NUSANTARANEWS.CO – Masyarakat Indonesia tampaknya sudah bosan, bahkan sudah terbiasa membaca dan mendengar berita tertangkapnya para koruptor di negeri ini. Situasi ini bisa dikatakan wajar, korupsi menjelma bak sebuah agama yang makin masif pemeluknya dari waktu ke waktu. Tak perlu rasul untuk mendakwahkannya, banyak orang berduyun-duyun memeluknya dengan sukarela. Mereka yang berstatus sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, pejabat BUMN, menteri-menteri kabinet, kepala daerah, anggota dewan yang terhormat, anggota partai politik, semuanya berasyik-masyuk dengan korupsi. Tak berlebihan apabila republik ini bisa dikatakan berada pada kategori darurat korupsi nasional.
Coba simak fakta berikut. Baru-baru ini muncul pemberitaan bahwa Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Iman tercatat sebagai kepala daerah keenam yang ditangkap oleh KPK sepanjang tahun 2017. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dari Oktober 2014 sampai 23 September 2017, sudah ada 37 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersandung kasus hukum. Sebanyak 29 kepala daerah dan wakil kepala daerah di antaranya ditangani oleh KPK. Catatan fantastis korupsi kepala daerah tersebut seakan tak lengkap apabila kita tidak menyebut deretan kasus korupsi sebelumnya, yakni korupsi yang menyeret mantan Ketua MK, Akil Mochtar, korupsi yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, korupsi BLBI yang hingga kini belum jelas penanganannya, hingga mega korupsi E-KTP baru-baru ini yang berpotensi menjerumuskan Ketua DPR Setya Novanto ke bui.
Kita semua tentu geleng-geleng kepala melihat fakta ini. Hakim yang seharusnya menjadi penegak hukum yang adil, justru tak sungkan menjajakan hukum dan harga dirinya demi segepok uang. Para anggota dewan yang terhormat, yang merupakan representasi suara dan aspirasi rakyat, tanpa segan-segan membunuh rakyat secara perlahan dan sistematis melalui korupsi anggaran. Para kepala daerah yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan di daerah, malah menerapkan aji mumpung untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, serta kolega-koleganya. Lantas apakah kita hanya berdiam diri saja menyaksikannya?
Upaya memberantas korupsi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada KPK saja. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi sejauh ini sudah melakukan tugasnya dengan baik. Namun demikian, jika KPK dilemahkan atau tetap dibiarkan berjuang sendirian, maka hidup mati pemberantasan korupsi akan bergantung kepada KPK saja. Ini tentu akan menjadi titik yang sangat rentan. Oleh sebab itu, dikarenakan masif dan sistematisnya pola korupsi yang dilakukan oleh koruptor, maka upaya pemberantasannya pun harus dilakukan secara masif, melibatkan semua komponen bangsa, tanpa kecuali, serta terstruktur dan sistematis. Upaya pemberantasan tidak bisa dilakukan melalui jalur hukum saja, tapi juga perlu melibatkan aspek sosial, budaya, serta agama.
Perlu digagas upaya-upaya baru. Pemerintah dan masyarakat tak usah jemu untuk terus mencari inovasi hukuman yang bisa menjerakan koruptor. Dalam perspektif perubahan sosial, laku korupsi di masyarakat bisa menjadi input bagi penguatan pranata yang sudah eksis namun belum optimal menjalankan fungsinya, otokritik terhadap kinerja aparat negara yang buruk, koreksi terhadap tata sosial masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan norma-norma dan nilai budaya, serta tantangan bagi apatisme dan permisifisme yang sudah menjangkit di masyarakat. Pada tahap akhir, laku korupsi akan mendorong utuk ditelurkannya sebuah rekayasa sosial.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, rekayasa sosial memiliki efek tendang yang signifikan. Pertama, rekayasa sosial membutuhkan kolaborasi yang solid antara pemerintah dan masyarakat. Kolaborasi ini tentunya dapat dijalankan apabila ada kesepakatan bersama, baik dalam bentuk konsensus ataupun regulasi perundang-undangan. Kedua, rekayasa sosial memuat unsur kebaruan, yakni inovasi-inovasi sebagai produk sustainable improvement dalam menangani persoalan akut di masyarakat.
