KolomOpini

Kafir Yang Islami dan Islamis Yang Kafir?

NusantaraNews.co – Dewasa ini, kita sering sekali menemukan dan bahkan mendengar perkataan kafir yang kian hari semakin tak berdasar. Bahkan tak ayal, sesama Muslim pun sering terlontar kalimat-kalimat kafir yang membuat panas atmosfer keberagamaan kita.

Bukan cuma itu saja, kini kalimat takfir pun merajalela ke seluruh penjuru sebagai bentuk penolakan. Sebagian besar kaum Muslim seperti menunjukkan jiwa superioritasnya untuk menolak dan bahkan halal untuk mencerca kafir (yang bukan Islam).

Implikasi dari pengkafiran ialah diperbolehkannya membunuh seorang yang dianggap kafir itu. Padahal tidak semua yang kafir itu halal darahnya untuk dibunuh, dan tidak semua kafir dianggap musuh. Dan tidak semua juga kafir dialamatkan sebagai penghukuman bagi orang yang menolak ajaran Islam.

Secara bahasa kafir bermakna menutup atau mengubur. Jauh sebelum Islam datang, kata kafir dialamatkan kepada para petani. Hal itu karena pekerjaan petani yang senantiasa mengubur benih dan kemudian menutup dengan tanah agar tumbuh menjadi tanaman. Sila lihat QS. Al-Hadid ayat 20.

Lalu, kata kafir diambil oleh Islam (Ilmu Teologi) sebagai pembeda. Kafir diperuntukkan bagi mereka yang menolak ajaran Islam dan menutupi kebenaran versi Islam. Maka, di jaman Islam awal, kafir terbagi menjadi empat macam. Al-Muharribin, Adz-Dzimmah, Al-Mu’ahad, dan Al-Musta’man.

Al-Muharribin atau Kafir Harbi adalah golongan kafir yang menolak ajaran Islam dan menutup-nutupi kebenaran yang sudah dibawa oleh Rasulullah. Mereka adalah yang menyerang kaum Muslimin di jaman Rasulullah saw. dan wajib hukumnya bagi kaum Muslimin untuk memerangi mereka.

Sementara Adz-Dzimmah atau Kafir Dzimmi ialah mereka yang membayar pajak (jizyah) di masa kepemimpinan Islam. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin.

Baca Juga:  Eropa Berharap Menjadi "Gudang Senjata Perang" untuk Menyelamatkan Ekonominya

Sedangkan orang kafir yang memiliki kesepakatan damai dengan kaum Muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang sudah disepakati. Mereka tidak membantu musuh yang menyerang Islam dan juga tidak mencela Islam. Mereka dinamakan Kafir Al-Mu’ahad. Kafir macam ini tertera dalam QS. At-Taubah ayat 4.

Kemudian Kafir Al-Musta’man, yakni golongan kafir yang mendapatkan jaminan perlindungan keamanan dari kaum Muslimin.

Selain kafir yang sudah ditulis di atas, juga ada beberapa kategori kafir yang harus kita ketahui, agar tak sembarang mengalamatkan kafir kepada siapa pun.

Kafir atas Tauhid ialah mereka yang menolak bahwa Tuhan itu Satu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah setiap agama pasti memiliki konsep bahwa ada sosok Tuhan yang transenden, sekalipun dalam ajaran keagamaannya terdapat tuhan-tuhan selain Tuhan yang Satu. Bahkan, para bijak bestari pun berpendapat bahwa Tuhan itu Satu, tetapi orang bijak menyebut-Nya dengan banyak nama.

Menurut Emha Ainun Nadjib, Tauhid bukan berarti mengesakan Tuhan, karena Dia sudah Esa dengan sendirinya. Makna Tauhid yang sebenarnya ialah menomorsatukan Tuhan dalam keseharian.

Selanjutnya adalah Kafir atas segala nikmat yang Tuhan beri. Ini merupakan perjalanan spiritual manusia, apa pun agamanya, bahwa kristalisasi dari Ketauhidan ialah melalui pensyukuran kepada Tuhan yang memberi nikmat. Entah siapa pun nama Tuhan yang menjadi panggilan (berbeda) di setiap agama.

