Altruisme Ternyata Membuat Seseorang Bertahan Dalam Hubungan Tidak Bahagia

Altruisme Ternyata Membuat Seseorang Bertahan Dalam Hubungan Tidak Bahagia. (FOTO: Dok. The Independent)
Altruisme Ternyata Membuat Seseorang Bertahan Dalam Hubungan Tidak Bahagia. (FOTO: Dok. The Independent)

NUSANTARANEWS.CO – Ketika sebuah hubungan mulai menjadi tidak menyenangkan, itu tidak sesederhana menghentikan langkah kaki. Kendati demikian, ada baiknya untuk bertahan sejenak dalam situasi seperti itu. Sebab, tidak selamanya hubungan Anda dengan pasangan Anda senantiasa baik-baik saja.

Bertahan dalam hubungan yang tidak menyenangkan barangkali terdengan naif, sia-sia dan terkesan bodoh. Memang itu bukan hal yang biasa dan sekarang ada alasan ilmiah mengapa hal ini terjadi.

Baca Juga:

Dikutip dari The Independent, para peneliti di University of Utah mengklaim bahwa orang-orang tetap dalam hubungan romantis yang retak karena mereka merasa orang lain terlalu bergantung pada mereka, membuat mereka merasa tidak bisa keluar begitu saja dari altruisme. Anda tahu altruisme?

Altruisme berasal dari kata Perancis, autrui, yang berarti “orang lain.” Jadi, altruisme ini merupakan kualitas yang dimiliki seseorang yang hanya fokus pada selain dirinya. Altruisme terjadi saat kita bertindak untuk membantu kesejahteraan orang lain, walau berisiko atau mengorbankan diri kita sendiri.

Kembali pada pokok bahasan, penelitian sebelumnya telah menghubungkan bertahan dengan hubungan yang tidak bahagia dengan kebutuhan yang mementingkan diri sendiri, seperti tidak ingin sendirian atau takut mereka tidak akan menemukan pasangan lain.

Namun, temuan baru ini mengungkapkan bahwa orang-orang sebenarnya lebih berempati ketika harus mempertimbangkan perpisahan.

Hasil penelitian yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology ini mengungkapkan, bahwa semakin seseorang mengantungkan diri mempercayai pasangannya, maka kian kecil kemungkinan mereka untuk berpisah, yang pada akhirnya menunjukkan bahwa orang-orang tetap berada dalam hubungan yang tidak memuaskan demi kepentingan pasangan mereka daripada kebutuhan mereka sendiri.

Sekadar diketahui, penelitian ini dilakukan dalam dua studi terpisah; pertama melacak 1.348 orang dalam hubungan romantis selama 10 minggu dan kedua meneliti 500 orang selama dua bulan, dimana mereka menimang-nimang untuk berpisah.

“Ketika orang-orang menganggap bahwa pasangan itu sangat berkomitmen terhadap hubungan itu, mereka cenderung memilih untuk putus,” kata asisten profesor psikologi di Universitas Utah, Samantha Joel yang berperang sebagai penulis utama penelitian ini.

“Ini benar bahkan untuk orang yang tidak benar-benar berkomitmen pada hubungan itu sendiri atau yang secara pribadi tidak puas dengan hubungan itu. Umumnya, kami tidak ingin menyakiti mitra kami dan kami peduli tentang apa yang mereka inginkan,” lanjutnya.

Kendati demikian, Joel juga menunjukkan bahwa kadang-kadang persepsi seseorang tentang kebutuhan pasangannya bisa salah arah, yang dapat merusak validitas temuannya.

“Bisa jadi orang itu melebih-lebihkan seberapa besar komitmen pasangannya dan betapa menyakitkan perpisahan itu,” ungkap Joel.

Simak:

Terlepas dari apa yang dituntut oleh penelitian ini, psikolog kencan Madeleine Mason Roantree, yang berurusan langsung dengan pasangan di ambang kehancuran, berpendapat bahwa rasa takut hidup sendirian adalah alasan paling umum untuk bertahan dalam hubungan yang buruk.

“Orang lain mungkin hanya menyangkal tentang warna sejati dari pasangan atau sifat hubungan mereka,” kata Madeleine Mason Roantree.

“Alasan lain mungkin adalah mereka percaya bahwa mereka gagal jika mereka meninggalkan hubungan dan berpikir mereka akan kehilangan muka dengan melakukan itu,” imbuhnya kepada The Independent.

Penulis: Mugi Riskiana
Editor: Achmad S.

Exit mobile version