NUSANTARANEWS.CO – Mayor Jenderal Alexei Tsygankov, kepala Pusat Rekonsiliasi Suriah Rusia, pada hari Selasa lalu mengatakan bahwa kelompok White Helmets telah melakukan pengiriman besar zat beracun ke sebuah gudang yang digunakan oleh militan Ahrar al-Sham di provinsi Idlib yang direncanakan untuk melancarkan serangan senjata kimia sebagai upaya menyalahkan pemerintahan Presiden Assad. Namun operasi bendera palsu tersebut berhasil digagalkan oleh task force Suriah dan Rusia pada akhir Agustus lalu.
Perwakilan Rusia untuk OPCW, Aleksandr Shulgin, mengatakan bahwa Moskwa telah menyerahkan bukti serangan palsu yang direncanakan kepada Direktur Jenderal OPCW Fernando Arias. Demikian pula pemerintah Suriah, juga telah mengirimkan datanya sendiri ke OPCW.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Rusia telah memperingatkan bahwa Amerika Serikat (AS) telah merencanakan untuk mengatur serangan kimia palsu di Suriah. Hal itu dilakukan sebagai dalih untuk melancarkan serangan terhadap Suriah.
Washington sendiri memang telah mengancam akan melancarkan serangan balasan sebagai tanggapan terhadap serangan senjata kimia yang dilakukan oleh pemerintah Suriah.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia, Igor Konashenkov, menegaskan bahwa kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham telah menjadi operator untuk operasi serangan senjata kimia yang menargetkan warga Idlib yang tidak bersalah. dan kemudian menyalahkan pemerintah Suriah. Untuk tujuan itu, perusahaan militer swasta Inggris, Oliva telah mengirim delapan tanki klorin ke kota Jisr al-Shughur. Sementara kelompok White Helmet mensimulasi operasi penyelamatan korban serangan gas beracun tersebut dengan membuat rekaman videonya yang akan di publis sebagai bukti kekejaman pemerintah Suirah.
Konashenkov menuduh Inggris terlibat aktif dalam upaya provokasi serangan senjata kimia sebagai dalih AS, Inggris dan Prancis untuk melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap target militer strategis Suriah.
Untuk melancarkan serangan ini, Washington telah mengerahkan kapal perusak USS The Sullivan dan USS Ross yang dilengkapi dengan rudal Tomahawk ke Teluk Persia yang akan bergabung dengan gugus tugas armada AS di Mediterania – sementara skuadron pembom В-1В AS telah bersiap di pangkalan udara Al Udeid di Qatar.
Seperti diketahui Suriah telah beberapa kali mengalami rekayasa serangan senjata kimia. Misalnya pada April 2018, White Helmet melakukan operasi di kota Douma, yang mengakibatkan Suriah dihujani rudal oleh AS, Inggris dan Prancis. Setahun sebelum itu, pada April 2017, serangan kimia palsu juga menjadi alasan serangan rudal AS terhadap instalasi militer Suriah di Pangkalan Udara Syayrat.
Serangan semacam itu yang dilancarkan sejak 2011 memang memiliki tujuan untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Bagi AS, Inggris, Prancis, dan Israel, Presiden Bashar Al Assad yang membangun aliansi dengan Iran dan Hizbullah merupakan batu sandungan yang kuat bagi mereka untuk mengendalikan Asia Barat.
Sampai hari ini, Presiden Assad ternyata tidak dapat digulingkan karena memang mendapat dukungan yang luas dari rakyatnya – disamping dukungan militer dari Rusia, Iran, dan Hizbullah yang membuat militer Suriah berhasil merebut kembali sebagian besar wilayahnya yang diduduki oleh tentara bayaran dan teroris. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa para tentara bayaran dan teroris telah berhasil dikalahkan oleh militer pemerintah Suriah sejak 2017.
Di tengah keberhasilan pemerintah Suriah merebut kembali kedaulatannya muncul indikasi bahwa Washington ingin menarik diri dan bekerjasama dengan Moskwa untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas di Suriah. Kebijakan AS ini bagi para pendukung hegemoni dianggap menyerah kepada Rusia yang pengaruhnya sedang tumbuh.
Kebijakan AS ini, telah menimbulkan perasaan terancam bagi sekutunya di kawasan seperti Arab Saudi, dan monarki Teluk lainnya, termasuk Israel – terutama dengan semakin kuatnya pengaruh Iran di Suriah dan kawasan regional Timur Tengah. (Banyu)