KolomOpini

Dari Islam Hatta (Hingga) Pancasila

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah rentetan penolakan terhadap pendudukan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Belanda menjajah lebih lama sekalipun Jepang dikatakan lebih kejam.

Perang demi perang telah menewaskan sekian banyak pejuang dan penjajah itu sendiri. Yang perlu digarisbawahi dari perjuangan itu adalah semangat dan tokoh yang menggerakkannya. Tidak dapat dipungkiri di sini adalah Islam sebagai nafas perjuangan dan sosok Ulama atau sekurangnya pemimpin religius sebagai faktor yang menggalang kekuatan untuk mengusir penjajah kembali ke kampung halamannya. Beberapa tokoh yang masyhur di telinga kita adalah Tgk. Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Pangeran Diponegoro, Antasari, dan masih banyak tokoh-tokoh pahlawan kemerdekaan lainnya.

Fakta sejarah ini akan sangat terang ketika kita berkaca kepada Aceh. Keistimewaan Aceh diberikan Indonesia tidak lain karena semangat juang masyarakatnya yang senantiasa mengkaitkan perlawanan dengan jihad fi sabilillah. Orang Aceh dan masyarakat muslim secara keseluruhan akan siap mempertaruhkan nyawanya demi memperjuangkan apa-apa yang menurut ajaran agama mereka harus dipertahankan. Hasyim Asy’ari bahkan pernah mengeluarkan fatwa bahwa membela atau mencintai tanah air (negara) adalah bagian dari iman. Dengan begitu, dapat kita katakan bahwa spirit Islamlah yang menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya. Konstitusi kita membahasakan kemerdekaan Indonesia karena berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Keyakinan demikian menunjukkan penghayatan terdalam bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah ridha dari Allah. Karena ridha itulah kemerdekaan Indonesia dapat diraih dan patut disyukuri.

Sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, telah disusun suatu panitia yang bertugas untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia sedemikian rupa. Dr. Radjiman Wediodiningrat dipilih menjadi ketua panitia yang terbentuk sejak April 1945 itu. Di sinilah polemik awal di mana Islam mulai dipertanyakan. Dalam pidato pembukaannya dr. Radjiman mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota sidang, “Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?” Sekalipun kata “Islam” tidak disebut dalam pertanyaan itu, tapi ia mengarah ke sana, yaitu apakah Islam atau bukan yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Awalnya dipandang bahwa persoalan ini hanya akan menghambat waktu karena ia terkait dengan persoalan filosofi. Tetapi pertanyaan itu justru menguasai sidang-sidang di hari-hari pertama. Adalah Bung Karno di antara pihak yang tidak setuju dengan Islam sebagai dasar negara. Sebagai gantinya, Soekarno menguraikan lima sila yang kemudian peristiwa itu dikenal dengan nama “Lahirnya Pancasila”.

Baca Juga:  Ukraina Mengakui Ketergantungannya Pada Bantuan Barat

Sedangkan di pihak yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara adalah Hamka, Kasman Singodimedjo, Mohammad Natsir, dan lainnya. Hamka—sebagaimana dijelaskan Syafii Maarif—pernah dengan sangat pedas mengatakan bahwa yang mengkhianati ruh nenek moyang pemimpin yang terdahulu ialah mereka yang hendak menukar perjuangan mereka dengan Pancasila. Kemudian Hamka melunakkan nada pernyataannya dengan mengatakan, “Tetapi… saya tidak mau menyampaikan konklusi ke sana. Sebab kita sekarang adalah tengah mengadu pikiran untuk memadukan. Bahkan sebagai muslim, saya beri maaf orang-orang yang menuduh kami pengkhianat, karena kami tahu bahwa ilmunya tentang sejarah nenek-moyangnya masih sangat perlu ditambah”. Selain karena faktor sejarah, usulan negara berlandaskan Islam juga ditengarai karena faktor pandangan bahwa Islam lebih unggul. Kasman mengatakan bahwa Islam itu serba sila; Pancasila included di dalamnya. Saifuddin Zuhri (NU) juga pernah mengatakan bahwa dalam kandungan hukum Islam, prinsip-prinsip Pancasila akan berkembang menuju kesempurnaan.

