CBA ke KPK: Sidik Aliran Dana Buku Merah atau Kena Kartu Merah

Ketua KPK Agus Raharjo/Foto FAdilah / Nusantaranews

Ketua KPK Agus Raharjo/Foto Fadhilah / Nusantaranews

Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Restu Fadilah/NusantaraNews)
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Restu Fadilah/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Koordinator Investigasi Center CBA (Center For Budget Analysis), Jajang Nurjaman menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak dipimpin Agus Rahardjo nampak berambisi besar ingin menorehkan catatan mencengangkan. Terlihat, sejak tahun 2016 sampai November 2018 total ada 28 kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT), bahkan 17 diantaranya terjadi di tahun ini.

Catatan positif ini, kata Jajang, sejenak bisa menghibur publik, guna melupakan prestasi buruk lembaga penegak hukum kita dalam pemberantasan korupsi termasuk KPK sendiri. Karena faktanya, sederet kasus mega korupsi masih mangkrak belum terselesaikan.

Baca Juga:

“Sebut saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Century, kasus di Pelindo 2, kasus korupsi di PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), kasus perpanjangan kontrak pelabuhan Jakarta International Container Terminal (JICT), kasus korupsi Petral dan sederet mega korupsi lainnya,” ujar Jajang kepada nusantaranews.co, Rabu (10/10/2018).

Belum lagi, lanjut Jajang, setelah kasus dugaan aliran dana dari pengusaha ke sejumlah pejabat termasuk Jendral (Pol) Tito Karnavian yang kembali mencuat. Kondisi ini menyudutkan KPK, Publik nampaknya butuh pembuktian dari Agus Rahardjo dan jajarannya. Guna menepis anggapan bahwa keganasan KPK bukan hanya berlaku di daerah saja namun tidak untuk kasus besar yang melibatkan orang penting.

Jajang menambahkan, dengan memilih lebih fokus ke daerah dan mengabaikan kasus-kasus besar, ada kesan KPK seperti sedang lari dari medan pertempuran sesunguhnya. “Padahal untuk daerah sendiri, hal yang amat sulit bisa ditangani sendiri oleh KPK. Dengan jumlah 542 daerah beserta ratusan ribu pejabatnya tidak mungkin bisa diawasi sendiri oleh KPK yang jumlah personelnya 1500 orang,” ujarnya.

Terbukti, ungkap dia, meskipun KPK terlihat menyibukan diri di daerah tidak semua persoalan penyelewengan anggaran yang terjadi di daerah dapat ditangani KPK. Malahan korupsi di daerah semakin canggih modus operandi di daerah untuk mengelabui aparat hukum seperti KPK.

“Misalnya, Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan, ada dugaan permainan proyek dalam pembangunan gedung SMF rawat inap kelas I di RSUD Ulin Kota Banjarmasin senilai Rp 107,8 m yang masuk di tahun anggaran 2018 dan 2019, dan ini luput dari radar KPK. Di tengah-tengah maraknya OTT yang dilakukan KPK di daerah, Oknum pejabat di Kalimantan Selatan seperti bebas bermain dengan pihak swasta,” kata Jajang mencontohkan.

Dimana, sambungnya. modus operandi adalah dokumen persyaratan lelang sampai sertifikat persyaratan lelang seperti yang dikeluarkan Green Building Council Indonesia bisa dengan mudahnya diduga dipalsukan oleh pemenang lelang perusahaan PT Permata Anugerah Yalapersada untuk mengarap proyek pembangunan gedung SMF rawat inap kelas I di RSUD Ulin tersebut.

“Permainan proyek seperti ini sebetulnya bisa digagalkan oleh KPK, dimana panitia lelang seharusnya sudah diperiksa KPK, dan kemungkinan PT Permata Anugerah Yalapersada sudah masuk daftar hitam,” ujarnya.

Tetapi dari kasus di atas, kata Jajang lagi, aparat Hukum seperti gagal. “Maka untuk itu, kami dari CBA meminta kepada KPK untuk segera bergeser sedikit dari menggarap kasus kasus daerah, sudah waktunya menggarap kasus besar seperti temuan Indoensialeaks, yang didugaa adanya aliran dana dari buku merah milik CV Laut Perkasa kepada petinggi Polri, Jendetal Tito Karnavian. karena saat ini, Integritas pimpinan KPK sedang diuji, antara cepat selesaikan buku merah atau mendapatkan kartu merah.! Ketika temuan Indonesialeaks hanya sebuah Opini buat KPK,” tandasnya.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Exit mobile version