Doktrin Radikalisme dalam Kajian Sastra
Oleh: Hafis Azhari, Penulis novel Pikiran Orang Indonesia
Tidak sedikit karya sastra maupun tampilan teater di negeri ini yang menyuarakan persoalan aksi-aksi terorisme dan radikalisme. Sebagian seniman sibuk mengoleksi karya-karya luar negeri untuk disadur ke dalam konteks budaya Indonesia. Misalnya tampilan teater di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu, dengan judul Pembunuh yang Adil, menyoal kasus pembunuhan atas seorang bangsawan saat Revolusi di Rusia (1905),lalu terjadilah eksekusi hukuman mati terhadap salah seorang pejuang revolusioner yang mengorbankan diri selaku martir.
Eksekusi mati oleh negara terhadap pejuang yang nekat mengorbankan diri sangat interesan bila dihubungkan dengan konteks pejuang-pejuang radikalisme yang mengatasnamakan ‘jihad’. Maraknya kasus-kasus bom bunuh diri tak ubahnya dengan serangkaian pemberontakan kaum atheis yang tergambar pada karya Heinrich Boell, Leo Tolstoi, Dostoyevsky, hingga Albert Camus. Jika ditampilkan dalam panggung teater Indonesia tentu akan nyaring suaranya berkaitan dengan maraknya aksi-aksi terorisme dan radikalisme akhir-akhir ini.
Panggung teater politik yang diperankan oleh pejuang revolusioner akan menjadi multi tafsir. Di satu sisi, dari kacamata para pemberontak, mereka adalah para mujahidin yang seakan menuntut keadilan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tapi di sisi lain, dari kacamata pemerintah, mereka adalah pelaku makar dan subversif yang mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintahan suatu negara.
Aksi Heroik Radikalisme
Secara prinsipil, apakah bedanya aksi-aksi heroik mereka, baik yang dilakukan para pejuang revolusioner yang atheis, maupun terorisme kaum agamawan yang nekat mengorbankan diri selaku martir sambil menuruti petuah sang mentor (mursyid) dengan jaminan masuk sorgadi akhirat sana? Lalu, siapa yang menjamin kepastian sorga bagi mereka? Bukankah urusan sorga dan neraka adalah mutlak merupakan hak prerogatif Tuhan, yang tak bisa dimonopoli oleh wahyu atau fatwa dari kesolehan kiai atau ulama manapun?
Melalui roman Botho Strauss (Jerman), kita diingatkan kembali pada peran sang tokoh, Becker, seakan mengalami polemik jiwa yang tiada akhir. Ia merasa dirinya sebagai manusia tak berguna, sampah masyarakat, yang tentu akan mudah menerima bujuk-rayu agar membunuh siapapun dengan cara-cara meledakkan tubuhnya sendiri.
Lihatlah narasi-narasi yang cukup filosofis dari roman tersebut: ‘Kebencian menjadi kehangatan sebagai ledakan yang membuncah dan mampu memberi nafas. Ia pun menggabungkan diri dengan kelompok aseksual, tak percaya lagi pada institusi yang bernama ‘rumah-tangga’. Hasrat nafsu telah berubah, semakin menjauh dari makna cinta dan kegunaan hidup dalam keluarga. Ia merasa nikmat untuk hidup dengan pikirannya sendiri, cinta dan keluarga tak bermanfaat lagi, bahkan kematian adalah rasa rindu yang hendak dicapai.”
Dalam pandangan seorang misoginis seperti Becker, dunia ini teramat kacau dan membingungkan dalam otak kepalanya. Tak ada evolusi menuju transformasi perubahan, yang ada hanyalah pikiran mumet, chaos, absurd, dan benang-benang kusut belaka. Tak ada upaya merajut benang menjadi kain, yang ada hanyalah matarantai ledakan nuklir yang diharap mampu meluluh-lantakkan alam semesta ini. Padahal dalam ajaran agama apapun, baik Kristen maupun Islam, manusia diharuskan berpikir optimistis dalam memperbaiki keadaan, terutama memperbaiki keadaan dirinya terlebih dahulu.
Terkait dengan ini, filosof dan sastrawan Andre Malraux, setelah mengadakan inspeksi ke tengah puing-puing reruntuhan kota bekas pendudukan militerisme NAZI, mewawancarai mereka yang tersusupi oleh doktrin ajaran Hitler. Hingga akhirnya, Malraux berkesimpulan, “Nyaris semuanya begitu pesimis dalam memandang kehidupan, sampai-sampai sulit bagi saya menemukan manusia merdeka, karenanya sulit sekali untuk ditemukan manusia-manusia dewasa.”
Padahal, dalam kondisi segenting apapun, baik dalam ajaran Nabi Ibrahim, Isa, hingga Muhammad, sama-sama sehaluan menganjurkan kita agar selalu berbaik sangka pada Tuhan, juga tidak diindahkan bagi siapapun mengakhiri hidupnya dalam keadaan berburuk sangka pada Sang Pencipta?
Mari kita berpikir lebih realistisuntuk mencermati aksi-aksi radikalisme akhir-akhir ini. Dalam suatu acara dialog tentang gerakan radikalisme di Banten, sebagai pembicara pernah saya jabarkan proses kreatif dalam penulisan novel Pikiran Orang Indonesia.