Dari sisi pendidikan, rekayasa sosial penanganan korupsi dapat melibatkan pihak sekolah dan perguruan tinggi. Pihak sekolah dan perguruan tinggi dapat mengeluarkan kebijakan untuk mencabut ijazah serta penghargaan akademik lainnya kepada para pelaku korupsi. Kuantitas jumlah koruptor juga bisa dijadikan sebagai tolok ukur dan rapor merah kepada sekolah dan perguruan tinggi yang alumninya terjerat kasus korupsi. Dalam sekup yang lebih luas, apabila mekanisme ini diterapkan, suka tidak suka, sekolah dan perguruan tinggi akan memasukkan aspek anti-korupsi sebagai kurikulum dan pelajaran penting yang harus dienyam oleh peserta didik.
Masyarakat umum, sebagai pihak paling terdampak atas perilaku korupsi perlu menyusun hukuman secara sistemis. Pertama, jajaran daerah, mulai dari camat, lurah, Ketua RT/RW tak perlu ragu untuk menerapkan hukuman sosial berupa kerja sosial dengan jangka waktu tertentu kepada para koruptor yang sudah bebas dari hukuman penjara. Jika kerja sosial ini diterapkan, koruptor akan terkena hukuman ganda. Lebih lanjut, kerja sosial dapat dijadikan tolok ukur apakah si koruptor masih diterima masyarakat atau memantik resistensi. Jika dirasa kurang bergigi, jajaran daerah jangan ragu-ragu untuk merilis kebijakan cap koruptor pada KTP mereka yang terlibat kasus korupsi.
Dari sisi budaya, para pegiat kebudayaan, entah itu sastrawan, penyair, pelukis, musisi, hingga jurnalis harus memasukkan unsur anti korupsi pada karya-karyanya. Jika dirasa penting, mereka bisa berkolaborasi membentuk Dewan Kebudayaan Anti Korupsi, yang mana akan diselenggarakan secara reguler kegiatan baca puisi, pentas seni, aksi teatrikal, kegiatan tarik suara yang bisa menjadi sarana pendidikan anti korupsi di masyarakat. Jika sekolah-sekolah anti korupsi yang digalakkan oleh aktivis anti korupsi dirasa terlalu formal atau berat untuk dicerna, maka mekanisme kebudayaan ini jauh lebih ringan, santai, serta mudah masuk di kepala masyarakat. Jika mau sedikit lebih ekstrim, kaum budayawan juga bisa membangun museum anti korupsi di setiap daerah. Dananya berasal dari masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi dan APBD masing-masing daerah. Isi museumnya? tentu saja foto atau lukisan para koruptor, lengkap dengan kronologis kasus serta hukuman yang diterima, plus video-video persidangannya.
Mungkin banyak yang menganggap ide ini remeh-remeh saja, tapi mungkin saja sulitnya pemberantasan korupsi di negeri ini diakibatkan kita sering berfikir terlalu besar, formal, sehingga tidak menyentuh esensi yang paling ditakutkan oleh koruptor itu sendiri, yakni rasa malu!
Saya optimis mereka akan berfikir seribu kali untuk korupsi apabila wajah mereka dimuseumkan, terlebih lagi pemuseuman tersebut memiliki legalitas hukum. Saya yakin mereka akan cukup gentar apabila gelar profesor atau doktor mereka dicabut plus dikenakan kerja sosial di lingkungan masyarakatnya. Sekali lagi, tugas memberantas korupsi tidak boleh lepas dari aspek sosial budaya dan peran serta masyarakat. Koruptor boleh jadi tidak jera dengan hukuman formal, tapi apakah koruptor masih bisa hidup apabila masyarakat sekitarnya sudah tidak menyediakan toleransi, simpati, bahkan ruang hidup kepada mereka?
*Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia.