HankamHukumPolitik

Sebuah Usaha Mendefinisikan Terorisme

the assassins, revisi uu terorisme, aksi terorisme, tindakan teror, kelompok teroris, pemberantasan teroris, teror bom teroris, pembunuhan manusia, gerakan anarkis, jihad, teror bukan jihad, perppu terorisme, densus 88, kasus siyono, nusantaranews, nusantara news
The Assassins atau teroris. (Foto: Ilustrasi/Yewosab)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Definisi menjadi begitu penting jika ingin sukses menjalin kerjasama internasional dalam melawan terorisme. Terorisme adalah sebuah fenomena lintas batas. Maka, untuk menghadapi terorisme sangat dibutuhkan kesepahaman di level tertinggi pemerintahan terutama untuk saling tukar-menukar informasi dan data, dan mengidentifikasi mana yang kelompok teroris atau bukan? Siapa yang berjuang?

Bahwa terkait masalah daftar kelompok tertentu pada daftar teroris, akan menjadi lebih fokus jika ada kesepakatan mengenai kelompok mana yang harus masuk daftar atau tidak. Jika ada semacam kesepatakan antar negara akan sangat memudahkan untuk melakukan tindakan ekstradisi terhadap tersangka, berkat kesepahaman untuk saling tukar-menukar informasi dan data. Tapi akan menjadi sangat sulit jika negara terkait menolak dan mengatakan ini bukan kelompok teroris. Jadi, kesepakatan di level tertinggi sangat diperlukan untuk melancarkan kerja sama internasional.

Baca juga: Catatan Komnas HAM Terkait RUU Terorisme, Dari Menolak Pelibatan TNI Hingga Minta Dilibatkan dalam Pengawasan

Baca Juga:  Ahli Waris Tanah RSPON Bersyukur Warkah Terdaftar di Kelurahan Cawang

Dari perspektif hukum, alasan mengapa perlu kesepakatan tentang terorisme adalah untuk menghindari risiko penyalahgunaan kekerasan. Hal inilah yang paling sering disinggung oleh organisasi hak asasi manusia. Kurangnya definisi, atau menganggap benar salah satunya, kerap menggoda penguasa untuk menyalahgunakannya. Seperti kebanyakan di negara-negara yang pemerintahannya bersifat otoriter, di mana penggunaan label terorisme sangat efektif untuk membungkam kelompok oposisi, baik menangkap atau menghukum.

Organisasi hak asasi manusia, Human Rights Watch misalnya, berulang kali menyatakan keprihatinan, terhadap kecenderungan beberapa pemerintahan yang begitu mudah memberi label teroris terhadap beberapa aksi protes yang dipahami secara umum bukanlah sebuah tindakan terorisme. Oleh karena itu, menentukan terorisme dalam bahasa hukum sangat luas dan terbuka, tiada batas. Kalaupun ada definisi terorisme, terdengar begitu palsu, bahkan dengan mudah bisa digunakan untuk menuduh seseorang sebagai teroris, sesat, atau misal memberi label teroris terhadap seorang pengunjuk rasa yang demokratis. Dan negara terkadang memanfaatkan situasi atau penyalahgunaan itu. Dengan definisi yang baik tentu akan sangat membantu untuk menghindari hal tersebut.

Baca Juga:  Sumenep Raih Predikat BB Dalam SAKIP 2024, Bukti Komitmen terhadap Akuntabilitas Publik

Demikian pula kebutuhan definisi yang tepat atau berlaku umum tentang terorisme di kalangan peneliti. Seringkali kalangan peneliti dihadapkan pada perbedaan definisi ketika mencoba memahami atau memberikan gambaran umum tentang fenomena terorisme, atau tren terorisme.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan (1997-2000) berusaha membuat konsensus tentang apa itu terorisme. Annan mencoba mencapai konsensus definisi terorisme yang difokuskan pada penargetan dan pembunuhan yang disengaja dan non kombatan, untuk tujuan politik. Namun definisi ini tidak mendapatkan dukungan dari semua negara anggota. Annan juga menantang perlu mendefinisikan juga perilaku non state actor, seperti perusahaan-perusahaan internasional.

Jika kita kembali mengacu pada zaman kolonialisme atau pendudukan asing, atau kembali pada masa Perang Dunia II di mana sejumlah negara mengalami pendudukan ilegal, tentu sangat banyak sesuatu yang disebut tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apapun. Sehingga sejumlah negara menentang itu. Dan pada akhirnya, upaya ini juga gagal karena beberapa negara tidak ingin mendengar apa-apa tentang saran atau definisi yang secara eksplisit tidak mengecualikan terorisme negara. Artinya, bisa saja negara dicap sebagai teroris jika mereka menggunakan taktik teroris terhadap pemerintah lain atau terhadap penduduk mereka sendiri. Meski gagal, tetapi Annan telah berani mencoba.

Baca Juga:  Laura Hafid Apresiasi Penggagalan Penyelundupan Barang Ilegal di Nunukan

Lalu bagaimana dengan terorisme negara? Jika suatu negara melakukan kekerasan terhadap negara lain, atau penduduk negara lain, atau warga mereka sendiri?

Memberi label teroris pada negara tentu bukanlah perkara mudah. Karena sangat complicated. Meski dewasa ini ada banyak instrumen hukum, seperti instrumen internasional, yang bisa digunakan untuk melawan kejahatan perang atau penyalahgunaan kekuasaan. Tetapi tidak ada instrumen hukum internasional di bidang terorisme. Oleh sebab itu, patut untuk sangat berhati-hati menggunakan istilah terorisme negara. (red/nn/ed/as/diolah dari berbagai sumber)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,068