NUSANTARANEWS.CO – Presiden Filipina Rodrigo Duterte semakin mempertegas kontradiksi dengan kepemimpinan politik sebelum-sebelumnya. Duterte menunjukkan sikap yang berhaluan jauh berbeda dengan presiden sebelumnya dalam memandang Amerika Serikat.
Sejak tahun 1898, Filipina tercatat sebagai koloni Amerika Serikat dan mencetuskan penandatanganan perjanjian pertahanan bersama pada tahun 1951. Bermula dari gendang kesepakatan itu, Filipina menjadi sekutu terintim Washington di kawasan Asia Tenggara.
Puncaknya pada tahun 2015, Filipina melalui kesepakatan EDCA (Enhanced Defence Cooperation Agreement) menawarkan sejumlah bagian daratan dan lautan miliknya ditempati sebagai lokasi berteduh armada militer Amerika Serikat.
Seperti sebuah patahan baru bagi alur sejarah Filipina, Duterte menunjukkan isyarat perubahan paradigma dalam menempatkan negaranya di konstalasi politik saat ini. Duterte seperti sedang memutar haluan untuk mengangkangi hubungan yang selama ini terjalin harmonis antara Manila dengan Washington.
Setelah sepekan sebelumnya melancarkan bola panas dengan menghina presiden Amerika Serikat Barrack Obama dengan sebutan anak pelacur, Duterte kembali secara terbuka mengungkapkan ketidaksenangannya kepada salah satu bagian penting negara paman sam.
Duterte mengaku tak nyaman dengan keberadaan pasukan khusus Amerika yang berkutat di sebagian wilayah Filipina. Duterte mengungkap alasan adanya potensi pengobaran perlawanan yang diprovokasi pasukan khusus Amerika terhadap kelompok militan muslim di negaranya.
Seolah menganggap sebagai penyebab onar, Duterte mengacungkan ungkapan bahwa keberadaan pasukan Amerika itu justru menghadirkan masalah di negaranya.
“Selama kita bersama Amerika, kita tidak akan pernah melihat perdamaian di daerah tersebut,” ujar Duterte di Filipina, Senin (12/9/2016).
Duterte mengisyaratkan keinginanya mengusir pasukan khusus Amerika dari wilayah negaranya. “Pasukan khusus (Amerika Serikat) harus pergi. Mereka harus pergi dari Mindanao,” ucapnya.
Ungkapan rasial juga mencuat dari bibir mantan walikota Davao ini. Ia menilai daerah Mindanao telah berjejal dengan warga berkulit putih yang merupakan bukan penduduk asli setempat.
“Terlalu banyak warga kulit putih disana, mereka harus pergi,” ungkapnya.
Mencaci presiden Barrack Obama, hingga munculnya ucapan tidak simpati pada pasukan Amerika di Filipina, membuat Duterte kini menjadi sorotan publik dunia.
Entah apa yang mendasari sikap Duterte yang berjarak jauh dari komunikasi pemimpin-pemimpin Filipina sebelumnya yang cenderung membebek pada Amerika. Apakah Filipina sudah mulai jengah hingga ingin segera mengakhiri hubungan romatisme selama ini?
“Saya tak ingin perpecahan dengan Amerika, tapi mereka harus pergi,” tandasnya. (Hatiem)