Cerpen Ongky Arista UA*
Meski berniat untuk lupa, aku tak bisa lupa pada jalan-jalan yang pernah aku lewati. Meski berkali-kali dalam waktu bersamaan aku mengingat sekaligus melupakannya. Meski sudah belasan kali kecelakaan dan hilang ingatan, ingatan tentang setapak jalan dan gang seenaknya menetap kepala. Aku tetap ingat gang-gang kecil menuju kota. Ingatan itu bagai sifat lupa yang melekat pada diri orang yang lanjut usia, kata dokter. Tapi hanya pada jalan, termasuk persimpangan-persimpangan jalan.
Dokterku tak dapat mendiagnosa apa yang terjadi pada ingatanku secara tepat. Dia hanya menanyakan, hal apa yang sering aku ingat sebelum kecelakaan merenggut ingatanku untuk yang kelimabelas-kalinya.
“Menghafal jalan dan gang,” aku hanya menjawab itu.
“Untuk apa?” Tanyanya setelah memindahkan kursi yang dia dudukki lebih dekat ke depan kursiku, di ruangan si ibu cantik.
“Untuk diingat,” jawabku singkat.
Aku perhatikan raut muka dan cara ia bertanya. Sepertinya ia sangat penasaran padaku. Ia bertanya hampir semua hal berhubungan dengan ingatanku. Aku tak menjawab semua tanyanya yang begitu banyak dan rinci.
“Untuk apa mengingat itu?” tanyanya mengulang, menekan, meminta jawabku.
Dokter mengajukan tiga pertanyaan yang sama, penekanan intonasi tanya yang sama, sedikit berbeda kosa kata, intinya sama. Itu artinya ia memaksa, benar-benar ingin tau sesuatu dariku. Aku biarkan saja. Aku tak menjawabnya. Aku tak suka dipaksa-paksa.
Setelah hari itu, aku lupa nama harinya, dokter memperbolehkanku pulang dari rumah berbenah ingatan, tapi dokter cantik itu tidak membiarkanku lepas dari banyak pertanyaan. Dia mengantarku pulang ke rumah dengan mobil yang lupa aku ingat nopol dan jenisnya, mirip ambulan. Aku pikir, ini sudah di luar tugas dokter bagi pasien yang sudah diperbolehkan pulang. Dia bertamu ke rumah, sepertinya sudah diniatkan.
“Ini menarik, baru kali ini terjadi amnesia semacam ini. Dalam sejarah penelitian pada amnesia, ingatan manusia seharusnya hilang semuanya. Terhapus. Meski tersisa tapi tidak utuh, hanya retakan kecil-kecil saja dan sulit diingat,” jelasnya memberitahu keingintahuannya.
“Saya bersyukur dokter, saya tidak perlu banyak mengeluarkan biaya pengobatan dan tidak membuat orang tua saya khawatir berlebihan,” kutanggapi penjelasannya dengan ringan-ringan saja.
“Bukan itu maksudku.”
Dia berusaha menjelaskan yang lain, menunjukkan skema dan diagram susunan otak manusia. Menjelaskan bagian-bagiannya yang tidak aku pahami. Dia bersikukuh ingin mengetahui alasan mengapa aku masih mengingat jalan dan gang. Aku sendiri tak betul-betul paham, apa yang dia inginkan pada jawabanku andainya aku bisa menjawabnya.
Dia menjelaskan kalau otakku aneh. Perlu diteliti. Otakku terlatih mengingat dan fokus membentuk satu garis. Hanya saja dia ingin mencari tau, bagaimana otakku bisa sedemikian. Ia seorang dokter yang mudah ingin mengetahui banyak hal.
Aku tak banyak paham penjelasannya yang panjang sekali, yang jelas, seandainya aku jawab, dia tak akan percaya apapun. Aku alihkan perbincangan kami saat itu hingga akhirnya dia menyerah dan berhenti menanyaiku lalu berpamitan.
“Otakmu terkendali. Otak adalah hal besar dalam sejarah manusia yang bertugas menyimpan. Otakmu menyimpan hal dengan baik,” salamnya menutup jumpa waktu itu.
***
Gadisku seorang pedagang asongan kota. Tempat tinggalnya aku lupa. Orang lupa memang tak dapat dipaksa sedikitpun untuk ingat. Aku hanya ingat sedikit, gadisku mondar-mondar keluar masuk gang dan jalan-jalan tikus kota yang terhampar dari barat ke timur.
Gadisku sudah berganti sebanyak lima belas kali. Artinya, aku sudah pernah pacaran dengan lima belas gadis berbeda. Entah karena apa aku tak tau, kelima belas gadisku semuanya pedagang asongan dan selalu memintaku menghafal gang dan banyak jalan. Itu sungguh mengerikan, otakku penuh dengan gang dan jalan. Jika aku tak menghafal jalan itu, aku terancam diputusin, dan itu lebih mengerikan lagi.
