsi restribusi parkir dan masuk di wisata Sunan Drajat Lamongan, Aliansi Madura Indonesia (AMI) minta Jaksa Agung untuk mencopot Kajari Lamongan Dyah Ambarwati SH.
Menurut ketua AMI, Baihaki Akbar, pihaknya sangat miris dan kecewa dengan ketidak profesionalan kinerja Kejaksaan Negeri Lamongan dimana terkesan tutup mata dengan laporan dugaan kasus Korupsi yang terjadi di tempat wisata religi budaya Sunan Drajat Lamongan yang sudah di laporkan satu bulan lebih yang lalu.
“Padahal kami sebagai pelapor sudah memberikan bukti akurat terkait dugaan tindak pidana kasus korupsi tersebut, tapi sampai detik ini kami sebagai pelapor belum pernah menerima surat secara resmi dari kejaksaan negeri Lamongan terkait perkembangan kasus tersebut,” ungkapnya, Senin (4/12/2023).
Baihaki mengatakan dari laporan yang dibuat yang tak kunjung ditindaklanjuti oleh pihak Kejari Lamongan, pihaknya menduga Kejari Lamongan tidak profesional dan tidak bersungguh-sungguh untuk menindaklanjuti laporan kasus dugaan tindak pidana Korupsi yang terjadi di Lamongan.
“Maka dari itu kami menduga dan menilai Kejaksaan Negeri Lamongan hanya pandai membangun pencitraan semata sedangkan terkait kinerja dalam pemberantasan tindak pidanan Korupsi, Nol Besar (0),” jelasnya.
Dengan fakta tersebut, sambung Baihaki dirinya mendesak agar Kajati Jawa Timur dan Jaksa Agung untuk segera mencopot Kajari Lamongan dan jajarannya, “Kami tidak akan segan-segan untuk turun aksi demo besar-besaran di Kejati Jatim untuk membuka semua kebobrokan kinerja Kejaksaan Negeri Lamongan,” tegasnya.
Dugaan penyelewengan pungutan biaya parkir yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan di tempat wisata religi sunan Drajat terbongkar. Pasalnya dalam papan pengumuman untuk tarif parkir sesuai peraturan daerah nomor 21 tahun 2010 sudah diatur yakni tarif parkir bus sebesar Rp 2.500, mini bus Rp 1.500, mobil Rp 1.000, sepeda motor Rp 500 dan HTM/orang adalah 2.000 sesuai dengan Perda nomor 3 tahun 2020.
Namun pada faktanya, hal tersebut hanyalah tulisan belaka, kendati sudah adanya papan itu, oknum petugas pengelola lahan parkir meminta sejumlah uang dengan tarif flat yakni untuk bis diharuskan membayar sebesar Rp 130.000.-
Padahal penumpang bis adalah 50 orang termasuk sopir. Jika dikalikan 2.000 maka hasilnya adalah 100.000. “Tentunya disini banyak sekali selisih uang yang dihasilkan dan diduga adanya temuan tindak pidana korupsi,” pungkasnya. (setya)