NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Seiring bertambahnya penduduk maka kegiatan masyarakat meningkat. Akibatnya, volume sampah pun bertambah. Contohnya, Provinsi DKI Jakarta dalam satu hari menghasilkan sampah seberat 5.800-6.000 ton sampah.
“Mengutip ahli, volume sampah dapat mencapai 64 juta ton dalam setahun. Oleh karena itu, perlu upaya pengolahan sampah untuk menanggulangi masalah tersebut,” kata Peneliti bidang Ilmu Tanah dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Anindita Farhani dalam siaran persnya, Minggu (24/09/2017).
Ia menjelaskan, salah satu solusi jitu yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah sampah menggunakan sistem pengomposan windrow. Windrow adalah salah satu sistem pengomposan di tempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah. Menurut istilah, windrow artinya gundukan-gundukan material yang memanjang. Oleh karena itu, biasanya tumpukan kompos dibentuk seperti gundukan yang memanjang dengan diberi celah diantaranya untuk pertukaran udara (aerasi).
Pemilhan Sampah
Selain cepat, lanjut Anin, sistem ini juga tergolong murah dan mudah untuk diterapkan. Masyarakat hanya perlu memilah sampah mereka antara yang organik dan non-organik. Sampah organik berupa sersah daun, kotoran hewan, dan sisa makanan.
“Sebelum dikomposkan akan lebih baik jika sampah organik dicacah hingga berukuran 5-7 cm untuk mempercepat proses pengomposan. Sampah yang sudah dicacah diaduk terlebih dahulu dengan cairan MOL (mikroorganisme lokal) dan tetes tebu yang diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:1,” jelasnya.
Setelah merata adonan sampah ditumpuk diatas bangunan windrow. Bangunan windrow terbuat dari bambu yang diberi celah di tengahnya. Contoh pengomposan windrow dapat dilihat pada gambar berikut.
Pengomposan Windrow
Anin menjelaskan, proses pengomposan sistem windrow sebagai berikut. Sampah organik yang telah disusun diatas bangunan windrow disiram secara rutin setiap seminggu sekali. Penyiraman ini dapat disesuaikan dengan kondisi sampah organik yang digunakan. Semakin basah sampah maka semakin sedikit penyiraman yang diberikan.
Tumpukan sampah organik itu, lanjut dia, dibiarkan 3-4 minggu hingga terkomposkan secara sempurna. Kompos yang sudah matang ditandai dengan bahan awal yang menjadi lunak, volume sudah menyusut,, kompos sudah tidak berbau menyengat, warna kompos coklat kehitaman sampai hitam, dan kondisi kompos sudah remah.
“Dengan sistem pengomposan windrow, sampah organik yang akan dikomposkan akan mendapatkan aerasi yang cukup sehingga kompos lebih cepat matang. Sistem ini juga sangat mudah diterapkan karena hanya membutuhkan sampah organik, bangunan windrow, dan cairan MOL yang dapat diperoleh di toko pertanian dengan harga terjangkau,” terang Anin lagi.
Nilai Ekonomi
Ia menambahkan, hasil kompos yang dihasilkan juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kompos organik dapat dijual dengan harga Rp 5.000-10.000 per kemasan 5 kg. Nilai ini cukup menguntungkan jika dibandingkan dengan modal yang hanya memanfaatkan sampah organik.
Selain itu kompos ini juga dapat dibuat dengan skala kecil seperti rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pupuk sehingga masyarakat lebih tertarik untuk menanam dan memenuhi kebutuhan sayuran keluarga, tambah dia.
Jika diasumsikan, total sampah organik yag dihasilkan mencapai 60% dari total sampah yang diproduksi setiap harinya, maka total sampah organik di DKI Jakarta saja mencapai 3.480-3.600 ton per hari. Lalu saat sampah organik itu diolah dengan sistem pengomposan windrow diperkirakan menghasilkan 50% dari total sampah organik, maka total kompos yang dihasilkan mencapai 1.740-1.800 ton per hari.
“Jika kompos organik itu dijual dengan harga Rp5.000-Rp10.000 per kemasan 5 kg, maka total sampak kompos per kemasan 5 kg menjadi sebanyak 348-360 ton per hari. Kalau dikalikan dengan nilai Rp5.000-Rp10.000 per kemasan 5 kg, maka total pendapatan masyarakat bisa mencapai Rp1,74 miliar – Rp3,6 miliar per hari. Itu angka sangat fantastis yang bisa didapatkan masyarakat dari pengelolaan sampah,” tandasnya. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)