OpiniTerbaru

Berpegang Teguh Pada Pancasila di Tengah Rongrongan Dua Ideologi Asing

Hari-hari terakhir, terutama menjelang peringatan G30S/PKI Indonesia ramai memperbicangkan isu seputar kebangkitan PKI. Isu tersebut telah memenuhi ruang-ruang media sosial dan media massa nasional sekaligus menyita perhatian masyarakat luas. Tak mau kalah heboh, sebuah stasiun televise swasta juga turut serta menggelar acara bertajuk “PKI, Hantu atau Nyata”, sekaligus membuat kondisi bangsa semakin ramai. Ada persoalan rumit di dalamnya, berkait berkelindan yang menjelaskan sesungguhnya terdapat pertikaian dua arus utama yang tidak bisa atau sangat sulit dipertemukan.

Di tengah gegap gempitanya isu PKI dan komunis, ada sejumlah isu lain yang tidak kalah serius seperti carut-marutnya ekonomi, kenaikan harga komoditi, pajak yang mencekik, isu penguasaan sumber-sumber daya oleh aseng dan asing. Ini semua sungguh membuat masyarakat Indonesia lelah, berjibaku dan bergulat dalam suasana yang penuh kecemasan.

Selain itu, ada juga isu SARA yang semakin kencang, seperti tidak ada kata selesai. Kubu satu menyerang kubu lain, setidaknya dalam wacana-wacana sosial yang terus-menerus diproduksi saban hari, minggu dan bulan. Ditambah lagi isu genosida etnis di Myanmar, yang dibawa-bawa ke tanah air. Sungguh, jika persoalan di Myanmar itu adalah soal krisis kemanusiaan, mestinya semua elemen bersatu memandangnya sebagai tragedi kemanusiaan, bukan hanya memandatangya dari sudut keagamaan semata agar tidak membuat masyarakat malah bertikai, berselisih paham dan itu tidak produktif.

Sayangnya, semua it uterus berjalan di relnya sendiri-sendiri. Ide sendiri dipandang paling sahih meskipun penilaian, ide, gagasan dan pendapat mereka sejatinya lebih banyak didasarkan pada berbagai preposisi-preposisi dan subyektif. Alhasil, akal, nalar dan fakta lapangan tidak dipahami secara komprehensif lalu menimbulkan gejolak, sikap fanatis, emosional dan reaksional.

Tulisan ini hendak memberikan penekanan bahwa terdapat harapan besar bangsa Indonesia agar bisa kembali dalam kondisi normal. Dengan catatan, semua komponen negeri ini harus ada sikap jujur terhadap diri sendiri. Persoalan bangsa ini bukan pada persoalan kelangkaan sumber daya alam, atau pun sumber daya manusia, namun masalahnya adalah pada soal kejujuran.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Apresiasi diri bangsa

Tujuan negara dibuat adalah untuk mencapai kebahagiaan. Tentu saja, diperlukan dasar dan konstitusi. Indonesia dengan sejarahnya yang panjang dan kearifan-kearifan local yang dimiliki telah mengantarkannya pada proses sintetis sehingga dapat melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan konstitusi negara. Dua hal ini adalah titik penentuan dan pertaruhan diri bangsa Indonesia yang mempunyai luas wilayah sangat besar dengan kemajemukan yang sangat variatif.

Dasar dan konstitusi negara mestinya bangsa besar ini sudah berada pada fase kejayaan, negeri yang berkelimpahan kemajuan, baldatun toyyibun dan menjadi negeri yang setara dengan bangsa-bangsa lain. Sayangnya, alih-alih mau melompat justru langkah sepertinya berada di tempat semula alias statis. Pertanyaan kritisnya, apa yang salah dengan Indonesia?

Hemat penulis, kesalahan terbesar bangsa ini adalah terletak pada kurang menghargai diri sendiri. Berpangkal dari keengganan semua pihak termasuk pemerintah dalam menjalankan dasar negara (Pancasila) dan konstitusi 1945 secara murni dan konsekuen. Memang, ada yang terlaksana tetapi banyak hal yang sudah digariskan tidak berjalan bahkan dipunggungi.

Ada persoalan di mana tidak ada militansi dalam mempertahankan ideologi dan konstitusi dari gempuran-gempuran ideologi luar. Gilirannya dasar negara dan konstitusi terkesan hanya sebagai konsensus (kesepakatan) bersama anak-anak bangsa yang tidak terlaksana sampai di aras kehidupan sosial-kemasyarakatan. Ini adalah persoalan klasik sejak setelah dasar dan konstitusi negara diletakkan, namun bersamaan dengan itu pelaksanaanya tidak konsisten.

Ambil contoh misalnya bagaimana keteguhan rezim orde lama yang mensistemisasi Nasakom. Poin ini dapat dikatakan tonggak dimulainya babak pemrosotan apresiasi diri sebagai sebuah bangsa. Apa gunanya proses panjang melelahkan untuk melahirkan dasar negara dan konstitusi kalau kemudian hal itu lalu dipandang sebelah mata. Bahkan dasar negara dan konstitusi itu hampir ditenggelamkan oleh ideologi luar yang datang dengan cara menyusup.

