NUSANTARANEWS.CO – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam dua tahun ini tidak mampu memperbaiki peringkat daya saing global.
Salah satu peneliti dari INDEF, Eko Listiyanto mengatakan, dalam dua tahun terakhir peringkat global competitiveness index Indonesia menurun dari 34 ke level 37 dan kemudian terus turun menjadi di peringkat 41 pada saat ini.
“Ini menjadi lampu kuning bagi Indonesia terkait daya saing,” kata Eko di kantor INDEF di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Menurut Eko, penurunan peringkat global tersebut dikarenakan adanya pemburukan dibeberapa aspek, seperti institusi terkait perizinan, tingkat kesehatan, kesehatan yang menurun, ketersediaan teknologi, inefisiensi pasar dan kurangnya inovasi.
“Survei menunjukkan rangking kita menurun, seperti anak sekolah kalau rangking turun harusnya evaluasi diri. Di Asia Tenggara memang banyak yang turun, namun tidak semuanya turun, seperti India yang nyaris semua indikatornya naik,” ungkap Eko.
Lebih lanjut dia mengatakan, adanya 13 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah tidak mampu membuat pertumbuhan ekonomi melesat dengan cepat, padahal harapan pemerintah stimulus tersebut dapat mendongkrak kinerja perekonomian.
“Dalam kacamata global, daya saing global kita itu memburuk dan paket ekonomi ini minim implementasi, 13 paket ekonomi ditebar namun faktanya kemudahan berbisnis kita mendapatkan peringkat di atas 100,” ucap Eko.
Selain itu, lanjut Eko, dari segi peringkat, Indonesia kalah dengan India. India kini berada di posisi ke 39. “Indonesia kalah dengan India jika melihat di data, padahal pengangkatan kepala negaranya sama dengan di Indonesia jangka waktunya,” ujar Eko.
Terdapat empat poin penting yang menjadi sorotan INDEF yang mempengaruhi kalahnya daya saing Indonesia di kancah global. Yakni, memburuknya peringkat daya saing global, paket ekonomi minim implementasi, kemudahan berbisnis tidak membaik dan peran industri manufaktur kian luntur.
“Indonesia ini yang besar hanya dimarketnya saja, tetapi itu justru kondisi yang cocok untuk diserang produk-produk impor,” tandas Eko. (Andika)