CerpenTerbaru

Budaya Konsumtif

Budaya Konsumtif
Budaya Konsumtif

Budaya Konsumtif

Saya termasuk orang yang gampangan menerima ide dan gagasan yang dikemukakan para pakar dan pengamat sosial di televisi. Orang-orang berkacamata dan berkepala botak yang bicara fasih dalam acara talkshow maupun dialog yang disiarkan secara sentral dari ibukota Jakarta. Seringkali mereka bicara tentang dampak yang diakibatkan manusia modern yang cenderung konsumtif, dan terus-menerus merusak alam dan lingkungan sambil melestarikan eksploitasi manusia atas manusia lain.
Oleh: Chudori Sukra*

Kadang saya merasa ngeri menyaksikan tingkah polah manusia yang begitu menjengkelkan dan memuakkan. Suatu proses perubahan mental yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Terlalu banyak yang perlu diungkapkan dan percuma saja diperdebatkan, meskipun kita semua bisa merasakannya bersama-sama.

Suatu hari, saya tergugah menyaksikan analisis seorang pengamat sosial dan pakar lingkungan yang berasal dari daerah saya, Dr. Sandi Noya. Selesai acara dialog, saya matikan televisi dan segera menuju toko sepeda “Sadulur” di Pasar Rangkasbitung yang letaknya tak begitu jauh dari kediaman saya. Di dalam toko, seorang warga keturunan Tionghoa berperawakan sedang bermata agak sipit, langsung menyambut kedatangan saya. Ia menunjukkan beberapa jenis sepeda model terbaru. Gerak-gerik dan tatapan matanya menunjukkan bahwa ia seorang pedagang yang berpengalaman, dengan aksen bahasa Indonesianya yang fasih dan lancar.

Ketika ia menawarkan sepeda, caranya menyampaikan kata-kata laiknya seorang dosen atau guru yang menjelaskan kepada sang murid, “Tepat sekali, Pak. Hidup di zaman sekarang ini sudah kacau dan semrawut. Polusi di mana-mana. Bukan hanya polusi pendengaran dan penciuman, tetapi yang paling utama polusi udara yang membuat lingkungan kita sudah tak nyaman lagi. Saya kira, mengendarai sepeda adalah solusi terbaik dari semuanya itu…”

Saya memasuki ruang sebelah, berdiri di antara jajaran sepeda dan etalase-etalase panjang yang memajang berbagai aksesoris dan peralatan yang diperlukan untuk sepeda. Pedagang keturunan Cina itu tetap setia mendampingi saya, dan katanya lagi, “Banyak orang meremehkan manfaat bersepeda. Padahal dengan sepeda hidup kita menjadi simpel dan alamiah. Terutama kita dapat merasakan udara segar, sinar matahari yang menyehatkan badan. Dan yang terpenting dari semuanya itu adalah alat sederhana untuk berolahraga.”

Kata-kata itu mengingatkan saya pada pernyataan seorang pakar, Dr. Sandi Noya ketika membahas esensi dari buku Perasaan Orang Banten, bahwa prinsip perubahan dan transformasi hanya mungkin terjadi apabila kita mau memulai dari diri sendiri, dan dari hal-hal kecil dan sederhana di sekitar kita.

Saya menelpon saudara sepupu agar membawa pulang mobil saya, sambil memberinya ongkos bensin. Saya sudah berjanji pada diri sendiri, sepulang dari toko sepeda saya akan langsung menggoesnya menuju rumah. Ternyata memang praktis, sederhana dan ramah lingkungan. Dalam beberapa puluh menit sudah sampai rumah dan badan terasa segar dan menyehatkan. Seketika saya ingin tahu seberapa jauh perjalanan yang saya tempuh tadi?

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Keesokannya saya menggoes lagi menuju toko sepeda, “Engkoh,” saya memanggil pedagang Cina tersebut, “Saya mau beli alat yang menentukan jarak dekat atau jauhnya saya menempuh perjalanan. Kalau tidak salah namanya odometer.”

“Wah, Bapak tepat sekali,” saya merasa tersanjung dengan pujian itu, tetapi kemudian ia berkata, “tapi perlu diperluas lagi wawasan Bapak tentang aksesoris sepeda.”

Kali ini ia memandang saya dengan serius dan agak ragu-ragu. Perubahan sikapnya itu bisa saya mengerti. Lalu, paparnya lagi, “Maksud saya, Bapak perlu odometer itu bagus, tapi odometer tanpa spidometer bagaikan kumbang tanpa bunga. Mereka sudah melengkapi satu sama lain. Ketika satu alat dibuat dengan sendirinya dia akan menjadi penyebab alat lainnya diciptakan.”