Sebelum bulan ini, kami memang tidak bertemu, lalu aku kecelakaan. Ingatanku buyar, tapi tidak pada gang dan jalan. Aku bisa ingat jalan mana yang ia lalui pulang dan pergi. Aku mengingatnya dengan baik. Aku menjamin diriku lebih pandai dari aspal yang menjadi jalan raya dan jalan setapak di gang-gang bersimpangan.
Aku berniat pergi menemui seorang gadis hari itu. Rinduku ada di sana, di gadis itu, ingin segera, secepat mungkin aku jemput. Aku tak mau datang terlambat dan rindu semakin berkelebat. Aku yakin dia bisa menerima kedatanganku, aku telah menyiapkan ingatanku.
Aku keluar dari sebuah rumah pagi itu dengan mengayuh sepeda tua peninggalan kakek, katanya, menuju arah timur, menulusuri jalan-jalan tikus dan gang-gang kecil seputar kota di mana ia biasanya berada, berdiri dan berteriak menjual dagangannya.
“Rokok Pak, Nasi Bungkus!” Ingatku, jika tidak salah.
“Stop!” cegat seorang gadis dari belakang di tengah perjalananku memutar-mutar puluhan kali di gang-gang kota.
“Kau mencariku?”
“Siapa kamu?” tanyaku santai sambil membalikkan badan ke arah barat, arah matahari sore. Sinarnya menyergap bola mata, membuatku tak jelas melihat gadis yang sedang berdiri memegang sepedaku dari belakang.
“Minggir dulu, kita duduk di sana,” ajaknya, menarik sepedaku menuju sebuah kursi di depan toko kecil, kiri jalan. Aku pun mengiyakannya, mengikuti langkah gadis itu.
“Kau masih ingat jalan-jalan tikus dan gang-gang yang aku minta untuk dihafalkan?” tanyanya sambil melihat ke arah mataku.
“Masih ingat?”
“Iya, tentu,” jawabku spontan.
“Jalan anggrek no 2, menuju swalayan, ada perempatan kecil sebelumnya, lalu ada gang kecil di sebelah utara dan baratnya, ada sungai kecil di dekat gang sebelah utara, tempat orang buang sampah, ada jembatan melintang menghubungkan utara dan selatan di sana, lalu ada jalan-jalan tikus dari barat ke timur menuju sekolahan, tempat anak muda menghindar dari polisi, dan di barat jalan itu, seorang gadis, kekasihku selalu lewat dan muncul di depan sana,” tunjukku ke sebuah gang.
“Di jalur sana?” tangannya menunjuk ke arah timur dari tempat duduk kami.
“Iya ingat, di sana ada 10 gang, 17 jalan kecil, ada 7 perempatan dan 7 pertigaan. Pertengahannya adalah sebuah gardu kecil di dekat masjid, tempat aku biasanya shalat dhuhur.”
“Bagus,” ujarnya lalu pergi tanpa berpamitan mau ke mana. Aku tak mencegatnya, karena aku tak mengenalnya.
Ia mengingatkanku pada gadis yang aku rindu, teringat dengan sungguh. Ingatanku tentang jalan dan gang membawa ingatan yang lain, yang tak dapat berlalu begitu saja. Rindu telah menghantam dada. Aku terpaksa bangkit dengan ingatan dan rindu padanya. Aku mengayuh sepeda, kembali menyusuri setapak aspal dan paving sempit, berharap jumpa dengan gadisku demi melepas rindu.
Aku mencari rindu.Terus mengayuh sepeda sekuat tenaga. Berharap aku bertemu dengan dia, tempat rinduku bersemayam, entah di mana, aku hanya mencari, berusaha. Keringat tak kurasa tiba-tiba mengalir begitu saja, pertanda badanku sudah bekerja keras untuk mencari rindu.
Rindu memang sedikit menyiksa dan tak pernah selesai menjerat dada. Ia hilang saat bersama, berjumpa, tertawa dan bahagia, lalu rindu mendadak tiada, menjelma rasa lain yang lebih indah. Tiba-tiba rindu muncul kembali di dada, berulangkali datang, tetap menjadi rindu meski berbeda waktu dan rasa. Rindu selalu membuat cerita cinta tak selesai-selesai, tak tamat-tamat.
Arah timur hampir aku selesaikan. Aku mengais-ngais gadis-gadis di lorong sana. Kemudian memperbesar objek di mata saat ada gadis mencurigakan di depan sana, sejauh mata memandang. Sudah beberapa kali aku turun dari sepeda, lalu menanyai gadis yang aku curigai sebagai kekasihku. Mereka semua menjawab tak kenal padaku. Tak mungkin aku tanyai semua orang yang kutemui hanya demi satu orang.
Aku berhenti di sebuah gardu untuk mengobati lelah dan kebingungangan. Rindu mulai tak jelas wujudnya, semakin mendekam jiwa, menjadi sedikit kosong tak terisi apa-apa bagai di penjara. Itu penjara kerinduan, menyiksa batin, mengurung rasa.
