Aku Berasal dari Sana
Aku berasal dari sana dan aku mempunyai kenangan
Aku dilahirkan sebagaimana manusia dilahirkan
Aku memiliki seorang Ibu dan sebuah rumah dengan banyak jendela,
Aku memiliki saudara, juga teman
Dan sel penjara dengan jendela yang dingin.
Aku mempunyai ombak yang menyambar laut-camar
Aku mempunyai penyaksian sendiri
Aku mempunyai rerumputan yang lebat
Aku mempunyai rembulan di ujung kata-kata
dan kurnia burung serta keabadian pohon zaitun
Aku berjalan di atas bumi
sebelum pedang menikam tubuh
yang akan mengubahnya menjadi santapan
Aku berasal dari sana.
Aku mengembalikan langit kepada ibunya
Ketika langit menangisi ibunya.
Dan aku menangis agar awan mengenali kembali diriku
Aku belajar pada semua kata-kata yang pantas
Di pengadilan tertinggi
agar aku bisa melanggar peraturan
Aku belajar pada semua kata-kata dan memecahkannya
agar aku bisa menyusun satu kata
Yaitu: Tanah Air
Langkah di Malam Hari
Selalu
Malam hari aku mendengar langkah kaki mendekat
Pintu kabur dari kamarku
Selalu seperti itu
Seperti mau menyeret ekspatriat
Apakah tiap malam bayanganmu
yang biru itu terseret dari ranjang?
Langkah kaki telah tiba sebagai mata negara
Lenganmu mengepung sekitar tubuhku
Langkah kaki telah tiba
Tapi, mengapa bayangan yang telah menggambarku
Melarikan diri, O, Shahrazad?
Langkah kaki telah tiba dan tak kunjung masuk
Jadilah pohon
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah rembulan
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah belati
Agar aku melihat bayanganmu dalam bayanganku
Sebagai mawar dalam debu
Selalu
Aku mendengar langkah kaki mendekat
Dan menjadi pengasinganku
Juga menjadi penjaraku
Coba saja bunuh aku
Dengan keputusan bulat
Tapi jangan bunuh aku
Dengan cara meneror
Sebagai ‘langkah kaki yang mendekat’
Bumi Mengimpit Kita
Bumi mengimpit kita, menjebak kita di akhir perjalanan.
Agar bisa lalu, kita tarik kencang anggota badan.
Bumi meremas kita. Seumpama gandum, kita mati tapi juga hidup.
Seumpama ibu, ia memaki kita dengan rasa sayang.
Seolah kita gambar bebatuan yang dilihat dalam mimpi seperti cermin.
Kita lihat wajah-wajah mereka yang menyabung nyawa, sebelum dibinasakan
oleh seorang dari kita yang terakhir hidup. Kita ratapi pesta anak-anak mereka.
Kita lihat wajah-wajah mereka yang akan melemparkan anak-anak kita
ke luar jendela ruang terakhir ini. Bintang yang akan membakar cermin kita.
Setelah batas akhir ke mana lagi kita harus menuju? Ke mana lagi burung terbang
setelah langit penghabisan?
Di mana tidur tanaman setelah udara tak bersisa?
Kita tuliskan nama-nama kita dengan kabut merah!
Kita akhirkan nyanyian dengan tubuh kita.
Di sini kita tiada. Di sini, di akhir perjalanan.
Di sini atau di sana, darah kita menumbuhkan pokok-pokok zaitun.
Kami Berjalan Menuju ke Sebuah Rumah
Kami berjalan menuju ke sebuah rumah bukan tubuh kami. Ke pohon-pohon kastanye yang ada yang bukan belulang kami. Ke bebatuannya yang tak seperti kambing-kambing dalam nyanyian pegunungan. Ke butir-butir kerikil yang jelas bukan bunga-bunga lili.
Kami berjalan menuju ke sebuah rumah yang tidak melingkarkan matahari yang khas di atas kepala kami. Perempuan-perempuan dalam legenda menyoraki kami. Lautan untuk kami, lautan menentang kami. Kalau tak ada air dan gandum di tangan, makanlah cinta dan minumlah airmata kami…
Ada syal kesedihan bagi penyair. Sederet patung pualam mengangkat suara kami.
Dan sebuah guci menjauhkan debu waktu dari jiwa kami. Mawar-mawar untuk kami dan menentang kami.
Kau punya kemenanganmu, kami punya sendiri. Meski di rumah kami hanya bisa terlihat yang tak kentara: misteri kami.
Kemenangan itu milik kami: tahta yang diusung dengan kaki-kaki lecet oleh jalanan yang mengarah ke setiap rumah tapi bukan rumah kami!
Jiwa harus mengenali diri sendiri dalam jiwanya, atau mati di sini.
Mahmoud Darwish mempunyai nama asli Mahmoud Salim Husein Darwish yang lahir di al-Birwa, Galilea, sebuah desa yang diduduki lalu akhirnya dihancurkan oleh tentara Israel. Karena melewatkan sensus resmi dari pemerintah Israel, Darwish dan keluarganya menjadi “pengungsi dalam negeri” atau “liyan yang ada-tapi tak ada.” Darwish hidup sekian lama dalam pengasingan di Beirut dan Paris. Ia dianggap sebagai penyair kebangsaan Palestina. Pada usia 17 tahun ia membaca puisi untuk pertama kalinya dalam acara perayaan kelulusan di sekolahnya dengan judul “Akhi al-Ubry” (Adikku seorang Ibrani). Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958, ia menerbitkan buku puisinya untuk pertama kali dengan judul Ashofiru Bila Ajnihah (Burung Tanpa Sayap). Pada tahun 1965, ketika masih muda beliau membacakan puisinya “Bitaqat Huwiyya”, Kad Pengenalan, yang kemudian tersebar di seluruh dunia Arab dan dijadikan lagu perjuangan. Mahmoud Darwish meninggal dunia pada 9 Agustus 2008 di Amerika Serikat selepas menjalani pembedahan jantung. Jenazahnya dikebumikan di tanah Palestina seperti mana yang diwasiatkan. Presiden Menteri Palestina mengisytiharkan tiga hari berkabung. Selama hidup, Mahmoud Darwish telah menghasilkan lebih dari 30 buku puisi dan 8 buku prosa, juga mendapatkan penghargaan Lannan Cultural Freedom Prize dari Yayasan Lannan, the Lenin Peace Prize, dan Knight of Arts and Belles Lettres Medal dan Perancis.
Catatan:
Puisi “Aku Berasal dari Sana” dan “Langkah di Malam Hari” diterjemahkan oleh Usman Arrumy dari A’mal Kamilah, Mahmoud Darwish, Dar Shofa, Mesir. Usman Arrumy. Lahir di Demak. Baru saja menerbitkan buku Surat Dari Bawah Air—puisi-puisi Nizar Qobbani (2016, Perpustakaan Mutamakkin Kajen), dan buku Hammuka Daimun—puisi-puisi Sapardi Djoko Damono (2016, Dar Twetta, Giza, Mesir). Sekarang sedang belajar di Al-Azhar Kairo, jurusan Bahasa Arab.
Puisi “Bumi Mengimpit Kita” dan “Kami Berjalan Menuju ke Sebuah Rumah” dialihbahasa dari terjemahan bahasa Inggris oleh Munir Akash dan Carolyn Forche dalam buku “Unfortunately, It Was Paradise, Selected Poems” karangan Mahmoud Darwish.