NusantaraNews.co, Jakarta – Buku puisi “Hadrah Kiai” karya penyair asal Sumenep Madura, Raedu Basha sukses menjadi satu dari lima “Pemenang Terpilih” di Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2017, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu malam (4/10/2017).
Buku puisi yang oleh penyairnya sendiri disebut sebagai karya etnografi ini bersaing dalam Sayembara Buku Puisi dengan 247 buku puisi karya para penyair lintas generasi dari Aceh sampai Papua.
“Hadrah Kiai” menjadi “Pemenang Terpilih” bersama empat buku puisi pemenang lainnya antara lain antologi puisi “Berguru Kepada Rindu” karya Acep Zam Zam Noor, “Hanya Melihat Hanya Mengagumi” karya Din Saja, “Akar Ketuban” karya Umi Kulsum dan “Surat Cinta dari Rindu” karya Candra Malik.
Sementara “Pemenang Utama” diraih buku “Giang” karya penyair Irawan Sandya Wiraatmaja. Penyair ini sehari-hari bekerja sebagai Kepala Arsip Nasional.
Laporan Dewan Juri
Seyembara buku puisi HPI 2017 kali ini dinilai cukup memuaskan dan mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Selain secara kuantitas yang bertambah, kualitasnya pun meningkat.
“Lomba kali ini luar biasa banyaknya. Dan tampaknya para peserta betul-betul mempersiapkan buku puisinya secara sangat serius,” kata Maman S. Mahayana selaku Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia saat membacakan laporan pertanggungjawaban Dewan Juri Seyembara Buku Puisi HPI 2017.
Sehingga, lanjut Maman, buku puisi itu sekarang, menjadi buku puisi yang lebih berwibawa, bermartabat dan tidak memalukan ketika nongkrong di toko buku atau nongkrong di perpustakaan.
“Ada banyak eksprementasi yang dilakukan oleh para penyair peserta seyembara buku puisi 2017,” ungkap Maman yang juga menjadi juri tetap bersama Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri.
Selaku Dewan Juri, Maman menyampaikan secara singkat proses penilaian ke 247 buku puisi tersebut.
“Kami bertiga (dewan juri) melakukan pemilihan secara bertahap, nyicil, begitu datang buku puisi, kemudian disebarkan dan dibaca secara serius. Sampai akhirnya tanggal 1 Oktober 2017, kami berkelahi, bertengkar, berdebat tetapi kembali puisilah yang mempersatukan kami kembali,” tuturnya yang dilanjutkan dengan pembacaan 16 nominator buku terbaik HPI 2017 dan diteruskan dengan keputusan 5 buku puisi pemenang terpilih dan satu puisi pemenang utama.
Hadrah Kiai, Karya Etnografi
“Bagi saya buku Hadrah Kiai adalah karya etnografi,” cetus penyair Raidu Basya yang dengan antologi puisi pertamanya berjudul “Matapangara” berangkat ke Bali menjadi salah satu penulis di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 itu.
Selebihnya, Raedu menyampaikan suatu kesadaran sebagai penyair muga yang masih penuh kerendah-hatian. Sebagaimana yang dia nyatakan bahwa dirinya tak miliki wewenang untuk menyebut dirinya sendiri sebagai penyair.
“Saya tidak punya wewenang untuk menyatakan diri saya sebagai penyair sebab saya tak pernah sekolah pada program penyair, sebagai penulis manakib saya juga tak punya kapasitas, karena manakib biasanya ditulis oleh orang soleh dan maqam wilayat,” tukas Raedu beberapa waktu kepada redaksi NusantaraNews.co.
“Saya tak lebih dari seorang pelajar sosial humaniora yang sedang menghayati keindonesiaan, yang sedang menjadikan kiai-kiai Nusantara sebagai tineliti, kadang paradigma saya historis kadang pula fenomenologi sebagaimana diajarkan guru saya,” imbuhnya renyah.
Kendati demikian, ia tak menampik, jika dengan judul buku puisi “Hadrah Kiai” itu ia dinilai tengah berupaya hendak memberikan sumbangsih terhadap khazanah Islam melalui puisi, yang ia sebut sebagai karya etnografi.
“Benar adanya jika saya adalah santri yang ingin menyumbangkan upayanya, mengekspresikan ketakzimannya sebagai tahadduts binnikmah kepada para kiai. Benar adanya bila saya pelajar antropologi yang sedang mendeskripsikan perenungannya,” akunya.
“Tidak benar bahwa dengan Hadrah Kiai saya dipanggil ustaz atau kiai. Saya sedang melakukan isykal kepada David Jacobson dalam buku “Reading of Ethnography” yang menyebutkan tidak ada karya etnografi pada puisi. Beri saya waktu untuk melakukan isykal, beri saya kesempatan untuk melakukan beberapa hal Banyak karya klasik di Nusantara (serat) dan atsar pujangga Arab yang belum dibaca oleh Jacobson,” imbuhnya.
Hadrah Kiai Bagi Ketua Umum PBNU
Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj memberikan apresiasi tinggi terhadap buku puisi karya Raedu Basya ini. Menurut Kiai Said, puisi-puisi dalam “Hadrah Kiai” menjadi ruang ziarah batin untuk menjumpai para ulama Indonesia terdahulu. Berikut ini sambutan Kiai Said:
Membaca syair-syair karya Raedu Basha dalam buku ini, serasa ziarah kepada sosok-sosok ulama di hening sunyi. Merenungi karya-karya puitik ini, pembaca serasa diajak berpe-tualang menuju labirin pesantren, menyibak khazanah Islam Nusantara sekaligus menikmati tradisi ala santri. Dari petualangan puisi, pembaca serasa menyusuri manakib para wali, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Hasyim Asy’ari dan deretan kiai-kiai lain.
Membaca buku ini, kita dapat menangkap pesan simbolik bagaimana khazanah pesantren baik tradisi maupun pengetahuannya. Tradisi pesantren lekat dengan sastra, yang menjadi media pengetahuan. Santri-santri terbiasa dengan metode sastra, menghafal nadzam-nadzam untuk menghayati pengetahuan. Secara rutin, santri-santri juga merapal shalawat dan Barzanji karya Al-Bushiri. Juga, menghayati sastra dengan menapaki lapis-lapis pengetahuan dalam bidang balaghah.
Karya ananda Raedu Basha ini meneguhkan betapa santri lekat dengan sastra. Semoga bermanfaat dan menjadi bagian dari jalan pengetahuan dan pengabdian.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman