NUSANTARANEWS.CO – Berbicara tentang fenomena narkoba, bukan lagi sesuatu yang aneh. Narkoba yang dulunya identik dengan remaja, sekarang pencandunya semakin beragam. Mulai dari kalangan artis yang tingkah lakunya banyak ditiru oleh sebagian orang saat ini. Kemudian aparat keamanan tidak terlepas dari jeratan narkoba, aparat yang harusnya menjaga dan melindungi warganya dari serangan narkoba malah menjadi pelaku yang mengkonsumsi barang haram itu sendiri.
Dan yang lebih membuat kita lebih miris lagi, pemakai narkoba banyak dari kalangan perempuan. Tidak hanya sekadar menjadi pemakai bahkan mereka menjadi pengedar narkoba. Sebagaimana yang terjadi Desa Nisa Kecamatan Woha Kabupaten Bima, Sat Resnarkoba Polres Bima yang dibantu oleh Unit Patmor Sat Sabhara menangkap seorang wanita pebisnis narkoba yang berinisial E. Dari penangkapan yang dilakukan, ditemukan barang bukti 27 poket Sabu seberat 1,5 gram.
Kalau beberapa tahun lalu narkoba hanya ada di kota-kota besar, sekarang penyebarannya sudah sampai pelosok desa yang ada di seluruh Indonesia. Yang pelakunya sudah banyak dari kalangan perempuan. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, di tahun 2016 saja ada sekitar 782 perempuan yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Penangkapan terhadap pelaku penyalahgunaan obat-obat terlarang sekaligus pengedarnya bukan hanya kali ini terjadi Bima. Di akhir tahun 2017 seorang perempuan ditangkap dengan kasus yang sama. Entah dengan motif ekonomi, gaya hidup yang hedonis maupun perempuan itu sebagai pemakai. Menjadikan mereka tidak bisa jauh dari barang haram itu.
Bima yang dulunya menjadi bagian dari pada kesultanan Islam, perempuan dengan budaya malu yang berlandaskan pada syariat Islam. Sekarang lebih dikenal dengan nilai-nilai negatif. Bahkan Bima menjadi zona merah penyalahgunaan narkoba.
Ketika berbicara perempuan, pikiran kita mungkin tidak membayangkan sampai mengarah kepada hal yang demikian. Karena fitrahnya seorang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah. Ternyata dari perannya inilah perempuan lebih dilirik dan dimanfaatkan untuk mengedarkan narkoba, karena aktivitasnya tidak terlalu terlihat dan tidak mudah dicurigai oleh aparat.
Perempuan yang sejatinya diharapkan perannya untuk mencetak generasi yang berkualitas, malah mengambil peran yang akan menghancurkan generasi itu sendiri. Sehingga keluarga yang diharapkan menjadi benteng terakhir untuk melindung generasi menjadi momok yang menakutkan untuk tumbuhnya kembangnya.
Seorang ibu tidak lagi menjadi pendidik, karena di satu sisi tuntutan ekonomi, mereka rela melakukan berbagai cara untuk tetap bertahan hidup di tengah kerasnya sistem kapitalisme. Tidak peduli apakah langkah yang mereka lakukan halal atau haram. Yang utama adalah bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhannya. Walaupun harus menjual barang haram, mereka tidak lagi memikirkan kondisi generasi ke depannya.
Untuk mengembalikan peran ibu sebagai madrasah pertama dalam menyiapkan generasi hebat, tentu dibutuhkan peran negara. Negara memiliki perangkat yang akan mencegah seorang ibu untuk melakukan tindakan demikian.
Di Bima sendiri pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba, tapi tidak hanya cukup sampai di situ saja. Tentu dibutuhkan kerjasama semua pihak, mulai dari pusat hingga daerah, aparat keamanan sampai masyarakat.
Dan negara mengawasi masuknya barang-barang haram ke dalam negeri. Dan menindak dengan tegas pelaku maupun pengedarnya. Jadi tidak hanya cukup pada tataran untuk pencegahan dengan melakukan sosialisasi, dan rehabilitasi pada penggunanya.
Penulis: Rahmah Athyefah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban