KolomOpini

Banyak Cara Menuju Surga, Kecuali Poligami

NusantaraNews.co – Kalau boleh jujur, perkara diperbolehkannya poligami dalam Islam itu sebenarnya terkait dengan dampak dan korban historis. Entah mengapa, orang-orang dulu begitu hobby dalam mengoleksi pasangan, khususnya dalam konteks masyarakat Arab. Perempuan sebagai jenis kelamin yang dirugikan seakan meng(iya)kan tradisi menggelikan itu. Hanya ketika doktrin agama telah turun dengan jelas, situasinya menjadi berubah, paling tidak kitab suci meng(iya)kan laki-laki sebagai kolektor perempuan dalam batas dan kualitas tertentu, itupun masih bersifat polemis.

Dalam Islam, poligami itu kaidahnya bersifat praktis dan termasuk wilayah penetrasi, yakni suatu kebudayaan yang terpelihara di banyak tradisi orang-orang dahulu yang kemudian agama ikut campur dalam mengatur tradisi bar-bar tersebut, meskipun ini tidak selalu bersifat saling mempengaruhi. Hanya, Islam memberikan batasan terhadap mana wilayah kebudayaan yang pantas dipelihara dan diatur agar lebih terhormat dan tentu saja sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun tidak objektif, pandangan semacam ini penting untuk memahamai kehendak teks (Tuhan) atas realitas.

Berbeda dengan teologi Kristen yang menempatkan kasus poligami bukan semata-mata pada wilayah hukum praktis, tetapi lebih merupakan problem esensial dalam relasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam banyak bentuknya, Kristen menolak poligami, di samping orientasi teks yang bersifat monogami (baca: Kitab Kejadian 2:18), juga secara tidak langsung tindakan berpoligami sama halnya dengan menyekutukan Tuhan. Bagaimana pemahaman ini bisa terjadi?

Umat Kristen percaya bahwa setiap makhluk diciptakan secara berpasang-pasangan, termasuk penciptaan manusia. Di mulai dari landasan historis bahwa Hawa diciptakan hanya untuk Adam semata, bisa saja misalnya Tuhan menciptakan banyak perempuan untuk Adam, tapi kenyataannya hanya satu, pendamping setia Adam. Tidak hanya itu, penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki juga memiliki orientasi sifat kemutlakan monogami, yakni pasangan yang utuh dan tak terbagi, sebagaimana dikisahkan dalam Injil Kejadian.

Baca Juga:  Ketegangan Geopolitik dan Potensi Terjadinya Perang Nuklir

Dalam teologi Katolik, pelarangan poligami terdapat dalam Kitab Hukum Kanonik tentang Perkawinan, entah nomor berapa penulis lupa, yang jelas laki-laki boleh menikah lagi ketika istri telah meninggal atau barangkali cerai yang tidak bisa dihindari. Sementara menurut pengakuan orang-orang Kristen, poligami itu secara tidak langsung bermakna zina atau menyekutuhan Tuhan, yakni ia menduakan istrinya. Jadi istilah zina tidak terbatas pada wilayah hubungan seksual di luar hukum agama, tetapi juga sebagai tindakan mendua. Di sini orang Kristen meletakkan perkara poligami sangat esensial dalam relasi antara manusia dan Tuhan.

Pandangan yang cukup logis di atas sangat berbeda dengan konsep poligami dalam Islam yang sama sekali tidak terkait secara esensial dengan persoalan teologis, tetapi lebih pada ketetapan syariat dalam mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan sekaligus jawaban atas tradisi yang menggelikan era Arab pra-Islam dahulu. Memang harus diakui bahwa diperbolehkannya poligami dalam Islam merupakan ketetapan objektif yang diberlakukan kepada tradisi Arab era itu, di samping untuk menghargai dan mengangkat derajat perempuan juga membatasi hasrat seks bebas laki-laki hidung belang suku Arab.

Baca Juga:  Indonesia Negerinya Polisi, Rakyat Numpang Nonton

Jika ayat al-Qur’an bisa turun lebih banyak dan lebih panjang durasi waktunya, penulis meyakini bahwa akan ada ayat-ayat lagi yang turun untuk menghapus pembolehan tindakan poligami. Pengandaian semacam ini penting karena betapa sudah sangat ketinggalan zaman logika teks yang terlanjur terbangun ini. Betapa sangat rugi perempuan yang telah dan akan dipoligami. Betapa menggelikan bagi tradisi yang masih dihargai hanya karena Tuhan membolehkannya, betapa perempuan menjadi korban keganasan orang-orang dahulu yang begitu hobby mengoleksi perempuan-perempuan. Bukankah ini hanya sebatas tradisi yang sudah seharusnya ditinggalkan.

Tidak ada ilmu yang benar-benar bebas nilai, karena setiap ilmu mengandung kepentingan sesuai dengan kadar dan nilai kebenaran yang dikandungnya. Begitu juga dengan adil, tidak ada sesuatu yang benar-benar seimbang dan bersikap secara sama rata, netral atau tidak berpihak. Sebagai suatu tujuan, keadilan tidak akan pernah bisa dicapai secara objektif, manusia hanya sampai pada taraf proses mencapai keadilan itu, sehingga tidak ada alasan yang cukup meyakinkan bahwa berpoligami dapat mencapai suatu tingkat keadilan yang benar-benar adil. Jika diandaikan poligami adalah ilmu yang tidak bebas nilai, maka hanya laki-lakilah yang memperoleh keuntungan atas kepentingan terselubungnya terhadap hasrat seks yang tak pernah padam.

Poligami adalah penyakit libido yang harus ditinggalkan, kemenyatuan dua insan secara abadi dan tak terbagi akan lebih memberi kualitas nilai bagi sikap cinta terhadap sesama. Jangan pernah bersikap ingin mengangkat derajat perempuan dalam berpoligami ketika hasrat seks jauh lebih terselubung yang menikam sikap religiusitas palsu dibalik doktrin agama. Betapa nistanya laki-laki yang memiliki standar ganda dalam urusan cinta, sikap mendua tidak pernah bisa dimaafkan. Tuhan tak pernah suka dipersekutukan, itulah dosa abadi, dosa yang tak bisa dimaafkan.

Baca Juga:  Perubahan Kebijakan Nuklir Rusia dan Bahaya Eskalasi Global

Tidak ada maksud bagi penulis untuk menistakan ketetapan Tuhan dalam kitab suci, hanya mengajak untuk memikirkan kembali apakah poligami masih relevan bagi pola keragaman hidup yang begitu plural dan sikap keagamaan saat ini yang sudah mencapai tingkat egaliter yang paling maju dan sepadan. Jangan sampai ketetapan Tuhan menjadi semacam jebakan bagi kaum beriman yang tampaknya baik tapi menjerat esensi kebermaknaan hidup kita.

Ada banyak cara menuju surga, kecuali poligami. Pernyataan ini barangkali sangat tepat dalam mengambarkan betapa berpoligami itu tidak perlu, sangat menyedihkan dalam melanggengkan sistem patriarkhi yang begitu menggelikan atau bahkan menjijikkan bagi sebagian besar kaum feminis sejati. Bagi penulis, agama itu sudah sangat egaliter, hanya kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam memasukkan makna ke dalam teks harus diarahkan, dikoreksi, dan diberi batas secara kontekstual.

Penulis: Rohmatul Izad, Mahasiswa Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Related Posts

1 of 49