NUSANTARANEWS.CO – Jika seseorang terus menumpuk hutang, bisa jadi hidupnya tak tenang. Setiap bulanan dia berfikir keras untuk membayar dan mencicilnya. Belum lagi zaman sekarang hutang pakai bunga. Artinya ada pembayaran lebih selain hutang pokok. Nah, bagaimana jika yang negara ini memiliki hutang luar negeri? Tak jauh beda pusingnya berkali lipat sampai kiamat.
Gubernur Bank Indonesia (BI) mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2018. Dari catatan BI, ULN tersebut berada pada angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS). Menurut Perry, ULN tersebut masih dalam kategori aman jika dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB).
Sangat disayangkan jika penumpukan ULN masih dianggap aman. Padahal nilai rupiah kian merosot dari dolar. Artinya, siapa pun rezim yang berkuasa, ULN menjadi pilihan dalam menutup defisit anggaran dan pembangunan infrastruktur. Sungguh tindakan nekat ini harus segera dihentikan agar semuanya bisa mengambil pelajaran.
Dalam jangka panjang ULN menimbulkan berbagai macam persoalan ekonomi negara Indonesia, salah satunya dapat menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh(Inflasi). ULN memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya.
Negara akan dicap sebagai negara miskin dan tukang utang, karena tidak mampu untuk mengatasi perekonomian negara sendiri, (hingga membutuhkan campur tangan dari pihak lain).
Abdurahman Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001) menyatakan utang luar negeri ibarat instrumen penjajahan, karena salah satu aspek buruk dari membengkaknya utang luar negeri adalah hilangnya cita-cita kemandirian sebuah bangsa. Hal ini disebabkan oleh syarat dan kondisi yang tetapkan oleh negara pemberi utang. Negara tersebut bisa mendikte perekonomian suatu negara sesuai yang ia kehendaki.
Contohnya saja ketika Indonesia mengalami krisis di tahun 1998, IMF yang sejatinya adalah rekan Amerika memberi hutang untuk pemulihan ekonomi.
Memang benar perekonomian kala itu bisa dipulihkan, akan tetapi ada harga yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Demi meningkatkan ekspor, banyak lahan pertanian dan juga hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan yang nantinya akan diekspor. Hal ini tentunya merusak lingkungan yang dirasakan akibatnya oleh masyarakat luas. Petani juga akan semakin termarjinalkan karena lahan pertaniannya telah menjadi korban dari pembebasan lahan dari industri. Hal ini disebut oleh Noam Chomsky sebagai penduniaketigaan suatu negara.
Bisa dipastikan hobi ULN ini diakibatkan pengambilan sistem ekonomi kapitalisme. Jelas sekali bertentangan dengan Islam. Pertama, utang yang didsarkan pada riba. Bunga utang jelas dilarang oleh Islam, apapun bentuknya.
Kedua, merendahkan martabat suatu bangsa. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi intregitas suatu bangsa. Selain itu nilai manfaat yang diterima oleh negara belum tentu berbanding dengan beban yang ia tanggung. Di sisi lain, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kafir mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin dalam jeratan utangnya. Kaum muslimin tidak boleh membiarkan hal ini terjadi.
Sudah cukup ULN menumpuk. Jangan biarkan negeri ini terpuruk. Pilihan kembali kepada ekonomi Islam adalah ideal. Negara selamat berdaulat. Rakyat sejahtera dan berkah berlimpah.
Penulis: Fadhillah UH, Women Movement Institute