NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menetapkan besaran upah layak jurnalis pemula di Jakarta pada 2018 sebesar Rp 7.963.949. Jumlah ini meningkat dibanding upah layak 2016 sebesar Rp 7.540.000 dan 2015 sebesar Rp 6.510.40. Secara umum ada kenaikan sedikit upah riil, tapi tetap di bawah standar upah layak.
Dari 31 media yang disurvei dan diverifikasi datanya pada Desember 2017, hanya Harian Kompas yang memberikan upah layak kepada jurnalis pemula. Harian terbesar di Indonesia itu memberikan upah kepada jurnalis pemula Rp 8,7 juta per bulan.
“Mengapa perusahaan media-media besarnya lainnya mengupah lebih kecil, itu perlu ditelusuri lebih lanjut dan mestinya jadi pertanyaan besar jurnalis di masing-masing media,” kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim seperti dikutip dari keterangan pers, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Upah layak yang dimaksud merupakan take home pay atau gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan yang diterima jurnalis pemula setiap bulan. Sedang jurnalis pemula merupakan reporter yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap atau masa kerja tiga tahun pertama.
Temuan lainnya, jurnalis pemula di BBC Indonesia menerima upah Rp 15 juta dan di Reuters Rp 12 juta setiap bulan. Walau keduanya bukan media nasional, dua media asing ini jauh lebih besar mengupah jurnalisnya dibanding perusahaan media besar di Indonesia, baik yang dimiliki keluarga maupun perusahaan publik (Tbk). Yang perlu dicatat, jurnalis di media asing telah memiliki pengalaman beberapa tahun di media nasional sebelum berpindah ke media asing.
Selain Harian Kompas dan dua media asing itu, upah jurnalis pemula berkisar dari Rp 3,1-6,4 juta. Kebanyakan media mengupah jurnalisnya sekitar Rp 4 juta. Beberapa media mengupah jurnalis pemula di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2017 sebesar Rp 3,35 juta. UMP DKI 2018 adalah Rp 3,64 juta. Mayoritas responden bekerja lebih dari 8 jam dan tanpa pernah mendapat uang lembur. Artinya, jurnalis dibayar rendah, jam kerja panjang, dan tanpa ada kompensasi apapun atas kelebihan jam kerja.
AJI Jakarta menyatakan jurnalis yang memperoleh upah secara layak bisa bekerja profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis dan media. Dengan begitu, upah layak akan meningkatkan mutu produk jurnalisme. Upah kecil kerap menjadi pemicu jurnalis menerima sogokan dari narasumber.
“Ini berbahaya bagi masa depan jurnalisme dan masa depan demokrasi di Indonesia karena berita yang dihasilkan dari jurnalisme amplop berpotensi menjadi racun bagi kebebasan pers,” kata Nurhasim.
Menurut Koordinator Survei Upah Layak AJI Jakarta Hayati Nupus, besaran upah layak tersebut diperoleh dari hasil survei sejumlah kebutuhan jurnalis di Jakarta. AJI Jakarta menghitung besaran tersebut berdasarkan 37 komponen dari 5 kategori, yaitu pangan, tempat tinggal, sandang, dan kebutuhan lain seperti pulsa, internet dan cicilan laptop. Jurnalis memiliki kebutuhan tersendiri agar mampu bekerja dengan professional. Selain itu jurnalis memiliki kebutuhan khas untuk meningkatkan kapasitas, seperti langganan koran dan belanja buku.
“Kami menekankan pentingnya kesejahteraan jurnalis. Ketika jurnalis sejahtera, maka akan tercipta produk jurnalistik bermutu yang mendidik dan mencerdaskan kehidupan publik, termasuk fungsi kontrol sosial media bisa berjalan lebih baik,” kata Nupus.
AJI Jakarta bahkan menemukan ada sejumlah media yang masih mengupah jurnalisnya di bawah UMP. Mereka juga menemukan masih terdapat jurnalis yang telah bekerja 10 tahun hanya diupah Rp 3,4 juta.
AJI Jakarta mendesak Dewan Pers agar mengubah Standar Perusahaan Pers agar upah mendekati upah layak. Saat ini, Pasal 8 Peraturan Dewan Pers Nomor 4 Tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers hanya mewajibkan perusahaan pers untuk memberi upah kepada pekerja media sekurang-kurangnya sesuai dengan UMP minimal 13 kali dalam setahun. Menurut AJI, mestinya, pengupahan jurnalis harusnya lebih tinggi karena jurnalis merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, berisiko tinggi dan rentan terkena masalah hukum.
Di luar upah layak itu, perusahaan media juga wajib memberikan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan kepada setiap jurnalis dan keluarganya. Termasuk memenuhi hak jurnalis perempuan seperti ruang laktasi, cuti haid dan cuti melahirkan.
Berdasarkan survei AJI Jakarta, umumnya media tak memberikan cuti haid kepada jurnalis perempuan dan tak menyediakan ruang laktasi. Hanya beberapa media yang memberikan hak cuti haid kepada jurnalis perempuan dan menyediakan ruang laktasi.
Tren Ketenagakerjaan 2017
Sepanjang 2017, LBH Pers menangani perkara ketenagakerjaan pekerja media, baik individual maupun kelompok sebanyak 9 kasus.
AJI Jakarta mencatat setidaknya terdapat 4 kasus PHK di perusahaan media, yaitu terhadap jurnalis anak perusahaan MNC Group dan belasan jurnalis GATRA. Sekitar 300-an jurnalis Koran Sindo diberhentikan akibat penutupan sejumlah biro daerah. Selain itu, masih di bawah holding MNC Group, pada tahun yang sama Tabloid Genie dan Mom and Kiddie tutup dan mem-PHK hampir 42 orang pegawai.
AJI Jakarta juga menekankan pentingnya jurnalis berserikat. Berserikat adalah hak asasi manusia yang dilindungi konstitusi dan diatur dalam UU Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Dengan berserikat, jurnalis memiliki benteng yang melindungi, memperkuat daya tawar, sekaligus dapat memperjuangkan hak-haknya.
Jumlah serikat pekerja di media saat ini masih minim. Dari sekitar 47.000 media, hanya ada sekitar 30 media saja yang memiliki serikat pekerja. AJI Jakarta terus mendorong jurnalis untuk berserikat dan mengkampanyekan upah layak untuk jurnalis. (red/uck)
Editor: Eriec Dieda