NUSANTARANEWS.CO – Jaksa Agung Bidang Pengawasan Widyopramono beberapa waktu lalu telah meluncurkan buku berjudul Pemberantasan Korupsi – Sebuah Perspektif Jaksa. Peluncuran buku yang sempat terkesan hingar bingar karena dihadiri dan dipuji oleh banyak pakar hukum terkenal di negeri ini pada akhirnya menjadi tercoreng.
Pasalnya, sebagian isi buku tersebut diduga menjiplak atau plagiat dari buku yang berjudul Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi dan Tax amnesty dalam Penegakan Hukum, karya Almarhum Marwan Effendy.
Dugaan plagiarisme tersebut terdapat pada halaman 95-100. Yakni sekitar 61 paragraf dari 65 paragraf yang ada, persis sama dengan buku Marwan di halaman 119-162.
Menyikapi dugaan plagiarisme tersebut, Sosiolog Nia Elvina menyatakan fenomena ini sangat erat kaitannya dengan berkembangnya nilai instan dalam masyarakat Indonesia saat ini. “Dengan berkembangnya nilai instan ini, orang akhirnya tidak memperdulikan nilai ‘perjuangan’ bagaimana hasil Itu dicapai,” sebagaimana kata Nia yang ditulis, Selasa (29/11/2016).
Menurutnya, kondisi itu mendorong orang untuk tidak menghargai ide atau perjuangan orang lain dalam menciptakan sebuah karya, misalnya dalam kasus buku ini, perjuangan almarhum Marwan Effendy dalam menciptakan buku sama sekali tidak dihargai.
Nia mengatakan, penyebab utama maraknya kasus plagiarisme di negara Indonesia karena sistem pendidikan belum mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama.
“Jika nilai pertama ini dilaksanakan dalam pendidikan kita, tentu tanpa adanya pengawasan atau sanksipun, orang akan berlaku jujur. Karena jika masyarakat kita percaya Tuhan, pasti perbuatan tidak berlaku jujur atau curang dengan menjiplak karya orang lain tidak akan terjadi,” ucapnya.
Senada dengan Nia, pengamat Kebijakan Publik Yanuar Wijanarko menyatakan plagiarisme merupakan tindakan kecurangan yang luar biasa. “Ketika seorang pejabat tinggi, guru besar dan tokoh penegakan hukum ternyata melakukan plagiarisme, otomatis ia sudah melanggar kejujuran intelektual. Maka harus ada tindakan komisi etik dari pimpinan perguruan tinggi, pimpinan institusi dan kementerian terkait,” tegas Yanuar.
Komisi etik tersebut nantinya menelaah apakah buku yang dihasilkan Widyopramono mencantumkan sumber kutipan atau tidak. Jika tidak ada kutipan asal sumber, maka harus diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku mengingat semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Sanksi tersebut, menurut Yanuar, sesuai Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 yakni mulai dari pemberhentian tidak hormat hingga pembatalan gelar akademisnya.
“Dan sanksi itu dikuatkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan. Dimana pasal 25 dan 70 pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut menyebutkan adanya pencabutan gelar akademis, serta pidana penjara 2 tahun hingga denda Rp200 juta,” tegasnya.
Yanuar menambahkan, tindakan plagiarisme tulisan layak dicela karena dapat menipu pembacanya. Sebab, lanjutnya, pembaca memiliki ekspektasi untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi yang baru. “Disamping itu, merusak kultur akademik yang bermoral dan berintegritas. Sekaligus pencurian kreativitas intelektual,” tandasnya.
Sementara itu, belum ada tanggapan resmi dari Widyopramono terkait isu plagiarisme tersebut. (Andika)