Sekalipun umat Islam adalah mayoritas, tapi kenyataannya dalam sidang-sidang mereka justru dikalahkan oleh kelompok sekuler. Perwakilan Islam tidak mungkin menang, sebaliknya justru kelompok sekuler yang lebih dominan. Perdebatan itu terus berlangsung alot antara lain karena faktor sukarnya pihak sekuler mengakui sila Ketuhanan sebagai sumber moral dan etik dari sila-sila yang lain. Dari Soekarno hingga Ruslan Abdul Gani tetap bersikukuh negara tanpa anasir agama. Padahal bagi wakil-wakil Islam saat itu merasa bahwa menentang Pancasila yang serba netral adalah kewajiban agama, sekalipun kemungkinan untuk menang kecil sekali. Sulitnya menemukan titik temu antar dua golongan ini terus berlangsung panjang. Di sinilah peranan Hatta perlu diutarakan. Hatta—sekalipun bukan perwakilan Islam—adalah sosok yang menengahi dua kutup antara Islam dan Pancasila. Penjelasan Hatta merupakan penghubung yang pada gilirannya mampu membuat kelompok Islam menerima Pancasila.

Baca Juga:  Buruknya Penegakan Hukum Tersebab Tololnya Seorang Kapolres

Syafii Maarif menjelaskan bahwa Pancasila haruslah membuka diri terhadap interpretasi yang lebih mendalam, jelas dan bertanggung jawab. Sekali Pancasila memberi celah ini, maka Islam akan memberi sumbangan positif menuju arah kejelasan. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam begitu terang, tajam dan universal serta memiliki hubungan organik dengan prinsip lainnya. Karenanya, jika Pancasila ingin mempunyai dasar yang kokoh, ia harus menerima prinsip moral transedental yang ada dalam al-Quran dan kitab-kitab lainnya. Hanya saja, sambung Maarif, Soekarno tidak menerima, dan kelompok Islam tetap keras kepala dengan negara Islam, padahal jumlah mereka hanya 48% saja. Tindakan Soekarno yang diktator dan sikap keras kepala kelompok Islam dikritik oleh Hatta dengan sangat jujur. Selain kritik, Hatta kiranya memberi solusi dan jalan tengan lewat tafsirnya yang relatif jauh berbeda dengan tafsiran Soekarno yang bercorak sosialis.
Hatta berpandangan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila lain. Tapi sayang, pendapat ini ia keluarkan setelah Majelis Konstituante dibubarkan. Hatta menganggap sila Ketuhanan Yang Maha Esa tepat berada di sila pertama sebagai dasar yang memipin cita-cita negara, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab selanjutnya haruslah menyusul dan tidak dapat dipisah, berangkaian dengan sila pertama. Dengan dasar-dasar moral ini, pada hakikatnya Pemerintahan Indonesia tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakatnya. Seandainya kesasar di jalan, ada senantiasa desakan ghaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar (Hatta, 1977).

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila

Pandangan demikian akhirnya melunakkan kelompok Islam. Mohammad Natsir bahkan pernah berkata di muka the Pakistan Institute of World Affairs (1952) bahwa sekalipun Indonesia tidak menyebut Islam secara tegas sebagai dasar negara, tapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah mencantumkan kepercayaan tauhid pada tempat teratas dari Pancasila. Alhasil, Pancasilalah yang disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara sekalipun Islam adalah spirit awal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada gilirannya, tafsir Pancasila juga dipandang sejalan dengan Islam. Demikianlah perjalanan Indonesia; dari Islam hatta/hingga Pancasila.

Penulis: Khairil Akbar, mahasiswa program pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan merupakan alumnus Prodi Hukum Pidana Islam UIN Ar-Raniry Aceh.

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 51