NUSANTARANEWS.CO, Nunukan – AMAN Kaltara minta PT. KHL penuhi kewajiban kemitraan dengan masyarakat. Seringnya terjadi sengketa terutama terkait lahan antara investor dengan masyarakat mengundang keprihatinan dkari berbagai pihak. Dan apabila benang kusut pernasalahan tersebut tak dapat diurai, bukan tidak mungkin potensi konflik yang berimbas pada kerugian bersama akan terjadi
Hal tersebut diungkakan Ketua Dewan Pimpiinan Wilayah (DPW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Utara (Kaltar), Yohanes terkait sengketa antara PT. Karang Djoeang Hijau Lestari (KHL) dengan masyarakat di wilayah Sebuku, Nunukan, Kaltara, Sabtu (13/2).
“Sengketa seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Karena salah satu tujuan diberikanya ruang kepada perusahaan untuk berinvestasi adalah agar terjadi simbiosis mutalisme dengan masyarakat setempat,” Sabtu (13/2).
Yohanes mengungkapkan, sengketa yang kerap terjadi sebagian besar karena permasalahan lahan, yang menurutnya disebabkan oleh masyarakat yang merasa dirugikan, padahal dalam MoU kedua belah pihak telah diatur sebelum investasi dimulai
“Namun karena masyarakat tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang disepakati dalam MoU, maka masyarakat menuntut haknya. Dari hal ini saja sebenarnya sudah bisa diurai benang kusutnya,” ungkapnya
Yohanes mengingatkan bahwa Perusahaan Perkebunan yang mengajukan Izin Usaha Perkebunan dengan luas 250 (dua ratus lima puluh) hektar atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (plasma) dengan luasan paling kurang 20% (dua puluh per seratus) dari luas areal yang dimilikinya
Kebun masyarakat yang difasilitasi pembangunannya tersebut berada di luar areal izin yang dimilikinya, yang dilakukan dengan memanfaatkan kredit, bagi hasil dan/atau bentuk pendanaan lain sesuai dengan kesepakatan dan peraturan perundang-undangan
Yohanes menjelaskan, ketentuan pelepasan 20 persen lahan oleh perusahaan perkebunan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Ketentuan tersebut diperkuat lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
“Tapi yang saya lihat hingga saat ini PT KHL sangat tidak maksimal dalam memegang komitmenya. Terutama tentang kewajiban perusahaan melepaskan 20 persen lahan dari inti plasma itu. Oleh karena itu kami minta PT KHL untuk dapat memenuhi kewajiban dalam kemitraan sudah disepakati dari awal,” ujarnya
Yohanes juga mengingatkan Kemitraan tersebut dilakukan berdasarkan pada asas manfaat dan berkelanjutan yang saling menguntungkan, saling menghargai dan saling bertanggung jawab.
Sehingga atas dasar tersebut Yohanes mempertanyakan sikap PT KHL yang menempuh jalur hukum dengan melaporkan 17 warga yang memanen buah sawit dari plasma atas dugaan pencurian
“Menempuh jalur hukum memang baik. Tapi jika salah satu asaz kemitraan adalah saling menghargai, tentu melaporkan warga ke kepolisian adalah sebuah tindakan yang tidak tepat. Untuk itu kami minta PT KHL mencabut laporan tersebut,” jelasnya.
Sebelumnya, Sebanyak 17 warga adat di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan dilaporkan PT Karangjuang Hijaulestari (KHL) ke Polres Nunukan, dengan tudingan melakukan pencurian buah sawit.
Senada dengan Yohanes, Direktur Yayasan Pelestari Lingkungan Hijau (PLH) Kaltara, Niko Ruru sebagaimana dilansir dari website resmi PLH berharap, masyarakat adat yang dituding melakukan pencurian buah sawit tidak diperlakukan sebagai kriminal yang penyelesaiannya harus melalui aparat keamanan.
Dia mengatakan, hak guna usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit PT KHL berada di wilayah adat, tempat mereka tinggal dan bercocok tanam.
“Berbeda kasusnya kalau yang melakukan pencurian adalah orang dari luar desa itu. Ini kasusnya kan, mereka tinggal dan berusaha di tanahnya. Mereka sudah ada di sana sebelum negara ada,” ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi seperti ini tidak tepat membawa kasus tersebut ke ranah pidana. Melainkan menyelesaikan persoalan ini dengan melihat akar masalah sebenarnya.
“Akar masalahnya perizinan. Ketika ada konflik agraria seperti ini, penyelesaiannya adalah review perizinan dan kewajiban perusahaan perkebunan. Bukan membawa kasus ini ke pidana,” ujarnya. (ES)