Bicaranya yang cepat dan tegas, membuat saya kewalahan mengikuti alur pikirannya. “Jadi, persamaan kedua alat itu di mana?” tanya saya.

“Bapak bilang persamaan itu bagus, tapi yang paling tepat adalah perbedaannya di mana. Begini, kalau odometer akan menunjukkan seberapa jauh Bapak mengendarai sepeda. Tapi kalau spidometer menunjukkan seberapa kuat tenaga Bapak dalam bersepeda.”

Saya membenarkan apa yang dia nyatakan. Sehingga dalam hitungan beberapa menit seorang pegawainya berhasil memasang kedua alat itu di setang sepeda saya.

Setelah itu, pedagang Cina itu nyerocos lagi, “Tapi Pak, zaman sekarang ini orang-orang berjalan sudah tak keruan. Kadang-kadang mereka menyeberang jalan seenaknya sambil bermain HP. Saya bingung, kenapa orang-orang itu pada sableng semuanya. Makanya, jangan heran kalau suatu saat Bapak menabrak salah satu dari orang-orang sableng itu.”

Saya menebak-nebak arah pembicaraannya, namun tak berhasil juga. Beberapa saat kemudian, ia menawarkan lagi, “Jadi, bagaimana kalau di setang sebelahnya kita pasangi klakson listrik? Dengan alat itu, sepeda Bapak sudah dilengkapi trio perangkat yang dahsyat!”

“Ah, nggak usah,” tolak saya, “saya nggak suka bunyi klakson.”

“Begini Pak,” dia terus mendesak, “Klakson ini buatan Jepang, dan kita tahu bangsa Jepang itu sangat berjasa dalam menyelamatkan lingkungan. Coba lihat, klakson ini kecil sekali, bahkan kotak korek api lebih besar dari ini. Kalau Bapak tidak suka bunyinya, Bapak masih bisa menikmati bonusnya berupa boom box yang bisa merekam, ditambah jam angin yang menunjukkan tepat waktu ketika Bapak berada di Rangkasbitung, Jakarta bahkan Singapura.”

Karena tertarik oleh seperangkat bonus itu, akhirnya saya persilakan juga sepeda itu dilengkapi dengan klakson listrik pada setang di sebelahnya.

Tak berapa lama, pedagang itu menghilang sejenak, dan dari balik etalase ia menyodorkan alat sebesar bungkus rokok, dan ketusnya lagi, “Lalu bagaimana dengan cuaca?”

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

“Kenapa dengan cuaca?” tanya saya.

“Lho? Bapak ini bagaimana? Cuaca itu penting Pak! Alat ini menunjukkan suasana saat kita bersepeda, misalnya cerah, mendung atau hujan. Lalu, di musim panas, seberapa tinggi suhunya? Jangan-jangan kita yang sedang enak-enakan bersepeda, pas sampai di rumah kepala sudah melepuh karena kepanasan. Juga di waktu hujan. Bapak tahu sendiri sekarang ini badai berdatangan di sekitar kita tanpa kita undang. Kalau kita sedang bersepeda, tahu-tahu terjebak badai di suatu tempat di pedalaman Baduy, siapa yang bisa menolong kita kalau bukan alat mutakhir ini?”

Saya kewalahan juga menghadapi retorikanya. Tawaran itu begitu menggoda sampai-sampai saya tak kuasa untuk menahannya. Dalam keadaan bingung saya pun meminta alat tersebut dipasang di sepeda saya.

Selesai pemasangan, pegawainya undur diri ke ruang dalam. Kemudian pedagang itu menambahkan, “Di zaman milenial ini, apakah kita akan biarkan diri kita jadi kuper dan miskin informasi, walaupun dalam keadaan bersepeda? Sementara alat yang kecil dan praktis ini bisa menyampaikan berita apa saja kepada kita.” Ia memperlihatkan televisi kecil seukuran bungkus cokelat lalu ditimang-timang di telapak tangannya. Dalam waktu singkat televisi kecil itu sudah terpasang di samping spidometer.

Baru saja saya mau menanyakan harga semua itu, tiba-tiba pedagang itu menyatakan maaf, “Oo iya, saya lupa… saya mohon maaf, Pak.”

Mohon maaf kenapa (pikir saya). Bukankah tidak ada yang salah dengan dirinya? Dia mempromosikan barang dan saya sepakat untuk membelinya. Bukankah semuanya baik-baik saja.

