Sudah Sangat Lama
sepertinya ini sudah sangat lama. Tak ada bekas tanda mata pernah memandang. Nama jalannya sudah berubah, pepohonan kedondong tak sebatang pun tersisa, bahkan peluk pun entah di mana? Hanya rumah tua itu yang makin bongkok dan tetap tak berpenghuni, tempat dulu kita berteduh dari hujan amuk badai hampir lima jam. Lima jam, sayang.
sepertinya ini sudah sangat lama. Perjumpaan sekaligus perpisahan yang tak mengenal kata temu apalagi kembali. Rindu telah lelah tanpa kutahu di mana dikau? Ratusan surat-surat dikirim pada alamat yang kau berikan, tak jua sekalipun berbalas. Tukang pos tersenyum saban kutuliskan namamu sebagai tempat tujuku. Tatapnya lirih, perih di hatiku.
sepertinya ini sudah sangat lama. Menunggu kabar yang tak jua nyata, mirip mengharap hujan menurunkan bidadari di lengkung garis pelangi. Di rumah seorang gadis terjuntai janur, melengkung seperti hati yang mulai condong. Sebab, ini setelah dikau tak tahu di mana? Tetapi aku telah mengirimkan kata maafku di rumah tua itu. Sudah sangat lama
Indramayu, 2018
Rahim Hujan
hujan memberikan rahim bagi pepohonan. Melahirkan
batang-batang yang tumbuh subur berbuah lebat
lagi lezat. Dipetik berkali tak jua mati
apakah padamu rahim hujan seperti burung
hud-hud. Mengabarkan sebuah harapan yang akan lahir
menjadi benih. Membesarkan kebesaran tuhan
tetes hujan mengalir menuju laguna. Bercampur baur
menyarikan sari pati kehidupan. Rinai-rinainya
menjadi lagu yang menyatukan mozaik lama
pada setiap tetesan hujan kita dipertemukan
dengan iringan bunyi-bunyian dari langit. Di bawah kubah
biru yang menaungi tanganku memelukmu
Indramayu, 2018
Bandar Cimanuk
pulanglah engkau ke badan dermaga
seperti anak-anak memeluk bunda
merapat kehangatan dengan cinta
kapal-kapal berpeluk manja
selama laut utara jawa bergelora
angin teman menyeberang benua
negeri bahari kemilau menjura
bandar cimanuk kemana dibawa
dirajah kerinduan pada bahtera
hilir-mudik menggeliat senja
kota dibangun permai raya
bersama berdiri sunda kelapa
cimanuk riwayatmu menderas asa
mengalir kerinduan sampai ke muara
bandar berpeluh berkeringat cahaya
lautnya menari berombak pesona
kapan tiba masa berjumpa
bandar cimanuk kembali berjaya
di kejauhan tampak lampu menyala
tiang-tiang kapal tegak mananda
Indramayu, 2018
Faris Al Faisal lahir dan tinggal di Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), dan Novelet Bingkai Perjalanan LovRinz Publishing (2018) sedangkan karya non fiksinya yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).
Puisi, cerma, cernak, cerpen dan resensinya tersiar berbagai media cetak dan online seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia, Republika, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Radar Cirebon, Radar Surabaya, Radar Sulbar, Radar Banyuwangi, Media Jatim, Merapi, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Bali Post, Bangka Pos, Magelang Ekspres, Malang Post, Solopos, Suara NTB, Joglosemar, Tribun Jabar, Tribun Bali, Bhirawa, Koran Pantura, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Fajar Makasar, Serambi Indonesia, Majalah Simalaba, Majalah Hadila, Majalah Suara Muhammadiyah, Tabloid Nova, IDN Times, Sportourism.id, Puan.co, Nyontong.Com, takanta.id, Jurnal Asia, dan Utusan Borneo Malaysia.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]