NUSANTARANEWS.CO – KPK, OTT Pejabat MA Hingga Saipul Jamil. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nampaknya tak main-main dalam memberantas kasus suap di lembaga peradilan. Hal tersebut seiring dengan seringnya lembaga anti rasuah itu melakukan Operasi Tangkap Tangan atau OTT terhadap beberapa orang di lingkungan peradilan.
Sebut saja kasus pertama pada bulan Februari KPK menciduk Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna yang tengah dagang perkara kepada Ichsan Suaidi dengan harga Rp400 juta. Uang tersebut untuk terkait dengan penundaan penyerahan salinan putusan MA terhadap perkara Ichsan.
Ichsan Suaidi adalah Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) berbasis di Malang. Ichsan pada 13 November 2014 oleh majelis Pengadilan Negeri Mataram dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur dan dijatuhi pidana selama 1,5 tahun penjara dan uang pengganti Rp3,195 juta.
Putusan itu dikeluarkan oleh ketua hakim Sutarno dan anggota hakim Edward Samosir dan Mohammad Idris M Amin.
Perkara Ichsan yang divonis bersama-sama dengan Lalu Gafar Ismail dan M Zuhri berlanjut ke Pengadilan Tinggi (PT) dan diperberat menjadi vonis selama 2 tahun dan denda Rp200 juta.
Ichsan masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun majelis kasasi yang terdiri atas MS Lumme, Krisna Harahap, dan Artidjo Alkostar pada 9 September 2015 menolak kasasi yang diajukan dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp200 juta subsidair enam bulan penjara serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp4,46 miliar subsidair 1 tahun penjara.
Kembali ke Andri. Andri semakin terlihat lihai dan terbiasa menjual perkara di MA saat digelarnya sidang terdakwa Ichsan Suaidi dan Awang Lazuardi Embat. Dalam sidang tersebut terungkap adanya percakapan via Blac Berry Massanger (BBM) antara Andri dengan staf kepaniteraan MA yang bernama Kosidah yang memperdagangkan perkara di tingkat kasasi hingga peninjauan kembali (PK). Dalam percakapan tersebut, sejumlah nama hakim agung disebut. Untuk mencari akar masalah, pejabat MA pun dipanggil menjadi saksi, dari Dirjen Badilum hingga Sekretaris MA Nurhadi.
Akibat perbuatannya, KPK menyangkakan Andri melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan kepada Ichsan dan Awang disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Kemudian pada April 2016, KPK kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap oknum pengadilan. Yang ditangkap kali itu adalah, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, dia diciduk saat ditangkap menerima duit dari pihak swasta yang diduga sebagai pemberi suap bernama Doddy Arianto Supeno. Suap tersebut terkait gratifikasi atau pemberian janji terkait dengan permohonan PK yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat.
Hebohnya tangkap tangan yang dilakukan pada bulan April itu berbuntut panjang, yakni membawa penyidik KPK melakukan penggeledahan di ruang kerja dan kediaman Nurhadi, di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sampai akhirnya KPK menyita sejumlah uang. Kemudian terkait kasus ini juga, KPK melakukan pemeriksaan terhadap istri Nurhadi Tin Zuraida. Bahkan PPATK, saat ini tengah melacak rekening ketiga orang tersebut. Ketiga orang tersebut yakni Tin Zuraida, Nurhadi, dan Royani sopir pribadi Nurhadi.
Sebulan kemudian, KPK menciduk dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu bernama Jenner Purba dan Toton, serta Panitera pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Badarudin Bachsin. Ketiganya diduga tengah berdagang berkara dengan harga Rp 1 miliar kepada terdakwa korupsi Edy Santoni dan Syafei Syarif. Harga Rp1 miliar dengan balasan pemberian vonis bebas terhadap Edy dan Syafei.
Yang terakhir, KPK juga kembali menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Panitera Pengganti PN Jakarra Utara Rohadi. Rohadi ditangkap saat menerima uang suap sebanyak Rp 250 juta dari Berthanatalia Ruruk Kariman (BN) selaku Pengacara Saipul Jamil, Kasman Sangaji (KS) Ketua Penasihat hukum Saipul Jamil, Syamsul Hidayat (SH) Kakak dari Saipul Jamil.
Modus penyuapan itu adalah untuk mempengaruhi keputusan hakim terkait dengan perkara pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh Saipul Jamil.
“Suap tersebut untuk penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Jakut) yang terkait dengan kasus perlindungan anak yakni Pasal 82 kemudian alternatif lain adalah pasal 82 UU perlindungan anak juncto pasal 290 juncto pasal 292 tentang pencabulan. Yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum 7 tahun dan denda Rp100 juta, kemudian menginginkan pengurangan dan hakim hasilnya memutuskan adalah 3 tahun dan pasal yang diberikan adalah pasal 292,” kata Basaria saat itu.
Uang tersebut merupakan uang milik Saipul Jamil, uang tersebut didapatkan Kakak Saipul Jamil atas penjualan rumah milik adiknya. (Restu)