NUSANTARANEWS.CO – PKS setuju Prabowo maju. Tapi, dengan satu syarat: cawapres mesti dari PKS. Tegas dan jelas. Kenapa? Pertama, mesin partai PKS kuat dan solid. Jika kader PKS yang maju cawapres, mesin partai bisa bekerja dengan efektif. Kedua, Prabowo dari kelompok nasionalis-sekuler. Mesti didampingi tokoh yang merepresentasikan umat (nasionalis-religius). PKS gudangnya. Ketiga, Prabowo militer. Mesti menggandeng tokoh dari sipil. Ini sekaligus menutup peluang Gatot jadi cawapres Prabowo.
Tiga alasan di atas masuk akal. Lalu, siapa tokoh yang ditawarkan PKS? Dari sembilan tokoh yang sempat muncul kabarnya telah mengerucut ke satu nama, yaitu Ahmad Heryawan. Gubernur Jawa Barat yang suka dipanggil Kang Aher ini lagi naik popularitasnya.
Kenapa Aher? PKS tentu punya kalkulasi dan pertimbangan sendiri. Kalau dilihat dari track recordnya, Aher punya keunggulan dibanding yang lain.
Pertama, Aher punya pengalaman memadai di bidang pemerintahan. Dua periode Aher menjadi gubernur di provinsi terbesar penduduknya di Indonesia. Ini modal yang cukup bagi Aher. Sebagai gubernur, Aher berhasil mendapat 265 pengharagaan. Soal ini, tak ada yang menandingi Aher.
Kedua, Aher representasi ulama dan umat. Religiusitasnya tak diragukan. Lulusan S2 IPB dan S3 Unpad ini hafal al-Qur’an dan mumpuni soal ilmu agama. Komitmen keberpihakannya kepada umat tak diragukan sewaktu menjabat dua periode sebagai gubernur Jabar.
Ketiga, Aher clear and clean. Setidaknya hingga hari ini. Tak punya masalah moral maupun kasus hukum. Ini menjadi sangat penting mengingat faktor integritas sering terabaikan dalam proses pengelolaan pemerintahan.
Keempat, Aher adalah satu di antara kader PKS yang dekat dengan simpul-simpul ormas dan ulama, terutama NU di Jawa Barat. Perhatiannya kepada pesantren-pesantren, sangat dirasakan. Terbukti, para pendukung militan Aher justru dari pesantren-pesantren dan ormas Islam. Soal tahlil dan baca barzanji, kefasihan Aher bisa diadu dengan kaum Nahdhiyin pada umumnya. Sebab, kaifiyah atau tata cara ibadah Aher adalah kaifiyah NU. Kenapa faktor NU menjadi penting? Karena pemilih Indonesia terbanyak dari NU. Terutama di wilayah Jawa.
Pilihan PKS terhadap Aher masuk akal. Tapi, kenapa Prabowo atau Gerindra belum juga mau meminang calon yang diajukan PKS ini?
Ada beberapa kemungkinan, di antaranya, pertama, Prabowo masih galau. Banyak yang berpikir deklarasi pencapresan Prabowo belum final. Artinya, masih bisa berubah. Kenapa? Angka elektabilitas jadi masalah. Kabarnya, di elit Gerindra juga masih belum 100% mendukungnya. Karena itu, gerilya istana untuk menggandeng Prabowo masih terus berproses. Hari Senin 16 April kabarnya ada pertemuan tertutup antara Prabowo, Luhut Binsar Panjaitan, Moeldoko, Hendro Priyono dan Airlangga Hartarto di Ultah Kopassus. Belum jelas, adakah pembicaraan khusus selain undangan Ultah. Dan apa hasilnya? Belum diketahui.
Prabowo dan Gerindra masih perlu kerja keras untuk mendorong elektabilitas jagoannya. Sekaligus melakukan evaluasi berkala. Hanya ini sikap paling rasional untuk bisa dilakukan oleh Gerindra. Jika suara Prabowo tetap tak naik, jauh selisihnya di bawah Jokowi, maka memaksakan Prabowo nyalon merupakan sikap emosional yang tak bernalar.
Kedua, faktor cost politik. Pilpres butuh biaya besar. Kabarnya, sampai tujuh triliun. Belajar dari pilgub DKI dengan paket hemat, juga tragedi La Nyala dan bergantinya nama Dedy Mizwar ke Sudrajat di pilgub Jabar adalah bagian dari petunjuk cekaknya persediaan cost politik Gerindra. Maklum, partai oposisi. Jauh dari jatah proyek. Lepas dari hitungan bagi-bagi. Sementara PKS dan Aher tak punya uang. Punya sih, kalau cuma untuk beli nasi kotak. Sayangnya, biaya pilpres tak sebanding dengan harga nasi kotak.
Dua faktor ini bisa jadi beban tersendiri bagi Prabowo. Maka, terlalu prematur bagi Prabowo dan Gerindra untuk menerima dan mengumumkan cawapres. Sementara, nyapresnya Prabowo masih menyisakan keraguan. Apalagi pasangan Prabowo-Aher belum teruji dalam survei. Belum lagi manuver PAN yang akan meninggalkan Prabowo jika tidak diakomodir. Sangat dilematis.
Di sisi lain, gerilya Demokrat, PKB dan PAN untuk membentuk poros ketiga sudah mulai mengerucut. Gatot Nurmantyo kabarnya akan menjadi jagoannya. Jika ini terjadi, Prabowo akan kehilangan banyak suara. Dua sosok muda, Jokowi dan Gatot diprediksi akan lebih menguat suaranya dibanding Prabowo. Terbukti, keduanya naik elektabilitasnya ketika dilawankan dengan Prabowo. Sementara, suara Prabowo berpotensi ter-downgrade dan melimpah ke Gatot. Apalagi, jika dilihat dari sisi logistik, Jokowi dan Gatot jauh lebih siap dari pada Prabowo. Dari mana uangnya? Jangan tanya!
Jika ini terjadi, yang paling logis Gerindra mengganti calon yang sama-sama muda dan berprestasi. PKS tak mempersoalkan siapapun capres yang akan diajukan Prabowo. Anies bisa jadi salah satu pilihan. Bagaimana dengan jabatan Anies sebagai gubernur? Dan apa respon publik ketika Anies melepas tugasnya?
Elektabilitas akan menjadi indikator. Jika survei membuktikan elektabilitas Anies tinggi, maka itu artinya publik menerima Anies mundur dari posisi gubernur dan maju sebagai capres. Seperti Jokowi sebelumnya.
Mungkinkah Anies-Aher dipasangkan? Ini semua bergantung hasil kerja keras Gerindra dan PKS untuk membranding Prabowo-Aher. Jika berhasil, Prabowo akan terus melaju. Dan Anies dipastikan akan mengurus Jakarta, menuntaskan tugasnya sebagai gubernur DKI hingga tahun 2022. Namun, jika Prabowo-Aher jauh suaranya di bawah calon lain, dan tak mungkin bisa menjadi lawan seimbang bagi Jokowi atau Gatot, maka pasangan Anies-Aher ada kemungkinan terwujud. Situasi masih sangat dinamis. Apapun bisa terjadi.
Apakah Prabowo atau Anies yang akan maju nyapres, bergantung hasil evaluasi tim Gerindra-PKS dua-tiga bulan ke depan. Siapapun yang akan maju, bagi PKS, Aher cawapresnya. Sampai di sini, dilema Prabowo akan berakhir.
Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa