NUSANTARANEWS.CO, Tripoli – Saat ini sekedar gencatan senjata tidaklah efektif untuk melawan terorisme di Libya – baik oleh milisi bersenjata pimpinan Komandan Tentara Nasional Libya (LNA) Marsekal Khalifa Haftar maupun Perdana Menteri Libya Fayez Al-Sarraj yang didukung oleh PBB. Dalam sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron (25/7), kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pemilihan awal tahun depan. Macron mengatakan bahwa Perdana Menteri Sarraj dan Panglima Haftar, seorang komandan militer yang pasukannya menguasai lahan luas di bagian timur negara itu, keduanya telah mencapai kemajuan bersejarah dalam Dialog Paris.
Komunike tersebut mengatakan bahwa kedua pemimpin telah menerima bahwa hanya solusi politik yang dapat mengakhiri krisis di Libya, dan menyerukan agar semua milisi berada dalam kendali tentara nasional dan di bawah kontrol politik. Macron juga mengatakan bahwa kedua pemimpin yang saling bersaing tersebut merupakan simbol rekonsiliasi nasional Libya saat ini.
Inisiatif perdamaian Perancis telah menimbulkan kekhawatiran di Italia, seperti diketahui Italia sempat merebut Libya dari Kerajaan Turki Ottoman dan berakhir ketika Italia kalah dalam Perang Dunia II. Oleh karena itu, Italia sangat berkepentingan menjaga hubungan diplomatik dengan Libya serta demi kepentingan energi saat ini.
Dalam proses menuju pemilu di Libya tahun depan, menarik pula untuk dicermati kunjungan Khalifa Haftar baru-baru ini ke Rusia. Kunjungan tersebut telah menimbulkan beragam spekulasi tentang dugaan niat Moskow untuk melibatkan diri lebih dalam urusan Libya.
Menurut Gevorg Mirzayan, Profesor di Departemen Ilmu Politik Rusia mengungkapkan bahwa, Barat telah lama mendukung Sarraj, namun dalam beberapa tahun terakhir, LNA telah mencapai keberhasilan yang signifikan dan menguasai banyak wilayah di Libya. Jadi sekarang dunia tidak bisa mengabaikan Khalifa Haftar lagi. Pada saat yang sama juga harus diakui bahwa Haftar telah memenangkan dukungan opini publik Libya, yang menganggapnya sebagai penjamin stabilitas dalam perang sipil yang sudah berlarut-larut di Libya.
Tidak mengherankan bila Paris dan Roma belakangan sibuk mencari solusi guna mendamaikan kedua aktor pemain kunci Libya yang bersaing pengaruh tersebut. Pertemuan di Paris memang menghasilkan penandatanganan kesepakatan gencatan senjata antara kedua kekuatan tersebut, namun masih banyak ketidakpastian mengenai siapakah yang akan menjadi pimpinan pemerintah saat perang sipil usai.
Ada opsi yang ditawarkan oleh Barat sebagai fasilitator, Italia misalnya ingin menjaga keseimbangan kekuatan diantara aktor kunci Libya dengan menawarkan Haftar sebagai Menteri Pertahanan. Sementara, Macron tampaknya siap untuk memunculkan “marshal” baru di Libya. Tapi posisi politik Haftar tidak kuat bila hanya didukung oleh Prancis. Dengan demikian, Macron mungkin siap mendukung Sarraj jika Italia dan Aljazair mampu memberikan jaminan bahwa kepentingan Prancis di Libya terjaga.
Posisi Haftar memang agak menyulitkan bagi kepentingan Barat, berbeda dengan Sarraj yang lebih mudah di atur dan dikendalikan daripada pesaingnya. Di tengah kondisi seperti ini, sangat masuk akal bila Haftar mencoba memainkan kartu Rusia guna memperkuat posisi tawarnya. Tentu saja Rusia menyambut dengan tangan terbuka siap melanjutkan hubungan bilateral sebagaimana di masa pemerintahan Muammar Gaddafi.
Betapa tidak, Moskow juga mengincar untuk mendapatkan kontrak militer, migas, dan infrastruktur di Libya. Mengingat hubungan masa lalu, tampaknya Moskow sangat berpeluang untuk memenangkan kotrak militer di Libya begitu embargo senjata PBB dicabut. Oleh karena itu, Moskow juga harus memainkan kartu Sarraj – yang juga akan mengunjungi Rusia pada bulan September mendatang untuk memenangkan kontrak yang lain.
Rusia mendukung penuh upaya pemulihan agar perang sipil yang berlarut-larut di Libya segera berakhir. Moskow melihat bahwa kegiatan dialog semacam ini, lebih ditujukan kepada pengembangan solusi, serta kontribusi terhadap upaya yang paling menguntungkan guna melancarkan dialog diantara aktor kunci di Libya, sehingga mereka sendiri setuju pada masa depan negara mereka. (Banyu)