Sewujud Wajah dalam Laci, Cerpen: Senja Embara
Maafkan aku atas ketidaknyamananmu berada di dalam laci. Kuharap kau tak keberatan. Ini kulakukan karena setiap kali pandanganmu menatapku, aku justru semakin kesepian.
Setidaknya kau tak sendirian. Ada lusinan lain yang akan menemanimu. Hal-hal kecil yang mengandung banyak kenangan. Juga sebuah buku yang menyimpan rahasia terbesar dalam hidupku. Apakah bicaraku melantur? Mungkin karena efek benturan tadi masih terasa. Tidak buruk. Hanya sedikit nyeri yang sebenarnya tak akan berarti apa-apa kala didera pada usia belia.
Malam ini, aku tengah selera untuk menceritakan tentang sejarah hidupku padamu sebelum kau mendekam di sini untuk selamanya. Aku bisa saja untuk menceritakan kebaikan-kebaikan yang pernah kulakukan atau sebaliknya. Akan tetapi, butuh waktu berhari-hari untuk menceritakan keduanya.
Sebaliknya, membicarakan hanya pada satu sisi akan membuatmu berpikir yang tidak-tidak tentang diriku. Sebagaimana kita tahu bahwa hidup tidak melulu tentang satu sisi antara hitam dan putih, kuputuskan saja untuk menceritakan hal-hal yang melintas dalam benakku atau bisa jadi sesukaku. Dan kuharap kau bersedia mendengarkan dengan kerendahan hati untuk hal-hal yang akan kuceritakan nantinya.
Baiklah, kumulai dari yang satu ini. kaus kaki mungil bergaris merah, hitam dan putih yang menjadi salah satu favoritku. Jika kuceritakan asal-usulnya, ini akan mengungkap hampir keseluruhan ceritaku. Dan konsekuensinya, kau tak akan peduli tentang apa saja yang terjadi hari ini. Jadi, kuralat saja perkataanku sebelumnya. Tenang saja, aku belum pikun.
Pagi tadi, aku hampir menemukan teman baru. Seekor kucing abu-abu yang kudapati tengah berjalan pincang di pekarangan belakang. Mungkin seseorang telah melempar batu padanya atau entah oleh sebab apa. Aku tak tahu. Yang jelas, aku ingin mengejarnya. Sayangnya kakiku sudah tak lagi bersahabat ketika diperintahkan berlari. Alhasil aku tersungkur.
Disadari atau tidak, senja dengan pendar keemasan di samudra, juga jingga yang memanja—tak pernah bertahan lama. Ada sosok hitam kolosal yang menanti di lepas peredarannya. Menanti untuk malam-malam yang tenang. Lagipula sudah menjadi fakta bahwa banyak penyakit yang bersekongkol di hari tua. Biar begitu, sejauh ini tidak ada serangan yang cukup berarti. Pendek kata, aku baik-baik saja. Jangan khawatir.
Di malam-malam yang terus berlalu, sejatinya kita tak pernah benar-benar sendirian. Masih ada berisik jangkrik di luar. Mungkin kita terlalu dan selalu abai pada hadirnya setelah mereka dan kawan-kawannya tak pernah absen untuk menemani kita. Memang mereka berbicara dengan bahasa yang tak kita pahami, pun dengan kita yang berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Setidaknya kita saling mendengar bukan? Dan tentunya tak perlu ditertawakan jika mereka mengamini perkataan kita karena sejatinya kata adalah doa.
Baiklah. Aku menaruhmu di tumpukkan teratas di antara buku rahasia yang kusinggung tadi, juga mainan dan benda-benda bersejarah lain yang salah satunya adalah kaus kaki kecil ini.
Kuakui, kita telah menjalani kehidupan panjang. Itu patut disyukuri tanpa henti. Tak peduli hutan mana yang menjadi kampung halamanmu dan dari pohon apa kau dilahirkan, aku berani bertaruh bahwa perjalananmu hanya berakhir di gudang jika kau dibuat untuk lembaran tugas akhir mahasiswa demi gelar sarjana. Lebih buruk lagi kalau berakhir sebagai bungkus lombok di pasar. Asal kau tahu, aku memuliakanmu karena telah sekian tahun menjadi tempat untuk mengabadikan wajah istriku. Selebihnya, kau hanyalah sepetak putih yang tak mampu mewarnai dirimu sendiri.
Untuk kaus kaki mungil ini, aku membelinya dua puluh tahun silam. Waktu itu, aku tengah berbelanja untuk kebutuhan dapur di pasar dan tanpa sengaja mataku menangkapnya. Bisa dibilang semacam cinta pada pandangan pertama. Cantik. Mungkin akan lebih pas ketika anak pertamaku yang memakainya.
Istriku sedang hamil kala itu dan atas wujud bahagiaku, aku menggantikan hampir seluruh pekerjaannya selaku ibu rumah tangga. Setidaknya, sampai kondisinya pulih selapas persalinan. Itu rencananya.
Kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ketika yang ditunggu-tunggu tiba pada akhirnya, di waktu yang sama aku harus kehilangan keduanya. Proses persalinannya gagal. Dan kaus kaki mungil itu tidak pernah dipakai selamanya. Bagaimana pun, perpisahan tak pernah menunggu kesiapan. Bisa diterima atau tidak, keduanya tak akan pernah bisa kembali ke dunia ini. Toh pada akhirnya kita semua akan bertemu lagi selepas usai tanggungan di dunia fana ini.
Oh ya, aku tadi sempat menyinggung tentang rahasia di dalam buku ini. Sebuah rahasia yang terpendam bertahun-tahun, bahkan istriku tak pernah tahu seumur hidupnya. Dia sangat menghargai sebuah privasi. Sekat tipis antara yang harus diketahui dan tak harus diketahui bahkan antara suami dan istri. Di sinilah letak kesulitannya karena butuh lebih dari sekadar pengertian untuk mampu menerapkannya. Dan dia percaya padaku.
Hingga akhirnya, biarkan ini tersimpan untuk selamanya. Jika memang harus terkuak, biar orang lain kelak. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa semua orang pasti mempunyai masa lalu namun tidak setiap orang mempunyai masa depan. []
*Senja Embara atau Sulthonul Arifin adalah pecandu aksara, kelahiran Kediri 1992. Antologi cerpen bersamanya 03.30 (2016). Sebagian cerpennya dimuat di media online.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]