Baca Juga:  Sering Dikeluhkan Masyarakat, Golkar Minta Tambahan Sekolah SMA Baru di Surabaya

Pada perkembangannya, kemunculan ideologi-ideologi luar semakin tampak jelas mengiringi perjalanan Indonesia pasca merdeka. Kapitalisme, neoliberalisme dan sosialis-komunisme terus membayang-bayangi perjalanan bangsa ini. Ambil contoh misalnya, Oxfam International merilis ketimpangan kekayaan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. Kekayaan 4 orang Indonesia setara dengan 100 juta penduduk. Fakta tentang ketimpangan ini sangat memprihatinkan. Padahal, kita sangat gemar membantu secara materi warga di negara lain dengan alasan kemanusiaan. Sayangnya, rasa kemanusiaan seperti tak ditunjukkan di negara sendiri. Masih banyak masyarakat Indonesia yang membutuhkan uluran bantuan untuk sekadar makan sehari-hari.

Terlepas dari itu, ideologi luar seperti kapitalisme, sosialis-komunisme telah dengan sengaja merongrong ideologi dasar negara Indonesia yakni Pancasila. Inilah pangkal dari carut-marutnya kondisi bsanga Indonesia yang masih terjadi sampai sekarang.

Banyak pihak yang masih enggan untuk belajar dari sejarah. Semua terpana dengan seksinya ideologi orang lain (Baca: Sosialis-Komunisme dan Kapitalisme). Ada semacam kekaguman bangsa ini pada romantika ideologi luar. Di satu sisi, ideologi dan dasar negara serta konstitusi sering kali dipakai hanya sebagai hiasan belaka, padahal isi kepalanya bila tidak sosialis-komunis ya kapitalis.

Jika Pancasila ditinggalkan lagi, di masa mendatang Indonesia tetap berjalan di tempat. Padahal, arus perubahan globalisasi telah menuju ke arah, model dan pola yang baru. Sebab, globalisasi gelombang kedua akan segera berakhir dan Indonesia telah gagal memanfaatkannya. Pertanyaannya, apakah di masa mendatang Indonesia tetap akan gagal memanfaatkannya kembali?

Yang jelas, kondisi saat ini membuat kita sulit maju dan menghadapi tantangan. Pasalnya, bangsa Indonesia masih terus rebut, agenda-agenda pembangunan gagal berjalan karena kalah dengan keributan dan kegaduhan. Anak bangsa seperti masih gemar bertikai dan berkelahi, bahkan saling mengadu-domba.

Baca Juga:  Momentum Perkuat Silaturahmi Idul Fitri, PT PWU Jatim Gelar Halal Bihalal

Artinya, dalam menghadapi arus perubahan Indonesia harus tegas memposisikan diri terutama terkait ideologi dan dasar negara. Pilihannya tidak ada dua, karena hanya ada satu yakni Pancasila. Pijakannya, UUD 1945. Keduanya akan terwujud bilamana bangsa Indonesia mau jujur pada diri sendiri.

Apa yang telah menjadi prinsip TNI dan masyarakat yang mencintai Pancasila dan UUD 1945 sudah berada pada track yang benar. Ini adalah barometer dalam memandang dan berbuat. Di luar itu, berbahaya karena hanya akan menciptakan pertikaian terus-menerus. Bangsa Indonesia harus tegas dengan menghargai Pancasila dan UUD 1945 sepenuh jiwa. Ini harus terlaksana agar apa yang telah disepakati bersama tidak menjadi sumber kutukan bagi bangsa Indonesia. Sama halnya dengan seorang individu yang telah berikrar mensepakati sebuah perjanjian lalu diingkari, maka individu yang melakukannya tersebut sulit menemukan pijakan bagi kebahagiaan hidupnya.

Seolah seperti itulah perjalanan bangsa Indonesia. Bangsa ini telah bersusah payah menemukan kata sepakat untuk menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber nilai namun dalam kenyataanya banyak yang tidak dijalankan. Semestinyalah Pancasila dan UUD 1945 itu dapat menjadi penyaring dalam rangka berbuat menentukan arah perjalanan bangsa.

Tak patut rasanya bangi generasi bangsa ini menjadikan tokoh-tokoh sosialis-komunisme dan kapitalis sebagai panutan dan dicontoh. Kalau hanya sebatas dijadikan sebagai pisau analisis dalam paradigma kritis transformatif tentu sah-sah saja. Tapi, jika kemudian dikembangkan menjadi gagasan utama dan gerakan serupa, tentu tak elok karena Pancasila satu-satunya alasan mengapa bangsa ini berdiri tegak. Lalu dari mana inspirasi didapatkan? Jawabannya, dari para founding fathers yang telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Terakhir, mari kita bangkit dengan cara kembali pada kemandirian bangsa Indonesia.

Penulis: Ahmad Efendi, Komunitas Bale Tulis / Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 56