KolomOpini

Akuntabilitas Pemilihan Pemimpin Dalam Islam

Sosok Pemimpin Sejati "Nabi Muhammad". (Ilustrasi: NUSANTARANEWS.CO)
Sosok Pemimpin Sejati “Nabi Muhammad”. (Ilustrasi: NUSANTARANEWS.CO)

Oleh Ainul Mizan*

NUSANTARANEWS.CO – Memilih pemimpin merupakan sesuatu yang penting. Manusia itu adalah makhluk sosial yang membutuhkan untuk berinteraksi satu sama lain. Memenuhi kebutuhan hidup menjadi alasan yang dibenarkan untuk berinteraksi. Tentunya dalam berinteraksi rentan terjadi friksi – friksi di antara masing – masing orang. Menyelesaikan persengketaan dan menyatukan pandangan di antara alasan untuk memilih pemimpin.

Bahkan Rasulullah SAW menekankan bahwa ketika ada tiga orang bepergian, wajib salah satunya menjadi pemimpin rombongan. Maka lebih utama lagi bila di sebuah bangsa dan negara, terdapat seorang pemimpin.

Islam sendiri sebagai agama yang paripurna telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal memilih pemimpin. Islam telah menjelaskan secara terperinci dalam memilih pemimpin sebagai berikut ini.

Pertama, Pemberian baiat menjadi metode baku. Baiat merupakan sumpah setia terhadap pemimpin. Selanjutnya baiat sendiri dibagi menjadi dua ranah yakni ranah mengangkat pemimpin dan ranah ketaatan. Baiat ini merupakan amanah yang diambil pemimpin untuk menerapkan hukum Islam selama memerintah, dan jaminan ketaatan rakyatnya.

Kedua, Yang menjadi calon pemimpin bukanlah orang yang masih aktif menjabat sebagai pemimpin atau penguasa. Tentunya seorang calon pemimpin yang notabenenya masih aktif sebagai penguasa akan rentan mempengaruhi hasil pemilihan. Penguasa dalam hal ini berpotensi untuk melakukan kedholiman dan ia mampu mengarahkan opini kepada kepentingan – kepentingan tertentu. Hal demikian akan sangat berbahaya bagi obyektifitas arah politik dan penyelenggaraan pemerintahan ke depan.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Jadi penyelenggaraan pemilihan pemimpin baru hanya akan dilakukan tatkala pemimpin lama sudah tidak mampu melaksanakan amanah pemerintahannya. Usia yang sudah terlalu tua, sakit, meninggal dunia dan atau menjadi tawanan musuh, merupakan udzur – udzur yang menjadi indikasi bahwa ia tidak lagi mampu melaksanakan roda pemerintahan. Dengan demikian proses pemilihan pemimpin baru akan bisa berjalan dengan baik dan berlangsung secara adil.

Ketiga, Tidak ada yang namanya tim sukses. Calon – calon pemimpin memang adalah orang – orang terverifikasi dengan baik. Mereka sudah memenuhi syarat – syarat sebagai seorang pemimpin. Mereka adalah orang – orang Islam, berjenis kelamin laki – laki, akil baligh, orang merdeka bukan budak, dan memiliki kemampuan. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya tim sukses yang mempromosikannya dalam kampanye ke berbagai daerah. Baik dalam bentuk pengerahan massa, maupun agitasi – agitasi yang menjual janji dan jargon kosong. Tidak sedikit dari mereka yang terbelenggu oleh janji – janjinya sendiri yang sebenarnya tidak bisa diwujudkannya saat berkuasa. Artinya janji  dan jargon yang dijualnya telah menjadi blunder politik.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Adanya tim sukses ini ikut memyumbangkan pembengkakan dana yang harus dikeluarkan oleh calon pemimpin. Endingnya bagi mereka yang dengan mulus melenggang menuju kursi kekuasaan, pertama kali yang difikirkannya adalah mengembalikan modal. Sedangkan bagi mereka yang gagal dalam meraih kursi kekuasaan, karena modal yang sudah dikeluarkannya sudah besar, tidak sedikit yang menjadi frustasi dan stress.

Di samping itu, adalah keharaman di antara sesama muslim saling menjatuhkan, mempersekusi, menghina dan bahkan mencemarkan nama baik masing – masing melalui gelaran – gelaran kampanye dan agitasi yang dilancarkannya.

Keempat, Waktu tenggang pemilihan adalah 3 hari dan 3 malamnya. Sungguh ketiadaan seorang pemimpin dalam komunitas manusia akan menimbulkan mudhorot yang besar. Bahkan para sahabat Nabi SAW lebih menyibukkan diri untuk memilih pemimpin sepeninggal Nabi SAW daripada mengebumikan jenazah suci Nabi SAW. Artinya mengangkat seorang pemimpin adalah kewajiban yang paling utama.

Kemudhorotan – kemudhorotan yang akan timbul dari tidak adanya pemimpin di antaranya adalah terjadinya perselisihan, persengketaan bahkan permusuhan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Begitu pula, sangat rentan untuk gampang diserang dan dijajah oleh musuhnya. Ibaratnya rakyat tanpa seorang pemimpin bagaikan anak ayam tanpa induknya. Tentunya akan bercerai berai dan menjadi lemah keadaannya.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Apalagi kalau hasil pemilihan baru akan diumumkan paling lama 35 hari sesuai dengan UU No.7 Tahun 2017. Tentunya akan berpotensi terjadi pembiaran kepada kemaslahatan rakyat yang harus segera ditunaikan.

Kelima, Hasil pemilihan mencerminkan kehendak rakyat. Dalam hal memilih pemimpin ini dilakukan oleh representasi dari umat melalui ahlul halli wal aqdi, baik dari perwakilan umat dari berbagai daerah yang merupakan putra – putra terbaik, maupun dari penduduk ibukota. Dengan demikian hasil pemilihan betul – betul didasarkan pada pertimbangan yang benar bukan pada psikologis massa yang terwujud di dalam kepopulisan.

Adalah hal yang masuk akal apabila dalam memilih hanya diberikan kepada mereka yang berkompeten dalam menentukan layak dan tidaknya seseorang memimpin. Dengan demikian tidak berlaku prinsip one man one vote, yang berpotensi tidak memanusiakan manusia sesuai dengan kapasitasnya. Tidak mungkinlah bisa disamakan antara orang yang baik dengan orang yang berperangai buruk.

Demikianlah paparan singkat mengenai pemilihan pemimpin dalam Islam yang akuntabilitasnya terjamin. Tidak lagi diributkan dengan hasil quick count, real count maupun exit poll.

*Ainul Mizan, seorang Guru. Tinggal Jalan Kanjuruhan IV Tlogomas Malang, Jawa Timur.

Related Posts

1 of 3,150