Belakangan terakhir ini, kita dihebohkan dengan larangan memilih pemimpin kafir secara teologis. Yakni, yang menolak konsep teologi yang terdapat dalam Islam. Penafsir dadakan pun dengan seenaknya menafsirkan ayat al-Quran yang katanya Tuhan melarang kita memilih pemimpin kafir.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Imam Ali pernah menyatakan bahwa Pemimpin kafir yang kuat (adil) lebih baik, daripada pemimpin Muslim tapi lemah. Artinya, pemimpin kafir yang kuat itu, kekafirannya hanya untuk dirinya sendiri, sedang keadilan atau kekuatannya untuk seluruh warganya. Sementara pemimpin Muslim yang lemah, keislamannya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi akan hancur sebuah negeri ketika ia tidak mampu bersikap adil atau lemah untuk mengurusi warganya.

Selain itu, ada hal yang sangat mencengangkan ketika seorang anggota DPD dari DKI Jakarta melaporkan Zaskia Gotik yang dianggap menghina lambang negara, sementara ia menolak Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok sebagai pemimpin karena dianggap kafir secara teologis. Padahal kepemimpinan Ahok sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dan pendiri bangsa Indonesia, tidak menafikan unsur keislaman dalam meramu Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.

Maka, anggota DPD itu bisa saja dikatakan sebagai kafir secara konstitusional. Karena menutup kebenaran yang terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Sekali lagi ditegaskan bahwa dalam meramu dasar negara, para pendiri bangsa kita tidak menyingkirkan unsur keislaman.

Dan Ahok yang sudah bekerja untuk masyarakat Jakarta adalah contoh pemimpin kafir (secara teologis) yang kuat. Karena dalam beberapa hal, ada unsur keislaman yang ia terapkan dalam menata kota Jakarta. Maka, bisa kita sebut bahwa Ahok adalah Kafir yang Islami. Sementara Anggota DPD itu bisa saja kita sebut sebagai Islamis yang Kafir.

Untuk kita yang tinggal di Indonesia, namun mengingkari dan menutup diri dari segala kenikmatan yang Tuhan berikan dalam negeri ini, juga bisa saja disebut sebagai kafir atas nikmat. Sila lihat QS. Al-Baqarah ayat 152.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Tuhan sendiri pun mengkonfirmasi soal kekafiran atas nikmat itu. Bahwa siapa yang bersyukur, nikmat akan ditambah, dan siapa yang tidak bersyukur (kufur) ada punishment Tuhan yang akan turun; yakni adzab yang pedih.

Jadi, jangan terburu-buru mengalamatkan hukum kafir kepada siapa pun, termasuk mereka yang dianggap kafir secara teologis. Karena kita sebagai Muslim pun memiliki kecenderungan sebagai kafir.

Fenomena Hizbut Tahrir yang seperti tidak mensyukuri keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, bisa kita sebut mereka itu kafir nikmat. Dan aparat kepolisian serta aparatur negara yang membiarkan Hizbut Tahrir tetap bertahan seperti membiarkan kekafiran tetap berlangsung di negeri yang Qurani ini.

Aparat kepolisian dan aparatur negara yang begitu, bisa kita sebut sebagai golongan kafir secara konstitusi.

Di negara yang bukan berdasar pada ideologi agama dan ideologi sekuler ini, tidak menjadikan klaim kafir sebagai pembeda. Bahwa warga negara adalah yang setia mempertahankan kedaulatan negara dan memiliki jiwa nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud oleh Ir. Soekarno ialah Nasionalisme yang tidak chauvinisme.

Jadi, anda termasuk dalam kategori kafir yang seperti apa? So, Ayo seruput kopi dulu, karena kopi adalah kenikmatan, maka saya tidak mengingkari kebenaran atas nikmat yang Tuhan beri dalam secangkir kopi.

Penulis: Robiatul Adawiyah (Wiwi), Mahasiswi Manajemen Pendidikan semester akhir di Jakarta, perempuan pecandu kopi pahit yang doyan jalan dan doyan tidur, serta gemar menunggu perjaka pulang dari masjid. Kini ia, Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Timur.

Related Posts