NUSANTARANEWS.CO – Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, kasus tindak pidana narkotika sangat berhubungan erat dengan pencucian uang. Praktek pencucian uang dilakukan lewat berbagai cara untuk menghapus jejak uang hasil kejahatan narkotika, salah satunya membuat perusahaan penukaran uang (money changer).
Kepala BNN, Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas ini mengatakan, penyelundupan narkotika dan psikotropika dari negara lain ke Indonesia marak menjelang tahun baru.
Untuk itu, BNN menggandeng Direktorat Jenderal Bea dan Cukai , TNI/Polri, serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk meningkatkan pengawasan.
“Kami kerjasama dengan PPATK untuk menindaklanjuti TPPU dari hasil kejahatan narkotika. Karena baru-baru ini kami mengungkap TPPU dari hasil narkotika senilai Rp 3,6 triliun,” jelas Buwas di kantornya, Cawang, Jakarta, yang ditulis Sabtu(19/11/2016).
Dari jumlah tersebut, diakuinya, senilai Rp 900 miliar berhasil diselamatkan karena masih ada di Indonesia, berupa uang dan aset, seperti bangunan. Sementara sisanya Rp 2,7 triliun sudah dikirim ke luar negeri atau disetor ke bandar narkoba.
Di Indonesia, kata Buwas, terdapat 72 jaringan internasional narkotika yang beroperasi. Menurutnya, jika satu jaringan atau sindikat ini menghasilkan pundi-pundi uang hingga Rp 1 triliun per tahun, maka belanja atau pengeluaran untuk narkotika sebesar Rp 72 triliun.
“Nilai transaksi yang sangat menggiurkan, tapi ini belanja yang membunuh generasi bangsa dan negara kita. Ancaman juga buat generasi Indonesia karena satu nyawa manusia tidak bisa diukur dengan uang,” tegas Buwas.
Lebih jauh Buwas menjelaskan, kegiatan impor narkotika biasanya didanai dari jaringan internasional. Mereka mengirimkan barang haram ini ke Indonesia, kemudian dijual oleh jaringan di Tanah Air.
“Dari hasil penjualan narkotika, uangnya bisa dicuci di sini. Caranya, bikin perusahaan atau money changer yang bisa mengubah rupiah kevaluta asing (valas),” ujarnya.
Setelah itu, diakui Buwas, pelaku TPPU ini bekerjasama dengan oknum lain untuk membuat invoice palsu, di mana seolah-olah ada impor barang yang notabene-nya tidak ada.
“Minta persetujuan Bank Indonesia, dan sama oknum ini disetujui. Hasil pencucian tadi jadi valas lalu ditransfer ke bandar. Hampir setiap jaringan narkotika menghasilkan uang pasti yang nilainya fantastis, makanya kerjasama dengan PPATK untuk mendalami transaksi mencurigakan,” pungkas dia. (Andika)