NUSANTARANEWS.CO, Banda Aceh – Pemimpin Darud Donya Cut Putri menjelaskan, bahwa akhir-akhir ini terlalu banyak berbagai gelar adat istiadat Aceh diberikan kepada tamu yang sama sekali tidak berhubungan dengan Aceh. Tamu itu bahkan mungkin baru sekali atau beberapa kali saja datang ke Aceh, namun dengan gampang mendapatkan gelar adat Istiadat Aceh.
Dibandingkan dengan Kerajaan Inggris, Kerajaan Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, Pingat atau Gelar Penghargaan sangat susah didapatkan, dan memang khusus diberikan hanya untuk orang yang benar-benar berjasa kepada negara tersebut, barulah di berikan resmi oleh pemimpin negara atau Sultan.
Sedangkan di Aceh sekarang, lembaga yang sama sekali tidak jelas dan tidak terkait kesultanan, seenaknya saja memberikan gelar Kesultanan Aceh kepada siapa saja.
“Pemberian gelar Kesultanan Aceh mengatasnamakan rakyat Aceh, yang tidak sesuai dengan sejarah dan adat istiadat Kesultanan Aceh, maka itu adalah pengaburan sejarah dan merupakan penghinaan terhadap adat Aceh,” kata Cut Putri yang merupakan Cucu Sultan Jauharul Alam Syah Johan Berdaulat Zilullah Fil Alam.
Pada era Kesultanan Aceh, hanya orang yang memiliki peran penting dan berjasa besar terhadap Negara Aceh yang mendapatkan gelar kehormatan.
Ada beberapa tokoh luar seperti Thomas Best dari Inggris, yang pada tahun 1613 M mendapatkan gelar Orang Kaya Puteh dari Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), atas jasa Thomast Best yang telah menghancurkan armada Portugis yang hendak menyerang Aceh, menangkap kapalnya dan menyerahkan kepada Sultan Iskandar Muda. Gelar Orang Kaya pada era Kesultanan Aceh adalah setara Menteri, seperti Wazir Orang Kaya Seri Maharaja Lela Perdana Menteri.
Sultanah Safiatuddin (1641-1675 M) juga pernah memberikan gelar Orang Kaya Puteh dan gelar Kapitan Raja kepada pedagang asing, atas jasa pedagang asing tersebut mempertahankan sistem perdagangan lada di Aceh.
Pada Tahun 1701 M Sultan Habib Sayed Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalullail juga telah memberikan penghargaan kepada Kapten Asbilur dari Denmark. Kapten Asbilur dan stafnya juga diberikan rumah tinggal di Gampong Jawa, karena berjasa dalam perdagangan Aceh dengan Denmark.
Pada tahun 1784, Thomas Forrest atas jasanya dalam perdagangan Inggris dengan Aceh, juga mendapatkan gelar Orang Kaya Puteh dan anugerah Bintang Peudeung Meuh dari Sultan Aceh Sultan Muhammad Syah (1781-1795).
Pemberian gelar kehormatan yang berlaku dalam adat istiadat Aceh memang ada, dan diberikan hanya kepada yang layak, karena tamu itu memiliki jasa besar kepada Negara Aceh.
Darud Donya juga membantah beberapa pihak, yang menyebutkan bahwa gelar Teuku atau Ampon berasal dari masa Belanda, dan beberapa pihak yang menjadikan gelar Kesultanan Aceh sebagai lawakan dan permainan murahan.
Dalam sejarah Negara Aceh ada struktur pemerintahan negara atau Hirarki. Untuk lebih mudah membandingkan sistem Kesultanan Aceh Darussalam, maka dapat dilihat dengan sistem pemerintahan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kerajaan Malaysia hari ini, yang mengadaptasi Qanun Meukuta Alam yang merupakan kitab induk konstitusi Kesultanan Aceh Darussalam.