Secara esensial saya sampaikan persoalan yang sangat mendasar: Apakah inti masalah yang berada di balik semuanya itu? Mengapa anak-anak muda menghindar dari dekapan keluarganya, kemudian mencari pelampiasan pada petuah-petuah sang guru (mursyid) yang dianggap mampu memberikan solusi dan penyelesaian akhir? Jika sistem pemerintahan kita tidak jujur dan transparan, tidak menciptakan trust bagi proses kedewasaan dan pencerdasan rakyat, dengan segala agenda kepalsuan yang mengundang teka-teki yang tak terjawab. Sementara di sisi lain, timbul kasus-kasus korupsi kelas kakap yang merajalela, bukankah semuanya itu akibat belaka dari gejala-gejala yang penyakitnya bersumber dari dalam tubuh penyelenggara pemerintahan itu sendiri?
Untuk itu, kiranya tepat untuk dinyatakan bahwa seandainya pemerintah kita gagal menelusuri akar masalah yang sesungguhnya, serta-merta segala simtom akan bermunculan dan terus bermutasi dari waktu ke waktu. Anak-anak muda akan terus melarikan diri mencari pelampiasan yang dapat menjawab gugatan mereka. Boleh jadi teror-teror akan sulit dihentikan, direkrut oleh mereka yang menamakan dirinya ‘tentara-tentara Tuhan’.
Di sisi lain, bila kita melihat dari perspektif yang berbeda, bukankah segala klaim kebenaran yang mengatasnamakan Tuhan dan agama, pada hakikatnya adalah masalah sosial yang butuh penanganan serius dari tanggungjawab kita bersama, baik dari teladan pemimpin di tingkat rumah-tangga hingga ke tingkat pemerintahan? Tindakan anak-anak muda yang anarkis itu, niscaya tidak akan muncul jika kita mampu menunjukkan performa dan teladan yang mumpuni bagi pertumbuhan mental dan kepribadian anak-anak bangsa kita.
Bahasa Kaum Radikalisme
Sewaktu penulis jadi pembicara pada acara dialog bertajuk ‘Jurnalisme Keagamaan’ yang diselenggarakan Kementerian Departemen Agama di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu, penulis menegaskan bahwa sebagian orang memakai kata ‘revolusi’ menurut penafsirannya sendiri. Karena itu, sepantasnya kalangan jurnalis menggunakan term yang sama, tetapi untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
Jika para pelaku radikalisme menggunakan term ‘jihad’ maupun ‘revolusi’ untuk kepentingan perjuangan jamaahnya, apakah mereka tidak memikirkan peran masing-masing selaku khalifah yang mengemban amanah, bahwa hidup manusia dibatasi oleh hubungan kemaslahatan yang terus berinteraksi antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya? Bukankah kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain juga? Jika kita memaksakan diri menerobos lampu merah di simpang jalan, apakah hal tersebut tidak mencelakakan diri kita dan orang lain? Apakah kita perlu punya hitung-hitungan, bahwa orang-orang yang mengendarai kendaraan dari arah yang berlawanan itu beragama Islam, Kristen, Kong Hu Cu, maupun paham dan ideologi lain yang cenderung liberal? Jikapun kita beramal baik dalam bentuk harta maupun gagasan pemikiran, apakah juga dihitung-hitung bahwa sang penerima amal tersebut harus beragama Islam maupun non-muslim?
Justru masing-masing kepercayaan agama, perlu memperkenalkan dirinya dengan sikap-sikapyang elegan dan egaliter, hingga diupayakan membuat pihak lain terpesona dan terpukau karena citra kebesaran dan keagungannya dari ajaran agama tersebut.
Pola Ajar Kaum Radikalisme
Kita bisa memahami bahwa memang ada faktor pola ajar dan pola asuh yang tak lepas dari matarantai ajaran sang guru (mursyid) kepada muridnya. Juga dari bacaan macam apa yang merasuk ke dalam benak dan memori anak-anak didik kita. Terkait dengan ini, kita percaya tidak ada kitab dan ajaran apapun yang menganjurkan anak-anak bangsa agar mendahului kehendak Tuhan. Juga tidak ada ustad dan kiai manapun yang mengajarkan muridnya agar bertindak anarki atau menganjurkan fanatisme dan radikalisme.
Logika macam apa yang bisa membenarkan seseorang bertindak anarki berdasarkan keyakinan yang dipupuk secara sepihak, memandang ajaran agama secara sepotong-sepotong, membuka lembaran kitab dengan memilih bab-bab yang dianggap mengenakkan untuk kepentingan egoisme dan keangkuhannya.
Sementara bab-bab yang lebih prioritas, misalnya anjuran untuk bersabar, tawakkal, cinta-kasih terhadap sesama, justru malah dikesampingkan? Hal ini menjadi tanggungjawab semua pihak, terlebih para guru, dosen maupun ustad di sekolah maupun pesantren, agar menekankan pentingnya ajaran humanitas dan kesetiakawanan sosial. Karena bagaimanapun, anak-anak didik mesti memahami prioritas terpenting dari keberkahan lajunya informasi yang menyertai kehidupan mereka.
Janganlah menyusupkan ajaran yang cenderung memacu emosi dan kemarahan, dengan mengesampingkan cinta-kasih Tuhan yang merupakan esensi dari ajaran agama apapun.
Teruslah optimistis sambil memberikan harapan dan kepercayaan pada masadepan mereka.
Pada hakikatnya, apa yang mereka pikirkan, bicarakan, dan apa yang mereka tuliskan tak lain merupakan representasi dari pikiran umat manusia yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.Bukankah energi dari pikiran dan gagasan para jurnalis, wartawan dan kaum intelektual, yang difungsikan bagi kemaslahatan umat, tak lain merupakan cerminan dari energi alam semesta yang sedang saling berinteraksi. Dan siapa yang menyangsikan bahwa kreativitas kita ini pada hakikatnya adalah bagian dari revolusi dan jihad dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, untuk memekarkan nalar dan akal sehat umat manusia?