Bagaimana aku bisa menemukan kekasihku, tanyaku memasung pandangan kosong, melayang-layang putus entah ke mana. Aku menangkap-nangkap wajah di kepala, tak mudah. Aku benar-benar lupa pada wajah kekasihku. Kecelakaan sungguh merenggut kekasihku, mati di ingatan. Aku sungguh tak ingat sedikitpun wajah kekasihku, ini sudah yang kelima belas-kalinya.
“Kemana dia?” tanyaku menyambungkan langkah kaki dan ingatan untuk selalu pergi mencari dari waktu ke waktu yang lain.
Apa yang hilang di ingatan akan menyebabkan semua kenyataan yang pernah terjadi, diingat, dijalani lenyap begitu saja. Aku menyesal hanya mengingat gang dan jalan yang tak pernah penting. Mengapa aku tak mengingat wajahnya saja saat dia memintaku mengingat jalan dan gang. Andai waktu bisa kembali, membawa ingatanku, tentu rindu ini akan segera terselesaikan, sekarang juga, dan akan selalu selesai bila tak selesai-selesai pada waktu-waktu yang akan datang.
Aku hanya berusaha berjalan meski tak tau arah. Meski tak ingat apa-apa, tak ingat wajahnya. Aku juga memandang meski tak tau apa yang dicari. Aku juga berbicara meski tak tau apa yang harus ditanyakan. Ingatan yang hilang sungguh menyiksaku, membuatku hilang arah pada setiap langkah dan gerak-gerik waktu dan pikiran.
Aku hanya tau dan ingat, aku sedang amnesia. Rinduku, juga cintaku dititipkan di jalan dan gang. Merindu kekasih melalui ingatan tentang jalan dan gang tak membuat aku mampu melepas rindu begitu saja. Aku tak mengingat semuanya. Aku tak tau, apakah ia benar-benar telah tiada atau hanya tiada di ingatanku.
Hilangnya ingatan tentang gadisku serupa kematiannya. Aku tak tau seperti apa gadisku, tak bisa mengingat bagaimana dia. Andai dia datang padaku hari ini tentu aku tak akan merasakan apa-apa, hambar mungkin, karena aku tak ingat apa-apa, tak ada gambar di kepala tentang sesuatu yang nikmat dan segalanya yang telah dilalui bersama.
Ingatan yang hilang, serupa musnahnya segala hidup, termasuk musnahnya rasa, berakhirnya segala bentuk kenyamanan, ikatan rasa, segala kode-kode ingatan, terhapusnya data-data perjalanan hidup. Pada akhirnya pikiran kembali menjadi kosong, harus menginput banyak hal-hal yang baru, memulai kembali. Hilangnya ingatan ialah kematian sekaligus kehidupan baru bagiku. Sudah lima belas kali aku mati dan hidup dalam waktu bersamaan. Dari sini aku sadar, hidup tiada berarti tanpa ingatan.
Aku melangkah pergi dari gardu tempatku terpasung kosong di tengah malam setelah lelah menerjang paksa tubuhku, saat orang-orang tidur lelap bersama kekasihnya, saat petang mulai bermesraan dengan malam menua, saat ingatan menggelapkan segala cahaya, saat aku memutuskan untuk mengobati lelah melangkah tak tau arah, untuk sejenak.
Aku benar-benar pergi ke sebuah rumah, yang kata orang itu rumahku, kata seseorang yang mengaku ibu dan bapakku. Aku tak ingat siapa-siapa. Aku hanya bisa berpikir, sedikit saja, untuk tak bodoh dan tak sepenuhnya kosong.
Rumah selalu disebut tempat pulang. Bagiku ia tempat dimana aku mulai pergi memanjakan kaki. Aku pergi dari rumah menuju suatu tempat, dan dari suatu tempat aku pergi menuju rumah. Aku tak pernah berkata hendak pulang saat pergi menuju rumah. Aku menganggap rumah hanya tujuan pergi menitip lelah dan lelap, lalu pergi berulangkali pergi. Ini karena ingatanku lenyap tentang ‘pulang’, tertimbun kekosongan-kekosongan.
(Bersambung….)
Baca Juga:
- 5 Puisi Cinta Paling Menggairahkan Karya Rendra buat Sunarti
- Merinding, Ini Puisi-Puisi Kematian Karya Penyair Indonesia
- Enam Puisi Natal Penebar Damai di Bumi
Simak di sini: Puisi Indonesia
Ongky Arista UA, lahir 24 Juli 1994 di Desa Banbaru, Giliraje-Sumenep. Cerpennya, “Sumur Darah” meraih Juara II di ajang menulis cerpen bertema bebas Nasional oleh Forum Aktif Menulis Indonesia tahun 2017. Kini mukim di Somalang-Pakong, Dusun Barat Rt 001/Rw 001, Pamekasan. Facebook; Ongky Arista Ujang Arisandi.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com