Struktur Pemerintahan Negara Aceh Darussalam adalah sebagai berikut: Tingkat pemerintahan terkecil adalah Gampong yang dipimpin oleh Geuchik, kemudian diatasnya ada Mukim dipimpin Imuem Mukim yang memiliki seribu prajurit siap tempur jika datang panggilan Sultan, lalu diatasnya ada Ulebalang Cut (sekarang setara Camat), diatasnya lagi ada Ulebalang Chik (setara Bupati) disebut dengan Teuku Chik atau Ampon Chik, kemudian diatasnya ada para Panglima seperti para Panglima Sagi yang setara dengan Gubernur atau Menteri Besar, kemudian diatasnya ada para Wazir, kemudian diatasnya ada Wazirul Agung Perdana Menteri, kemudian diatasnya adalah Sri Sultan Aceh.
Dalam sistem Kesultanan Aceh, Sultan Aceh tidak berkuasa penuh, dan tidak boleh memerintah sendiri, karena Sultan tidak dapat memutuskan apapun tanpa persetujuan para ulama, baik Syaikhul Islam, Mufti Empat dan Hulubalang, yaitu termasuk didalamnya Qadhi Malikul Adil atau Jaksa Agung Kesultanan Aceh Darussalam, para Uleebalang, dan lain-lain.
Sistem kehulubalangan di Aceh yang berjalan baik selama ratusan tahun, kemudian dirusak oleh Snouck Hurgronje, yang memisahkan antara Ulebalang dengan ulama. Padahal dalam era kesultanan, Qadhi Malikul Adil (Ulama Kesultanan Aceh) adalah juga disebut hulubalang, yang termasuk dalam Hulubalang Empat atau Hulubalang besar, yakni Wazir Maharaja Sri Maharaja Mangkubumi, Wazir Sri Maharaja Lela Perdana Menteri, Wazir Laksamana Sri Perdana Menteri dan Qadhi Malikul Adil. Keempat orang inilah Hulubalang Empat, yang berdiri disamping Sultan, bersama dengan para hulubalang lainnya. Sehingga Sultan Aceh tidak punya kuasa memerintah sendiri.
Pada era Kesultanan, pemilihan Sultan Aceh menggunakan sistem Panglima Sagi. Setelah masa para Sulthanah ada 12 orang Ulebalang Utama yang berhak memilih Sultan, 3 orang Ulebalang menjabat sebagai Qadhi Rabbon Jalee atau Qadhi Panglima Sagi.
Sehingga Ulebalang zaman kesultanan tidak bisa memerintah seenaknya, sebab ada Qadhi Ulebalang yang mengawasi dan memberi hukuman. Jika Ulebalang mengingkari hukum Allah dan Rasul maka rakyat tidak wajib taat, dan Ulebalang itu tercopot dengan sendirinya, itu adalah perintah langsung Sri Sultan Aceh.
Ketika Belanda datang, Ulebalang melakukan perang dahsyat dan tidak mau menyerah, seperti Teuku Nanta Setia, Teuku Imuem Luengbata dan lain-lain yang semuanya syahid dalam perang Aceh. Belanda kesal melihat Ulebalang yang tidak mau menyerah, akhirnya Belanda mengangkat Ulebalang lain sebagai gantinya.
Namun jika Ulebalang yang melawan itu kemudian menyerah, maka wilayahnya dikembalikan. Tetapi rakyat tidak menyerah. Karena sesuai perintah Sultan, rakyat taat hanya jika Ulebalang taat kepada Allah dan Rasulnya, dan jika tidak maka bukan lagi Ulebalang Kesultanan Aceh. Perang Aceh tahun 1873-1903 mengakibatkan banyak syahidnya ulama dan Ulebalang Kesultanan Aceh Darussalam.
Untuk membedakan Ulebalang Sultan dan Ulebalang yang menyerah kepada Belanda mudah saja. Pada era kesultanan, istiadat ija tangkulok atau kain tangkulok seperti sorban wajib digunakan di kupiah Aceh oleh Ulebalang kesultanan, dan juga senjata harus selalu dikenakan dipinggang. Maka Ulebalang yang menyerah kepada Belanda tidak lagi memakai ija tangkulok atau kain tangkulok di kupiah Aceh.
Pada awalnya Belanda tidak tahu pentingnya peran ija tangkulok, karena itu Belanda membiarkan saja kain tangkulok yang digunakan di kupiah Teuku Umar ketika pura-pura menyerah. Namun ketika Teuku Umar berbalik kepada pejuang Aceh, Belanda sudah tahu betul adat istiadat Aceh.