“Jadi begini Pak,” ia melangkah mendekati saya. Wajahnya dijulurkan ke telinga saya sambil berbisik, “Maaf Pak, saya lupa yang satu ini, penting sekali… ini penting sekali…”

Dengan lincah ia mengambil sesuatu dari etalase, yakni suatu benda sebesar kardus biskuit dan menyodorkannya ke hadapan saya. “Apa itu?” tanya saya sambil mengerutkan kening.

“Ini produk terbaru dan sangat mutakhir. Namanya oven inframerah. Jadi, sangat manusiawi kalau kita merasa capek dan lelah setelah berkilo-kilometer menggoes sepeda, dan tenaga kita terkuras. Sekali lagi, sangat manusiawi kalau lambung kita keroncongan. Sambil mencari tempat istirahat, rasanya tidak cukup kita meminum sebotol air mineral tetapi perut minta diisi juga dengan makanan. Dengan oven inframerah ini Bapak tak perlu repot-repot mencari warung atau restoran. Apalagi posisi Bapak sedang di tengah hutan di wilayah Baduy sana. Jadi, cukup dengan memasukkan beberapa potong ayam atau daging, ditambah sedikit saos dan bawang, lalu hanya dalam dua menit Bapak sudah bisa menikmati makanan itu.”

Baca Juga:  Sinergi dengan Media, Kapolres Pamekasan Gelar Piramida

“Hanya dua menit?” tanya saya kaget.

“Dua menit itu sudah empuk dan matang betul. Bahkan Bapak bisa menikmatinya kurang dari dua menit,” katanya meyakinkan.

Tanpa sadar saya berdecak kagum sambil menggeleng, “Luar biasa,” kata saya.

Seketika itu, pegawainya langsung memasang alat itu di bagian belakang.

Pedagang Cina itu mentotal semua harga-harga barang yang telah saya sepakati. Ia sudah membaca reaksi saya kalau-kalau saya kaget melihat jumlah harganya. Untuk mengendalikan situasi, ia berkata pelan sambil menenangkan saya, “Tenang saja Pak, walaupun saya keturunan Tionghoa tapi saya ini lahir di kota ini, sebagai warganegara Indonesia asli. Saya juga sekolah dan kuliah di negeri tercinta ini. Karena itu, Bapak saya anggap sebagai sahabat dan saudara saya sendiri.”

Ia diam sejenak, kemudian menegaskan lagi, “Selaku sahabat baik, saya melihat Bapak sebagai orang jujur dan tidak mungkin curang atau mangkir. Sebagai saudara tentu saya percaya pada Bapak. Karena itu, saya akan memberi kredit khusus buat Bapak, dan saya akan mengambil risiko sudah kadung percaya pada Bapak.”

Saya merasa kurang nyaman mendengar kata-kata terakhir itu, tetapi ia menambahkan lagi, “Jadi, saya ingin sekali membantu Bapak sebagai saudara dekat dengan memberi kredit dalam bentuk rupiah untuk dibayarkan dalam tempo duapuluh empat bulan.saja. Tapi, supaya Bapak tidak repot-repot ke tempat saya, beri saja alamat, nomor HP dan fotokopi KTP Bapak. Nanti besok pagi, manajer keuangan saya akan datang ke rumah Bapak dengan membawa beberapa lembar dokumen yang perlu ditandatangani.”

Dengan tangan gemetar saya menulis alamat pada selembar kertas yang ia sodorkan ke hadapan saya. Kemudian ia menutup kata-katanya, “Jadi, besok manajer keuangan saya akan membawa surat kesanggupan pinjaman yang akan dibayar dengan cicilan selama duapuluh empat bulan, ditambah brosur-brosur produk terbaru yang akan membuat kepala Bapak bisa copot, hahaha….”

Ia tertawa mengakak, lalu menjabat tangan saya sambil mengatakan, “Selamat! Bapak telah berani untuk memulai dari diri sendiri. Hidup ini begitu semrawut, dan dengan bersepeda segalanya menjadi simpel dan alami.”

Sepeda itu saya naiki sambil menggoesnya pelan-pelan menuju rumah. Sebuah mobil sedan menyalip sambil membunyikan klakson dan menyemburkan asapnya yang hitam ke muka saya. Saya melihat dengan jelas pengendara mobil itu. Dialah Dr. Sandi Noya, seorang pengamat sosial dan pakar lingkungan yang sering tampil diundang di layar televisi. Hati saya bergemuruh, sambil mengumpat kesal, “Dasar pengamat sableng! Pakar sintiiing…!” (*)

*Penulis: Chudori Sukra adalah pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menjadi anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI) perwakilan provinsi Banten.

Related Posts

1 of 3,057