Berita Utama

Benarkah Trisakti Pusat Gerakan Mahasiswa 98?

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mei adalah bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia dan pergerakan mahasiswa. Pada bulan Mei, berbagai peristiwa bersejarah terjadi. Pada 12 Mei, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie yang kesemuanya tercatat sebagai mahasiswa Trisakti tewas menyusul peluru yang bersarang di tubuh mereka.

Insiden penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 silam masih menyisakan sejumlah pertanyaan kritis apa motif di balik aksi penembakan tersebut. Ada yang menyebut hal itu bermula dari kesalahan-pahaman antar aparat dan mahasiswa. Namun tetap saja, penembakan itu berakibat fatal.

Baca: Tragedi 12 Mei 1998: Tewasnya 4 Mahasiswa Trisakti dan Hilangnya Aparat Kepolisian

Kala itu, sedikitnya 6.000 mahasiswa melakukan demonstrasi di kawasan Grogol, Jakarta Pusat. Awalnya, demonstrasi yang juga melibatkan dosen, pegawai, dan alumnus universitas berlangsung damai. Tuntutannya dua, yakni reformasi politik dan perbaikan ekonomi.

Kedua isu ini, terutama soal ekonomi oleh sebagian pihak dinilai bentuk serangan asimetris (non-militer) terhadap Indonesia. Dan kebetulan, secara politik sistem pemerintahan di masa Orde Baru cenderung otoriter. Sehingga, kedua isu itu saling menopang, dan puncaknya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 silam.

Dalam bukunya berjudul ‘Komitmen dan Perubahan, Suatu Persepsi dan Perspektif‘, Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin mensinyalir krisis di Indonesia terlihat bernuansa terencana, matang, gradual, konsisten serta berlanjut di samping mempunyai sifat mematikan.

“Efek berantai dari turunnya nilai rupiah terhadap US Dollar sejalan dengan kepentingan politik serangan, di mana secara perlahan dan pasti diakomodasi oleh pemerintah. Namun hal ini tidak mengabaikan keuntungan besar yang diperoleh pelaku yang merekayasa nilai tukar tersebut,” tulis Sjafrie seperti dikutip redaksi, Minggu (21/5/2017).

Menurutnya, korelasi nyata ditunjukkan oleh pernyataan Menlu AS, Madeleine Albright pada pertemuan dengan para Menlu di Malaysia pada kuartal ketiga tahun 1997 silam. “Yang isinya bernada negatif terhadap pemerintahan di Asia yang dianggap menjalankan politik otoriter dan tidak disukai oleh Amerika,” tambahnya.

Baca Juga:  Menang Pilgub Jatim, LuMan Siapkan Dokter Keliling Untuk Rakyat

Ditambahkan, indikasi krisis Asia dikaitkan oleh situasi negara yang bersangkutan. Pada saat itu, kata dia, krisis memiliki warna politik yang didominasi oleh isu kepentingan nasional Amerika dalam menjalankan kebijakan luar negeri tentang HAM, demokrasi dan pasar bebas. “Situasi tersebut menimbulkan implikasi-implikasi baik yang langsung kepada bidang moneter, maupun yang bersifat lanjutan pada tatanan politik ekonomi,” tegasnya.

Krisis moneter segera menjadi isu utama. Pasalnya, ketahanan ekonomi Indonesia di bidang moneter hancur karena nilai ekonomi Indonesia yang direfleksikan dalam nilai tukar menjadi tidak berarti. Akibatnya, muncul krisis ketidakpercayaan mulai dari investor hingga masyarakat luas, termasuk elemen mahasiswa dan kaum akademisi.

“Berbagai informasi negatif yang bersumber pada persoalan laten mencuat dan secara perlahan bertransformasi pada isu baru, yakni isu reformasi,” lanjutnya.

Sjafrie menuturkan, penangkalan terhadap serangan moneter tidak tersentuh esensinya. Justru sebaliknya, esensi masalah moneter beralih kepada penggalian problematik masalah nasional yang terpendam dan bernuansa pada isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selanjutnya, isu-isu tersebut menjadi solid dan mengkristal serta terfokus pada pimpinan nasional. Masalah moneter telah mengimbas pada masalah politik ekonomi, dan pada puncaknya di mana saat itu seluruh sistem kenegaraan bertumpu pada figur kepemimpinan nasional.

Pidato tahunan State of Union Amerika, Bill Clinton pada 27 Januari 1998 adalah jawaban kongkret dan gamblang dugaan suatu konspirasi kepentingan negara besar dalam krisis di Indonesia waktu itu. Pidato tersebut berbunyi ‘…. Tidak ada bangsa manapun di dunia yang mampu bangkit dari krisis ekonominya bila tidak mengadakan reformasi’.

Walhasil, lima bulan kemudian gerakan reformasi politik dan ekonomi itu pun berlangsung ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, tepat 19 tahun silam.