“Sebegitu detilnya Kaphe Belanda mempelajari adat istiadat Bangsa Aceh,” kata Cut Putri.
Oleh karena itu foto pejuang dan Ulebalang yang menyerah, rata-rata hanya menggunakan kupiah Aceh saja, tidak lagi memakai ija tangkulok sebagai lambang Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1916, Ulebalang dan rakyat Aceh tidak boleh lagi memakai pakaian Aceh dan rencong Aceh karena dilarang oleh Kaphe Belanda. Jika masih memakai, maka dianggap pro kesultanan dan kolot atau kuno ketinggalan zaman. Peraturan peninggalan Kaphe Belanda itu masih dipraktekkan hingga kini di Aceh, sehingga banyak orang Aceh sekarang malu menggunakan baju Aceh dan senjata Aceh di pinggang.
Padahal dalam sejarah, kewajiban penggunaan Rencong adalah perintah pertama dari Sri Sultan Aceh. Penggunaan senjata adalah sebagai identitas keacehan, jika seseorang memakai rencong maka dipastikan orang itu berasal dari Aceh. Rencong sama sekali tak ada hubungannya dengan simbol kekerasan, pemberontakan atau separatis.
“Maka kedepan perlu ada pengembalian pelaksanaan adat istiadat Aceh. Itu harusnya lebih diutamakan ketimbang memberikan gelar-gelar ahistoris kepada orang luar Aceh, yang bahkan tidak memiliki jasa apapun terhadap Aceh,” ujar Cut Putri.
Misalnya gelar Teungku, adalah gelar Aceh yang tidak boleh dipakaikan sembarangan kepada orang luar Aceh. Gelar Teungku dalam sejarah dan adat istiadat Aceh dipakaikan kepada bangsawan perempuan keturunan Sultan Aceh.
Selain itu Teungku juga merupakan gelar dan jabatan untuk ulama yang memimpin dayah, untuk ulama laki-laki maupun perempuan pendakwah mubaligh tokoh masyarakat Aceh yang dikenal masyarakat walau tidak memiliki dayah, untuk seorang Teungku Meunasah yaitu yang memimpin kegiatan Meunasah dan melaksanakan fardhu kifayah dalam wilayah gampong, dan untuk imam yang memimpin shalat Rawatib yaitu disebut Teungku Imam Rawatib.
Pada masa kerajaan Aceh, kepala mukim yang pastinya seorang ulama, juga disebut Teungku Imuem Mukim, yang juga memimpin shalat jum’at di Masjid Jami’, yang hanya terdapat satu Masjid Jami’ pada setiap mukim.
Sedangkan siapapun laki-laki dewasa Aceh yang berada di Aceh maupun diluar Aceh biasa disebut dengan panggilan Teungku atau Teungku Aceh, yang menandakan bahwa Ia adalah orang Aceh. Sehingga orang selain dari orang Aceh tidak boleh dipanggil Teungku, kecuali gelar untuk bangsawan Melayu. Gelar Teungku tidak boleh disematkan kepada sembarang orang selain dari kriteria Teungku diatas.
“Gelar Teungku tidak boleh digunakan oleh orang diluar Bangsa Aceh. Gelar Teungku adalah pengakuan kolektif masyarakat Aceh kepada seorang Aceh yang ulama atau ahli agama, bukan penilaian atau gelar yang dapat diberikan sembarangan oleh segelintir individu atau suatu lembaga dengan alasan pengakraban atau alasan apapun!” tegas Cucu Sultan Aceh.
Dalam sejarah bahkan seorang Teuku Uleebalang pun tidak boleh memberikan gelar Kesultanan Aceh apapun pada siapapun. Satu-satunya yang berhak memberikan gelar Kesultanan Aceh hanya Sultan Aceh.
“Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut, adat Aceh dan hukum Islam adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Istiadat Aceh adalah budaya Islam. Melestarikan adat istiadat Aceh berarti menjaga tegaknya kedaulatan Islam di Bumi Serambi Mekkah”, tegas Cucu Sultan Aceh Pemimpin Darud Donya.
Maka Darud Donya menghimbau Rakyat Aceh, untuk terus menjaga dan melestarikan adat istiadat Aceh warisan para indatu. Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita. (MG)
Kontributor/Pewarta: Mawardi Usman