Baca Juga:  Dukungan Total, Warga Surabaya Timur Doakan Cagub Risma Menang Pilgub

Terlepas dari itu, tahun 1997-1998 adalah masa transisi dari Orde Baru ke masa reformasi. Kerusuhan Mei 1998 yang bermula dari insiden penembakan empat mahasiswa Trisakti merupakan titik balik bergulirnya aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah. Kendati sebagian pihak menampik, tapi pada kenyataannya itulah awal mula pecahnya aksi demonstrasi besar-besaran yang selanjutnya menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Menurut Brigjen TNI (Purn) Hazni Harun dalam bukunya ‘Anak Kampung Jadi Tentara‘, seperti dikutip redaksi mengatakan, setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998 situasi politik dan keamanan nasional semakin tegang. “Gagal pengerahan massa ke Monas, mahasiswa menduduki Gedung MPR dan DPR. Pimpinan DPR terpaksa memenuhi memenuhi tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Akhirnya, untuk menghindari korban di kalangan mahasiswa dan rakyat, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dan diganti oleh Wakil Presiden BJ Habibie,” kenang Mazni dalam tulisannya.

Baca: Tragedi Trisakti: Reformasi Tersandera Oleh Anasir Politisi Busuk

Lebih jauh, pasca reformasi tak sedikit eks aktivis 98 yang menampik kalau Trisakti dikatakan sebagai penggerak awal aksi demonstrasi kala itu. Salah satunya mantan aktivis 98 dari Yogyakarta, Zastrow El Ngatawi. Dalam sebuah wawancara singkat, pria yang akrab disapa Kang Zastrow mengatakan bahwa sebelum peristiwa Trisakti pecah, tanggal 5 Mei sudah ada aksi besar-besaran di Yogyakarta. Kemudian tanggal 8 Mei, dilanjutkan aksi di beberapa tempat seperti bundaran UGM, Beulevard UKDW dan beberapa kampus di Yogyakarta lainnya.

Menurutnya, kampus Trisakti bukanlah kampus yang memulai gerakan dalam menjatuhkan Soeharto. Karena sebelumnya di beberapa daerah sudah melakukan aksi serupa. “Dalam momentum reformasi, Trisakti itu hanya jadi trigger atau peletup momentum aja,” kata dia, Jumat (12/5).

Pengakuan serupa juga datang dari mantan aktivis 98 asal Yogyakarta, Abdur Rozaki. Menurutnya, peristiwa Trisakti merupakan trigger (pemantik) dalam mempercepat radikalisasi gerakan mahasiswa dalam proses menurunkan Soeharto. Peliputan media yang eksesif dan masif terhadap peristiwa Trisakti semakin memantik rasa solidaritas yang kuat antar lintas mahasiswa. Alhasil, aksi kian meluas hingga di berbagai kampus-kampus di Jakarta dan di luar Jakarta.

Baca Juga:  Menang Pilgub, Risma Ancang-ancang Ngantor Keliling di Wilayah Jatim

Bulan Mei, kata dia, ampir setiap hari terjadi aksi di berbagai kampus di Yogyakarta. Khususnya di IAIN Sunan Kalijaga, UGM, UII, Janabadra dan ISI. Gerakan mahasiswa meminta MPR agar segera melakukan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto atas krisis ekonomi yang terjadi saat itu.

“Ada banyak titik aksi saat itu. Yang utama justru di Gedung Parlemen, tragedi Trisakti makin memperluas sentra gerakan mahasiswa di semua titik di Jakarta. Peningkatan koalisi antar kantong gerakan mahasiswa makin kuat, baik itu organisasi formal seperti Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta (FKSMY) dengan organisasi ekstra parlementer lainnya,” terang Rozaki, Jumat (12/5).

Baca juga: Menolak Lupa Trisakti, Aktivis Harus Luruskan Arah Reformasi

Terlepas dari itu, insiden penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 silam merupakan peristiwa paling diingat oleh publik. Sebab, tragedi nahas itu berbuntut panjang. Sehari setelah insiden, tepatnya 13-14 Mei 1998, timbul kerusuhan massal di Jakarta yang mengakibatkan kerusakan di berbagai bangunan dan infrastruktur. Dan sejak saat itu situasi sosial-politik nasional semakin tegang dan gawat. Bahkan, akibat tekanan massa anggota Kepolisian Polda Metro sebagian besar meninggalkan pos dan wilayah tanggungjawab mereka. Akibatnya, terjadi kekosongan aparat keamanan di sebagian wilayah Jakarta. Untuk menjaga keamanan di Markas Polda Metro dilaksanakan oleh satu Kompi Pasukan Kostrad atas permintaan Kapolda Metro kepada Pangdam Jaya.

Dan puncak dari situasi gawat tersebut adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 35